Pages

Thursday 21 November 2013

9 Oktober 1740, Pembantaian Warga Cina di Batavia


Lelakon berdarah di Batavia yang hampir terlupakan itu telah melecutkan perlawanan warga pecinan seantero Jawa terhadap kebrutalan Kompeni.


Litografi berjudul "Tableau de la Partie de Batavia" terbit pada 1747. Tampak suasana pembantaian warga Cina di Batavia 9 Oktober 1740: Balai Kota, Kali Besar dan daerah sekitar Jalan Tiang Bendera yang terbakar (Exhibition of Antiquarian Maps and Prints of Indonesia, 2003).

“Setiap tempat bersimbah darah dan kanal-kanal dipenuhi dengan mayat-mayat. Sebagian besar kota diselimuti abu dan lima ribu warga Cina yang terkenal rajin dan penuh pengabdian itu telah tewas.” Demikian kisah memilukan dari sebuah catatan akhir abad ke-18 yang pernah tersimpan di perkumpulan komunitas Cina di Jakarta.

Sebuah kota membutuhkan warga yang menghidupkan kegiatan perekonomian. Salah satu komunitas perintis yang bermukim di dalam tembok kota adalah masyarakat Cina yang kelak menjadi cikal bakal budaya peranakan di kota itu. Bahkan, VOC menunjuk seorang kapitan pertama untuk mengatur masyarakat Cina di Batavia pada awal abad ke-17.

Pada awal abad ke-18 perekonomian dunia yang melesu dengan turunnya harga gula turut mempengaruhi kehidupan Batavia. Pengangguran di Batavia meningkat, sementara itu pendatang dari Cina kian memadati kota tertua di Asia Tenggara itu. Setidaknya 4.000 orang Cina bermukim di dalam tembok kota, sedangkan sekitar 10.000 orang berada di luar tembok kota.

Gubernur Jenderal VOC—Kongsi Dagang Hindia Timur— Adriaan Valckenier, melakukan kebijakan untuk mengirimkan kelebihan pengangguran itu ke Sri Langka karena di pulau tenggara India itu VOC juga mendirikan benteng dan kota persinggahan. Namun, terdapat desas-desus yang berkembang di Batavia bahwa orang-orang Cina yang dikirim dengan kapal ke Sri Langka itu dibunuh dengan menceburkan mereka ke laut lepas.

Komunitas Cina di pinggiran Batavia mulai resah dan mengancam untuk melakukan pemberontakan di kota. Mereka juga mendapat dukungan dari warga Cina dalam tembok kota, melengkapi diri dengan berbagai senjata. Di beberapa tempat, seperti Meester Cornelis—kini Jatinegara—telah dikuasai pemberontak Cina.

Pada 9 Oktober 1740, terjadilah huru hara di dalam tembok Kota Batavia. Para serdadu VOC melakukan perampokan dan pembersihan warga Cina. Permukiman Cina dibakar. Semua warga Cina dalam tembok kota, baik pria, maupun wanita, bahkan anak-anak yang lari berhamburan ke jalanan kota itu dibunuh dengan keji.

Stadhuis atau Balai Kota Batavia dibangun pada 1710, kini digunakan sebagai Museum Sejarah Jakarta. Halaman belakangnya telah menjadi ladang penyembelihan dalam tragedi pembantaian warga Cina di Batavia 9 Oktober 1740 (Mahandis Y. Thamrin/NGI).

Bahkan, beberapa ratus orang Cina yang menjadi tahanan di Stadhuis—Balai Kota Batavia, kini Museum Sejarah Jakarta—dibebaskan, lalu disembelih di halaman belakang gedung itu. Diperkirakan antara 5.000 sampai 10.000 warga Cina telah dibantai.

Rumah Kapitan Cina Ni Hoe Kong yang terletak di Roa Malaka—nama jalan itu masih ada hingga kini—dijarah dan dihancurkan. Sang Kapitan yang bertanggung jawab terhadap segala aktivitas orang-orang cina itu ditangkap dan akhirnya wafat dalam pembuangannya di Ambon.

Seorang pelaku pembantaian dan perampokan, G.Bernhard Schwarzen, berkisah dalam bukunya Reise in Ost-Indien yang terbit pada 1751. Ironisnya, dia juga membunuh orang Cina yang dia kenal baik dan kerap mengundangnya makan malam.

Menurutnya, baru empat hari kemudian pembantaian berhenti. Tak tersisa lagi orang Cina di dalam tembok kota. “Seluruh jalanan dan gang-gang dipenuhi mayat, kanal penuh dengan mayat,” tulisnya. “Bahkan kaki kita tak akan basah ketika menyeberangi kanal jika melewati tumpukan mayat-mayat itu.”

Dua tahun kemudian, Gubernur Jenderal Valckenier yang dianggap bertanggung jawab atas tragedi di Batavia, dijatuhi hukuman penjara di Kastil Batavia selama 9,5 tahun sebelum akhirnya meninggal dan dimakamkan tanpa upacara.

Menurut Mona Lohanda, pemerhati sejarah peranakan Cina dan penulis buku Sejarah Para Pembesar Mengatur Batavia, kerusuhan 1740 meluas hingga ke Jawa. Bahwa tragedi orang-orang Cina bukan hanya berdampak kepada kehidupan di Batavia, tetapi juga berakibat pada ketidakstabilan politik di Kasultanan Mataram.

