Pages

Sunday, 16 November 2014

Strategi Pertahanan Negeri Nyiur Melambai

Pada waktu memulai menulis tulisan ini dengan judul seperti diatas, memang sudah menuai kritikan dari teman-teman, yang mengatakan—ada ada saja, kenapa tidak langsung NKRI atau Nusantara. Merangkai empat kata diatas untuk menjadi satu judul kajian, bukanlah pekerjaan yang sulit. Bukan pula materi yang baru, oleh karena sudah ada doktrin, strategi, taktik, plus berbagai konsep dan wacana. Selama tiga-empat dekade, wilayah Asia Tenggara tidak ada perang terbuka, atau perang fisik, sekalipun dalam bentuk limited armed conflict, dan negeri kita tidak mengalami invasi, atau serangan militer terbatas, ataupun ancaman militer klasik. Realita tersebut tentu menyadarkan kepada arsitek strategi pertahanan dan semua pihak terkait, bahwa strategi yang diterapkan, belumlah teruji kebenarannya. Pada sisi lain, berkembang berbagai fenomena yang (seharusnya) dapat digunakan sebagai ujian.

Mencermati setiap kata pada judul tulisan, tersurat ‘sekumpulan’ makna yang sudah menjadi pengetahuan bangsa Indonesia, dan tersirat pula—ada hak dan kewajiban setiap warga negara untuk melaksanakannya. Mulai dengan kata negeri, yaitu tempat tinggal, dalam bahasa konstitusi adalah tumpah darah, suatu lokasi dimana bangsa Indonesia tinggal, istilah lainnya geografi yang terdiri dari rangkaian 17.448 pulau, dengan daratan seluas 1.8 juta km2 dan perairan seluas 3.3 juta km2. Keberadaannyadi jalan silang dunia, yang mempertemukan dua samudera, dan (kebetulan) di daerah katulistiwa.

Berikut mengenai nyiur melambai, memberikan kesan bahwa negeri ini berada di pantai (coastal state) dalam suasana damai, aman dan nyaman, sejahtera, dan melambai. Pengertian melambai tentulah ditujukan kepada pihak lain (outward looking), yang mengandung pesan (political message) bahwa negeri ini didiami oleh bangsa yang cinta damai, punya kekayaan alam yang mampu menyejahterakan seluruh anak negeri. Nah, kata yang ketiga yaitu pertahanan, dengan jelas menyuratkan bahwa harus ada konsepsi, atau model, atau sistem defense mechanism, yang tentunya khas Negeri Nyiur Melambai.

Strategi raya
Pada awalnya, pengetahuan mengenai strategi adalah domain militer, pengetahuan para jenderal untuk berperang, ada pula yang mengatakan sebagai seni perang. Demikian banyaknya pandangan dan atau pendapat mengenai strategi, yang tentunya dapat menolong kalangan awam untuk mengimplementasikan ke dunia nyata.

Pada UUD 1945 ada empat poin yang harus (mandatory) dijadikan dasar perumusan strategi raya, yaitu; (i) melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan (ii) untuk memajukan kesejahteraan umum, (iii) mencerdaskan kehidupan bangsa, dan (iv) ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Keempat poin tersebut mengandung karakter cognitive dan imperative, diungkap dalam lima poin, yaitu nilai (values), kepentingan (interest), ancaman dan tantangan (threats and challenges), formulasi strategi raya (grand strategy), dan penilaian risiko (risk assessment).

Mengenai nilai (values), sudah ada kesepakatan nasional mengenai empat konsensus dasar, yaitu Pancasila, UUD 1945, Bhineka Tunggal Ika, dan NKRI. Kesepakatan tersebut, sudah bersifat final, never ending, tidak lagi diutak-atik, dan atau dirobah, atau di amandemen, dan sebagainya. Apakah benar demikian? Mohon dipahami bahwa—nilai (values) yang dijadikan dasar negara tidak bisa taken for granted sudah kokoh terbentuk secara alamiah, dan akan selamanya demikian. Harus ada pembinaan yang konsisten, dan ada pula upaya pengamanannya. Keluaran dari pembinaan adalah kualitas nasionalisme yang kuat, patriotisme yang kuat pula, sadar akan hak dan kewajiban untuk mempertahankan tanah airnya, yang dalam tulisan ini di ungkap sebagai Negeri Nyiur Melambai.
Salah satu pihak perusak sistem nilai yang ‘bekerja’ sekarang ini adalah penggerak liberalisasi-globalisasi, yang menghantam semua aspek kehidupan berbangsa dan bernegara. Salah satu aspek yang tidak bisa diabaikan adalah ‘merubah’ kultural. Hal ini ditegaskan oleh Michael D. Intriligator…

