Pages

Saturday 11 January 2014

KRI Gadjah Mada: Flagship dan Destroyer Pertama TNI AL



Foto: KRI Gadjah Mada: Flagship dan
Destroyer Pertama TNI AL
KRI Gadjah Mada
Dalam gelar kekuatan militer, adalah
hal yang wajar bila suatu angkatan
laut memiliki flagship. Bila dicerna
lebih dalam, flagship adalah kapal
utama yang punya spesifikasi
persenjataan paling mumpuni di
suatu armada. TNI AL, sebagai
kekuatan laut terbesar di Asia
Tenggara dengan sejarah panjang
dalam pengabdiannya, mengenal
flagship dalam beberapa periode.
Dalam konteks kekinian, korvet kelas
SIGMA (kelas Diponegoro) bisa
dianggap sebagai flagship TNI AL,
karena dari segi alutsista dan
perangkat pendukung kapal buatan
Belanda ini adalah yang paling
canggih. Mundur ke dekade 90-an,
frigat kelas Van Speijk yang dibeli
second dari Belanda adalah yang
paling canggih dimasanya. Mundur
lagi ke dekade 80-an, kita mengenal
frigat kelas Fatahillah (KRI
Fatahillah, KRI Malayahati, dan KRI
Nala)
adalah kapal perang termodern
dikala itu, bahkan kapal ini dibeli
gres alias baru, juga dari Belanda.
Bagaimana flagship TNI AL di tahun
70-an? Ada tiga perusak kawal
(destroyer escort) kelas Claude Jones
yang statusnya bekas pakai dari AL
AS.
Dan flash back jauh ke masa lampau,
saat militer Indonesia menjadi
“Macan Asia” di tahun 60-an. Adalah
KRI Irian menjadi flagship nomer
wahid yang dipunyai TNI AL, bahkan
kala itu tiada tandingan untuk
penjelajah ringan ini di kawasan
Asia Tenggara dan Australia. Adanya
flagship dalam beberapa periode,
menyiratkan ‘kematangan’ TNI AL
dalam menyikapi modernisasi sistem
senjata sesuai jamannya.
KRI Irian
Masih terkait flagship armada TNI
AL, penulis mengajak kita semua
merenung kembali ke masa lampau,
bahkan sebelum era datangnya KRI
Irian dan beragam alutsista buatan
Uni Soviet. Bahwa di awal tahun 50-
an TNI AL (kala itu ALRI) sudah pula
mengenal keberadaan flagship.
Mengutip ungkapan Bung Karno,
Jasmerah (Jangan sekali-kali
meninggalkan sejarah), maka
keberadaan kapal perang yang satu
ini rasanya pantas diketahui seluk
beluknya lebih dalam, walau
sosoknya sudah tak bisa dilihat, tapi
KRI (RI) Gadjah Mada, demikian
nama kapal ini, menjadi cikal bakal
bangkitnya modernisasi alutsista di
lingkungan TNI AL.
HMS Nonpareil (G16)
Berawal dari Konferensi Meja
Bundar
Setelah melewati perjuangan yang
panjang, akhirnya Indonesia
mendapat pengakuan kedaulatan
dari pemerintah Belanda lewat
konferensi Meja Bundar di tahun
1949. Salah satu hasil dari KMB
adalah pihak Belanda menghibahkan
beberapa persenjataannya untuk
militer Indonesia. Selain P-51D
Mustang, dan tank Sherman,
Belanda juga menghibahkan kapal
perusak (destroyer) kelas N pada
tahun 1951. Sebelum dihibahkan ke
Indonesia, nama kapal ini adalah
HrMs Tjerk Hiddes. Destroyer ini
aktif berperang selama Perang Dunia
Kedua.
Tidak ditehui jelas berapa nomer
lambung KRI Gadjah Mada. Tapi
yang cukup menarik, perusak dengan
247 awak ini punya banyak
“saudara,” artinya tidak dibuat
dalam wujud satu unit. Dirunut dari
sejarahnya destroyer kelas N dibuat
di Inggris oleh galangan W. Denny &
Bros, Dumbarton di tahun 1939.
Jumlah destroyer kelas N total ada 9
unit, dimana kesemuanya
diperuntukkan bagi AL Inggris (Royal
Navy). Kesembilan kapal itu adalah
HMS Noble (G84), HMS Nonpareil
(G16), HMS Napier (G97), HMS
Nestor (G02), HMS Nizam (G38), HMS
Norman (G49), HMS Nepal (G25), dan
HMS Nerissa (G65).
HrMs Tjerk Hiddes JT-5
Kembaran HrMs Tjerk Hiddes, yakni
HrMs Van Galen, tampak dalam foto
sedang melakukan isi bahan bakar
dari tanker
Menyusul berkecamuknya Perang
Dunia Kedua, Inggris berinisiatif
untuk menghibahkan kesembilan
kapal tadi ke negara-negara sekutu,
maklum saat itu sekutu harus
melawan NAZI Jerman. Dua kapal,
HMS Noble (G84), HMS Nonpareil
(G16) dihibahkan ke AL Belanda.
Kemudian lima kapal, HMS Napier
(G97), HMS Nestor (G02), HMS Nizam
(G38), HMS Norman (G49), HMS
Nepal (G25) dihibahkan ke AL
Australia, dan sisanya HMS Nerissa
dihibah ke AL Polandia. Nah,
kemudian kisahnya mengerucut pada
destroyer yang resmi dihibahkan ke
Belanda pada tahun 1942. HMS
Noble kemudian berganti nama jadi
HrMs Van Galen, dan HMS Nonpareil
berganti nama jadi HrMs Tjerk
Hiddes. Sebelum berpindah tangan
ke Belanda, kapal perusak ini aktif
‘membentengi’ Scapa Flow, yaitu
pangkalan utama armada AL Inggris
di pesisir utara Skotlandia, dari
serangan torpedo U-Boat Jerman.
HMS Nestor, juga satu varian dengan
KRI Gadjah Mada
Setelah memperkuat AL Kerajaan