Bagaimana peristiwa itu meluas hingga ke Jawa? Dampak tragedi Oktober 1740, telah membuat Kasultanan Banten bersiaga dengan tiga ribu prajuritnya untuk menghadang orang-orang Cina yang melarikan diri dari Batavia.

Gagal memasuki Banten, para pelarian itu bergerak ke timur. Sejumlah seribu orang bertemu di pantai sisi utara Pati, kota kecil di Jawa Tengah. Akhirnya, sebagai tindakan balasan, mereka bergabung dengan komunitas Cina asal Semarang dan mengepung benteng VOC di kota itu. Tak hanya itu, mereka juga menyerang pertahanan VOC di Rembang, sebuah benteng pinggir pantai. Tampaknya, inilah perlawanan terhebat dan terheroik orang-orang Cina kepada VOC dalam sejarah peranakan Indonesia yang terlupakan.

Jikalau Raja Kartasura, Susuhunan Pakubuwana II, menyatukan antara kekuatan pemberontakan orang-orang Cina dan kekuatan prajurit keratonnya, mungkin saja VOC bisa hengkang dari Jawa Tengah. Namun, sang raja tampaknya menyia-nyiakan momentum sehingga VOC berhasil menguasai keadaan dengan campur tangan dalam urusan kerajaan. Meskipun konspirasi Cina-Jawa dalam “geger pacinan” dapat dipatahkan VOC, perseteruan keluarga itu baru berakhir pada 1755 dengan terbaginya Mataram menjadi Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta.

Usai tragedi kebiadaban itu, tidak ada warga Cina yang kembali ke Batavia. Lalu, VOC memberikan izin tinggal bagi orang-orang Cina di sebelah selatan tembok kota, daerah ladang tebu dan berawa milik Arya Glitok, seorang adiwangsa asal Bali. Kelak, pecinan baru itu dikenal dengan sebutan mirip nama belakang bekas pemiliknya: Glodok. 

Catatan Harian Si Penjagal Tragedi Pembantaian di Batavia

Sebuah buku yang berisi pandangan mata kebiadaban abad ke-18 di Batavia mengisahkan sejarah kelam yang semoga tak terulang lagi.

Sejak peristiwa kelam 1740, VOC tidak membolehkan pecinan dalam tembok kota. Pada 3 Maret 1741 VOC memberikan tanah di selatan tembok kota milik Arya Glitok, seorang adiwangsa asal Bali, sebagai permukiman warga Cina. Kini, dikenal sebagai Glodok (Hafidz Novalsyah/NGI).

“Saya ambil alu penumbuk padi seukuran lengan. Lalu, tetangga yang sering mengajak saya makan malam itu saya pukul hingga tewas,” ungkap sang pelaku. Dia memasuki rumah si tetangga Cina tadi, mengambil pistol dan banyak peluru. Kemudian dia keluar dan membunuh dengan menembak membabi buta.

Si pelaku tampaknya kesetanan, “Saya merasa seperti tukang jagal sehingga tak bisa membedakan membunuh seorang Cina atau seekor anjing.”

Itulah secuplik kisah dari buku Historical Sites of Jakarta karya Adolf Heuken, seorang pastor asal Jerman yang telah menjadi warga negara Indonesia. Dia mengisahkan kembali sebuah buku milik seseorang yang terlibat dalam pembantaian dan perampokan warga Cina di Batavia 9 Oktober 1740. Buku Reise in Ost-Indien yang terbit pada 1751 itu ditulis oleh si pelakunya sendiri, G.Bernhard Schwartzen.

Buku itu melukiskan laporan pandangan mata ketika huru-hara itu terjadi. Isinya sangat mengerikan. Bagaimana tidak, dia mengisahkan ketika para pelaut membongkar paksa pintu milik orang-orang Cina di dalam tembok kota Batavia. Pada jam sembilan, Gubernur-Jenderal memanggil para pegawai VOC untuk memenggal kepala orang Cina. Pembantaian pun terlaksana.

Ironisnya, Schwartzen juga terlibat membunuh orang Cina yang dia kenal baik dan kerap mengundangnya makan malam. Menurutnya, baru empat hari kemudian pembantaian berhenti. Tak tersisa lagi orang Cina di dalam tembok kota.

“Seluruh jalanan dan gang-gang dipenuhi mayat, kanal penuh dengan mayat,” tulisnya. “Bahkan kaki kita tak akan basah ketika menyeberangi kanal jika melewati tumpukan mayat-mayat itu.”

Pada pukul satu siang, Kota Batavia terbakar. Orang-orang Cina itu membakar rumah mereka sendiri daripada jatuh ke tangan para perampok. Bahkan, beberapa orang bunuh diri dengan menggantung di kayu yang melintang di atap rumah. Para penjagal dan perampok itu juga memasuki rumah sakit warga Cina dan membunuh pasien-pasiennya. Tak ketinggalan dua ratus orang Cina yang tengah mendekam di tahanan Balai Kota, mereka ditikam sampai tewas.

Meskipun peristiwa biadab itu telah berlalu 272 tahun yang lalu, kita berharap kebijakan yang bermuatan prasangka terhadap suatu etnis atau perlakuan yang berbeda karena ras, suku, atau agama sudah sepantasnya diakhiri segera.(Mahandis Y. Thamrin/NGI)