Globalization is a powerful real aspect of the new world system, and it represents one of the most influential forces in determining the future course of the planet. It has manifold dimensions: economic, political, security, environmental, health, social, cultural, and others.[5]
Pesan professor Intriligator tersebut sudah jelas, yaitu kekuatan liberalisasi-globalisasi memiliki daya (power) yang sangat besar sedang mengarah ke negara berkembang, termasuk Negeri Nyiur Melambai. Ancamannya mengarah pada semua aspek berbangsa dan bernegara, utamanya kultural, dan tentunya sistem nilai. Itulah ancaman primer yang harus diantisipasi, oleh karena merusak atau katakanlah—menghapus jati diri (sistem nilai) suatu bangsa yang menegara. Dalam disiplin Ketahanan nasional mengungkapkan dengan jelas yaitu kerusakan ketahanan sosial-budaya, yang secara sistemik akan merusak ketahanan idiologi, politik, ekonomi, dan ‘pertahanan-keamanan’.

Strategi pertahanan
Manakala berbicara mengenai pertahanan nasional (yang sekarang sebagai HanKam), pada umumnya akan ‘larut’ dalam suatu konsep yang sudah menjadi doktrin, yaitu sistem pertahanan dan keamanan rakyat semesta (SISHANKAMRATA). Pemahaman tersebut kemudian dikukuhkan dalam konstitusi, dan kemudian berkembang sistem pertahanan semesta (SISHANTA) yang dalam bahasa asing dikenal dengan istilah total defense. Singkatnya—konsep tersebut sudah ada landasan hukumnya, dan wajib dihormati, tidak boleh diutak-atik, dan atau dipermasalahkan.

Kembali ke locus tulisan ini, menyiapkan strategi pertahanan Negeri Nyiur Melambai. Ada empat prinsip penuntun yang mengawali perumusan strategi pertahanan. Pertama, pesan Sun Tzu kenali dirimu, dan seterusnya. Pesan itu mengatakan bahwa strategi pertahanan Negeri Nyiur Melambai, harus memperhatikan realita geografi; bahwa (i) wilayah negeri ini terdiri dari rangkaian pulau besar dan kecil, berada dalam ‘kubangan’ perairan seluas 5 juta km2, termasuk ZEEI, (ii) ada tiga perbatasan darat, selebihnya seluruh rangkaian pulau negeri ini, terbuka akses dari laut, dan berbatasan dengan sepuluh negara yang memiliki fire power yang berbeda beda, (iii) kewajiban menyiapkan 3 ALKI, secara tidak langsung sudah membedah negeri ini menjadi empat kompartemen stratejik, dan ada pula empat choke point yang membuat tidak nyaman negara-negara pengguna ALKI.

Kedua, pesan Carl von Clausewitz—War is not merely a political act but a real political instrument, a continuation of political intercourse, a carrying out of the same by other means. Pesan tersebut menyadarkan arsitek pertahanan negeri ini bahwa, strategi pertahanan harus berada dalam bingkai strategi raya (grand strategy). Pimpinan nasional menetapkan geopolitik yang akan menjadi rujukan utama bagi penyusunan strategi pertahanan, yang menjabarkan dalam tiga sekuens—menangkal, menindak, memulihkan, dan pada gilirannya menyiapkan instrumen operasionalnya.
Ketiga, pepatah tua Latin mengingatkan civis pacem parabellum, untuk berdamai—bersiaplah perang. Pesan ini masih dihormati oleh banyak pihak, dan mereka menyiapkan ‘mesin perang’ yang dapat diandalkan untuk menghadapi berbagai kemungkinan yang mengancam kepentingan nasional mereka. Penulis berpendapat, tidaklah tepat bila adagium tersebut diganti dengan zero enemy—thousand friends. Membina hubungan strategic partner sangatlah mudah, sebaliknya membangun defense mechanism adalah pekerjaan long term planning, rumit dan sangat mahal.