Belanda, HrMs Tjerk Hiddes banyak
ditugaskan di perairan Timur
Tengah, perairan Afika Selatan,
hingga palagan Pasifik. Kebanyakan
misi perusak ini adalah melindungi
konvoi kapal dagang dari serangan
AL Jerman.
Lebih dalam tentang sosok HrMs
Tjerk Hiddes, peletakan lunas
pertama kapal ini dilakukan pada 22
Mei 1940 di galangan W. Denny &
Bros, Dumbarton, Inggris. Kemudian
selagi menyandang nama HMS
Nonpareil, resmi diluncurkan pada
25 Juni 1941 dengan identitas pada
lambung G-16. Seiring waktu
berjalan, kapal diserahkan kepada AL
Belanda pada 6 Mei 1942, kala itu
sedang puncaknya Perang Dunia
Kedua. Selama menjadi arsenal
kekuatan AL Belanda, HrMs Tjerk
Hiddes diketahui sempat beberapa
kali dilakukan pergantian nomer
lambung, seperti JT ( Jaeger Torpedo )
-5 dan D-806.
Dari sisi persenjataan, kapal perusak
dengan berat kosong 1.670 ton ini
dibekali senjata tempur utama
berupa 6 unit meriam 4.7 inchi
kaliber 120mm, 4 unit kanon
Pompom MK8 kaliber 40mm, dan 6
unit kanon Oerlikon kaliber 20mm.
Itu baru senjata untuk melahap
target di permukaan dan udara,
guna menghadapi kapal selam
tersedia heavy torpedo , yakni 2 unit
peluncur torpedo MK9 21 inchi,
dimana tiap modul peluncur
terdapat 5 torpedo yang siap
dilepaskan. Menyadari tugas
utamanya menghancurkan kapal
selam, kapal perusak ini juga
dilengkapi mortir anti kapal selam
dan bom laut lewat 1 rel. Media
penjejak kapal selam dipercayakan
pada perangkat akustik 123 A Asdic.
Dari sisi persenjataan yang melekat,
sebagian besar adalah rancangan
dari era Perang Dunia Pertama.
KRI Gadjah Mada
Seperti disebutkan sebelumnya,
HrMs Tjerk Hiddes dihibahkan ke
Indonesia pada tahun 1951. Saat
itu, inilah kapal perang terbesar
yang dimiliki TNI AL, maklum waktu
usia ALRI masih sangat muda, selain
awak yang masih hijau, umumnya
kapal yang ada masih berupa tug
boat yang dipersenjatai kanon
ringan. Adanya KRI Gadjah Mada
adalah berkah tersendiri, sekaligus
lompatan teknologi yang besar pada
masa itu.
Senjata andalan pada KRI Gadjah
Mada adalah 6 unit meriam 4.7
inchi Vickers MK XIV kaliber 120mm,
Meriam Vickers MK XIV ini
menggunakan pola tembakan semi
otomatis, mempunyai jarak tembak
maksimum 14.632 meter, dan jarak
tembak efektif 9.144 meter. Sisa
kapalnya memang tidak dapat kita
jumpai, karena sudah di scrap pada
1961. Tapi sisa meriam 120mm-nya
masih dapat Anda lihat hingga kini,
yakni di Museum Satria Mandala.
Meriam ini sekaligus menjadi koleksi
meriam terbesar di museum
tersebut.
Meriam 4.7 inchi Vickers MK XIV
kaliber 120mm di Museum Satria
Mandala
Usia mesin turbin yang cukup tua,
biaya operasional yang tinggi, serta
sistem senjata yang sudah ‘kuno,’
menjadi dasar dibesituakannya
Gadjah Mada. Sebelum di scrap,
kabarnya kapal ini sempat dijadikan
kapal latih. Mengenai penugasan
dalam operasi militer, KRI Gadjah
Mada dilibatkan secara penuh dalam
mendukung penumpasan PRRI
Permesta tahun 1958.
Nama Gadjah Mada, setidaknya dua
kali dipakai dalam arsenal ALRI (TNI
AL), sebelumnya ada RI Gadjah Mada
dalam wujud tug boat yang
dipersenjatai kanon Oerlikon 20mm ,
kapal ini rusak dan tenggelam dalam
pertempuran di laut Cirebon pada 5
Januari 1947. Kemudian nama
Gadjah Mada ‘dibangkitkan’ kembali
untuk sosok destroyer pertama TNI
AL.
Dilengkapi shield
Pada versi di haluan, dilengkapi
perisai yang menyerupai kubah.
Selain KRI Gadjah Mada, TNI AL
mendapatkan lagi generasi destroyer,
yakni kelas Almirante Clemente (2
unit) buatan Italia, didatangkan
pada periode 1957 – 1959. Kemudian
menyongsong operasi Trikora, TNI AL
kedatangan destroyer kelas Skorry (8
unit) buatan Uni Soviet yang dibeli
RI dari Polandia di tahun 1964. Dan
terakhir, di tahun 70-an TNI AL
memiliki perusak kawal kelas Claude
Jones (4 unit), armada destroyer
escort ini mengakhiri pengabdiannya
pada tahun 2003 lalu. (Haryo Adjie
Nogo Seno)
Catatan: Di tahun 60-an dan
sebelumnya, identitas kapal perang
Indonesia disebut RI (Repoeblik
Indonesia) dan belum menjadi KRI
(Kapal Perang Republik Indonesia),
penulisan KRI Gadjah Mada dan KRI
Irian pada tulisan ini lebih untuk
memperkuat pemahaman bagi
pembaca secara luas, karena
penyebutan identitas KRI dipandang
lebih populer.
Spesifikasi KRI Gadjah Mada
Tipe : Destroyer
Dimensi : 99,5 x 10,9 x 2,74
meter
Berat kosong : 1.670 ton
Berat penuh : 2.330 ton
Mesin : 2 steam turbin dengan
dua baling-baling
Tenaga : 4000 hp
Kecepatan max : 36 knots
Kecepatan Jelajah : 15 knots
Kapasitas BBM : 611 ton
Jarak Jelajah : 5.400 nm
Awak : 183 – 247 orang 

