Pages

Saturday 30 August 2014

Selain Harus Punya Nama Sendiri, Berikut Urgensi Badan Keamanan Laut

Kalakhar Bakorkamla Laksamana Madya DA. Mamahit. (Foto: Benny Syahputra)

Jakarta, Titik cerah pembentukan Badan Keamanan Laut adalah lahirnya Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Revisi Undang-Undang No. 6 Tahun 1996 pasal 24 ayat 3 oleh DPR RI. Tatakelola penegak hukum dan keamanan laut memang karut marut, akibat tumpang tindih kewenangan.
“Kita tidak perlu memiliki nama yang sama dengan US Coast Guard. Indonesia harus memiliki nama dan identitas sendiri. Dan itu tidak melanggar peraturan hukum internasional yang ditetapkan International Maritime Organization (IMO),” ujar Kepala Pelaksana Harian (Kalakhar) Badan Koordinasi Keamanan Laut (Bakorkamla), Laksamana Madya DA. Mamahit, ketika dijumpai di kantornya, beberapa waktu lalu.
Menurut Mamahit, pada 6 April 2014, Indonesia Sea and Coast Guard (ISCG) telah dihapuskan atas Instruksi Presiden.
“ISCG tidak ada lagi semenjak tanggal 6 April 2014, yang ada hanyalah Kesatuan Penjaga Laut dan Pantai (KPLP) bidang pelayaran,” katanya.
Ia menjelaskan urgensi pembentukan Badan Keamanan Laut, baik aspek dalam maupun luar negeri. Aspek dalam negeri, pertama, mematuhi kebijakan pemerintah untuk pembentukan Badan Keamanan laut yang didukung dengan Early Warning System (EWS) Efektivitas Koordinasi, Komando dan Pengendalian (Perpres 39/2013 tentang Rencana Kerja Pemerintah 2014, buku II Bab VII, Butir 5).
Kedua, belum terealisasinya Inpres No. 15 tahun 2011 tentang Perlindungan Nelayan, untuk memberikan kepastian kenyamanan nelayan dalam mencari nafkah dengan kepastian adanya lembaga yang berperan sebagai penjamin keamanan dan ketertiban di laut.
Ketiga, Operasi Keamanan dan Keselamatan laut saat ini diselenggarakan masing-masing stakeholder yang berwewenang dan beroperasi di laut, sehingga menimbulkan beben anggaran pemerintah yang besar.
Keempat, karena perairan Indonesia dinyatakan oleh organisasi internasional belum sebagai perairan aman maka beban asuransi maritim Perairan Indonesia tidak kompetitif di kawasan regional yang harus ditanggung pengguna jasa laut.
Kelima, mekanisme implementasi Bakamla, yakni pendayagunaan maksimal sistem deteksi dan peringatan dini yang sudah dimiliki oleh Bakrokamla dan integrasinya terhadap sarana dan prasarana yang dimiliki oleh stakeholder.
Mekanisme selanjutnya melalui satu pengaturan dan penegendalian perintah gerak operasi, sehingga diperoleh efisiensi dan efektivitas penggunaan uang negara melalui pergerakan kapal patroli yang tidak tumpang tindih dengan pengaturan dan pengendalian perintah gerak kapal patroli.
Mekanisme terakhir, penyelesaian proses penanganan perkara hasil tangkapan dari kapal patroli kepada stakeholder dalam rangka tetap menghormati keberlakuan undang-undang instansi yang terkait dengan keamanan dan keselamatan.
Sementara aspek luar negeri, pertama, perlu mengawasi Perairan Indonesia melalui EWS yang mengandalkan leading edge technology guna meningkatkan efek penangkalan terhadap ilegal dari luar.
Kedua, perlu lembaga setara negara lain yang single agency untuk keamanan dan keselamatan laut (Malaysian Maritime Enforcement Agency/MMEA, Japan Coast Guard/JCG, United State Coast Guard/USCG, Indian Coast Guard/ICG). Lembaga ini akan menjadi single point of contact dalam masalah keamanan dan keselamatan laut, sebagaimana yang telah dilakukan Bakorkamla 2007-2013, menjadi ketua Delegasi dalam kegiatan Head of Asian Coast Guard Agency Meeting (HACGAM).

jurnal maritim