Keempat, semangat bela Negara anak bangsa negeri ini tetap terpelihara dengan baik dan ada program pembinaannya. Semangat tersebut tidak survive secara alamiah, tetapi harus ada program yang berlanjut untuk mempertahankannya. Terlebih di era globalisasi yang dimotori oleh kemajuan teknologi informasi, transportasi, dan telekomunikasi, sangat mampu mengkerdilkan atau mengikis kadar emotional bonding anak negeri yang sudah terbangun sejak 1928.
Berbekal empat prinsip penuntun, beranjak ke penyusunan strategi pertahanan. Namun, perlu berterus terang bahwa, formula yang baku mengenai strategi pertahanan Negeri Nyiur Melambai, belum ada yang konkrit dan masih bersifat eksploratif.

Awalannya adalah menjawab pertanyaan mengenai apa yang ingin dikerjakan, dan tulisan ini fokus pada pertanyaan tersebut. Apa yang ingin dikerjakan, adalah sebagai berikut; pertama, membangun daya tangkal (deterrence) yang efektif, dan sebisanya ekonomik. Konsep penangkalan yang akan dikembangkan perlu dikaji dengan cermat, oleh karena perkembangan teknologi dan dinamika lingkungan stratejik mengharuskan demikian.

Kedua, menyiapkan daya penindak (power projection) yang andal. Negeri ini mengenal konsep pertahanan berlapis (defense in depth), yang menunjuk kekuatan apa sebagai penindak pertama, siapa yang kedua, dan siapa pula yang terakhir. Kata kuncinya kekuatan apa, yang dalam bahasa teknis—kualitas fire power. Pekerjaan rumah yang menanti adalah penyiapan ‘mandala’ perang. Tidak ada kata lain selain bersiap, negeri ini membutuhkan kearifan anak bangsa untuk menangkal semua bentuk akal-akalan dari luar yang berusaha masuk ke negeri ini yang aman, sejahtera dan cinta damai.
Ketiga, upaya pemulihan. Secara blak-blakan—upaya pemulihan belum mendapatkan atensi yang proporsional dalam catatan sejarah negeri ini. Ada konflik di Aceh, Papua, Maluku selatan, Sulawesi utara, dan banyak tempat lainnya, catatan sejarah mengungkapkan bahwa tindakan pemulihan tidak dirancang sebagaimana seharusnya. Kedepan, upaya pemulihan akan semakin kompleks karena arus liberalisasi sudah mengakar kuat di negeri yang kekayaan alamnya berlimpah ruah. Bila terjadi kerusakan, mereka akan dimasukkan dalam katagori collateral damage dan harus ada kompensasi sesuai keinginan mereka. Berbicara mengenai pemulihan, berarti akan ada urusan bukan hanya dengan physical loss, tetapi juga dengan socio-cultural loss, political loss, economic loss dan seterusnya. Variabelnya sudah semakin kompleks dan harus diantisipasi.

Membangun kekuatan pertahanan harus berdasarkan realita fiskal, yang tentunya disumbangkan oleh pertumbuhan ekonomi nasional. Akan tetapi perlu penilaian yang realistik, misalnya—apakah dengan laju pertumbuhan ekonomi nasional sebesar 6,5% mampu membeli 10 kapal selam, atau 5 skuadron Shukoi? Jangan bermimpi!!! Tetapi jangan pula pesimis, kata orang—banyak jalan ke Roma.Penulis ingin menutup tulisan ini dengan penekanan pada aspek hukum, perlu dibangun untuk memperkuat strategi pertahanan Negeri Nyiur Melambai.(http://jurnalmaritim.com)