- Kehadiran tiga kapal perang besutan dari Inggris, KRI Usman Harun,
agaknya masih memiliki masalah yang mengganjal. Terlepas dari kegiatan
Duta Besar Inggris untuk
Indonesia, Mark Canning, mengadakan kunjungan kehormatan kepada Kepala
Staf TNI
AL, Laksamana TNI Dr Marsetio, di Markas Besar TNI AL, Cilangkap,
Jakarta
Timur, Selasa (4/3).
Kedua
pemimpin itu membicarakan perkembangan pembangunan tiga unit kapal frigate
kelas KRI Usman-Harun/359 yang sedang dirampungkan di Inggris, sebagaimana
dinyatakan Dinas Penerangan TNI AL, di Jakarta, Selasa.
TNI AL
tengah menunggu kehadiran kapal fregat jenis Multi Role Light Frigate yang
sedang dibuat di Inggris, masing-masing KRI Bung Tomo-357, KRI John Lie-358,
dan KRI Usman Harun-359.
Kehadiran
KRI Usman-Harun/359 pernah membuat Singapura meradang dan membuat beberapa
program kerja sama militer Indonesia dengan mereka dihentikan di tengah jalan,
di antaranya pembatalan penampilan Tim Aerobatik Jupiter TNI AU di Singapore
Airshow 2014.
Turut
hadir mendampingi Laksamana Dr Marsetio dalam pertemuan itu adalah Asisten
Perencanaan Kepala Staf TNI AL, Laksamana Muda TNI Ade Supandi, Asisten
Pengamanan Kepala Staf TNI AL, Laksamana Muda TNI Putu Yuli Adnyana, Asisten
Operasi Kepala Staf TNI AL, Laksamana Muda TNI Didit Herdiawan, Asisten
Logistik Kepala Staf TNI AL, Laksamana
Muda TNI Suyitno, dan beberapa yang lain.
Info
yang diterima oleh ASATUNEWS.com, sebenarnya pihak Angkatan Laut menginginkan
frigate yang "sesungguhnya", bukan light frigate sejenis dibuat dari Inggris
ini. Pada awalnya, ketiga Multi Role Light Frigate ini merupakan pesanan Negara
Brunei Darussalam.
Pada
saat dibeli Indonesia, 3 korvet Nakhoda Ragam Class yang bersandar di Galangan
Kapal Lursen Jerman. Rudal-rudal kapal perang itu, sudah tidak ada, hanya
meninggalkan peluncur saja.
Salah
satu peluncur yang menarik perhatian adalah torpedo Sting Ray launcher,
anti-kapal selam. Torpedo Sting Ray dan Spearfish merupakan senjata andalan
Angkatan Laut Inggris. Tahun 2009 lalu, Menteri Pertahanan Inggris
menandatangani kontrak seharga 615 juta USD dengan BAE Systems Insyte Inggris,
untuk pengadaan dan perawatan torpedo-torpedo tersebut selama 10 tahun ke
depan.
Sting
Ray torpedo kelas ringan yang diinstal di kapal perang Inggris, helikopter Lynx
dan Merlin, serta Pesawat Patroli Maritim Nimrod. Versi terbarunya adalah Sting
Ray Mod 1. Adapun Spearfish merupakan torpedo kelas berat dengan kecepatan 80
knot yang diinstal di seluruh kapal perang Inggris, termasuk: SSN Swiftsure,
Trafalgar, Astute (attack boats class) dan SSBN Vanguard yang juga mengusung
rudal nuklir.
Negara
lain pengguna torpedo Sting Ray adalah Norwegia yang juga Anglo Saxon. Norwegia
melengkapi kapal perang dan helikopternya dengan torpedo Sting Ray Mod 1.
Norwegia memilih rudal ini karena memiliki kemampuan integrasi ke dalam
platform sistem senjata permukaan maupun udara, dan Sting Ray dirancang untuk
menghantam semua jenis kapal selam.
Selain
Inggris dan Norwegia, Sting Ray juga digunakan oleh Angkatan Laut Thailand,
karena dinilai cocok digunakan untuk laut yang dangkal. Inggris menjualnya ke
Brunei karena bagian negara persemakmuran dan membutuhkan pertahanan yang
handal akibat teritori negara yang kecil dan tidak dianggap ancaman.
Namun
di tengah jalan, Inggris dan Brunei bersengketa tentang pembangunan 3 korvet
tersebut. Pengadilan Arbitrase Internasional memenangkan gugatan Inggris,
sehingga Brunei harus membayar 3 korvet yang telah dipesan. Brunei membayarnya
tapi tidak mau menggunakan korvet tersebut dengan cara menjualnya ke galangan
kapal Lursen Jerman. Karena Brunei menolak membawa pulang Korvet Nakhoda Ragam
Class, Inggris pun mencabut rudalnya.
Persoalan
lain adalah, frigate ini belum pernah melakukan uji tembak rudal, baru sebatas
sea trial. Brunei menggugat korvet tersebut saat masih tahapan sea trial. Bagaimana jika rudal yang ditembakkan
meleset? Siapa yang bertanggung jawab?
Kemudian
pihak Lursen Jerman menjual ketiga korvet dengan kondisi apa adanya,
“kosongan”, tanpa rudal ke Indonesia. Untuk itu, pemerintah mengalokasikan US$ 80
juta untuk repowering dan up-grade ketiga korvet Nahkoda Ragam Class.
Dengan kondisi demikian, pihak pemerintah terpaksa merogoh koceknya lebih dalam
lagi karena harganya jadi melambung.
Saat
dikonfirmasikan ke sumber ASATUNEWS.com di Mabes AL,
pihak TNI AL katanya terpaksa menerima kondisi kapal-kapal perang
tersebut apa adanya. “Mau dikatakan apa lagi? Itu sudah jadi
policy, “ papar sumber kami itu. "Kalau soal itu jenisnya frigate ataupun light frigate,
tergantung para pelaut saja yang bawa. Memang perbedaan keduanya terletak dari
panjang kapalnya saja."
Pertanyaan
berikutnya muncul, apakah kapal perang jenis light frigate tersebut mampu
menghadapi iklim dan kedalaman perairan di Indonesia Bagian Timur, sesuai
rencana pihak TNI Angkatan Laut yang akan menempatkan kapal itu di sana? Sebagai
acuan, kedalaman laut Aru saja bisa mencapai lebih dari 5.000 meter, ombak yang
besar dan angin selalu berubah-ubah. Atau kita tetap berpegang pada lagu "Nenek Moyangku Orang Pelaut"? | ANT/NOOR/ASN-029