@FN
KRI Gadjah Mada
Dalam gelar kekuatan militer, adalah  hal yang wajar bila suatu angkatan  laut memiliki flagship. Bila dicerna lebih dalam, flagship adalah kapal utama yang punya spesifikasi persenjataan paling mumpuni di
suatu armada. TNI AL, sebagai kekuatan laut terbesar di Asia Tenggara dengan sejarah panjang dalam pengabdiannya, mengenal flagship dalam beberapa periode. Dalam konteks kekinian, korvet kelas
SIGMA (kelas Diponegoro) bisa dianggap sebagai flagship TNI AL, karena dari segi alutsista dan perangkat pendukung kapal buatan Belanda ini adalah yang paling canggih. Mundur ke dekade 90-an, frigat kelas Van Speijk yang dibeli second dari Belanda adalah yang paling canggih dimasanya. Mundur lagi ke dekade 80-an, kita mengenal frigat kelas Fatahillah (KRIFatahillah, KRI Malayahati, dan KRI Nala)

adalah kapal perang termodern dikala itu, bahkan kapal ini dibeli gres alias baru, juga dari Belanda. Bagaimana flagship TNI AL di tahun 70-an? Ada tiga perusak kawal (destroyer escort) kelas Claude Jones
yang statusnya bekas pakai dari AL AS.

Dan flash back jauh ke masa lampau, saat militer Indonesia menjadi “Macan Asia” di tahun 60-an. Adalah KRI Irian menjadi flagship nomer wahid yang dipunyai TNI AL, bahkan kala itu tiada tandingan untuk
penjelajah ringan ini di kawasan Asia Tenggara dan Australia. Adanya flagship dalam beberapa periode, menyiratkan ‘kematangan’ TNI AL dalam menyikapi modernisasi sistem senjata sesuai jamannya. KRI Irian Masih terkait flagship armada TNI AL, penulis mengajak kita semua merenung kembali ke masa lampau, bahkan sebelum era datangnya KRI Irian dan beragam alutsista buatan Uni Soviet. Bahwa di awal tahun 50-
an TNI AL (kala itu ALRI) sudah pula mengenal keberadaan flagship. Mengutip ungkapan Bung Karno, Jasmerah (Jangan sekali-kali meninggalkan sejarah), maka keberadaan kapal perang yang satu
ini rasanya pantas diketahui seluk beluknya lebih dalam, walau sosoknya sudah tak bisa dilihat, tapi KRI (RI) Gadjah Mada, demikiannama kapal ini, menjadi cikal bakal bangkitnya modernisasi alutsista di
lingkungan TNI AL.

HMS Nonpareil (G16) Berawal dari Konferensi Meja Bundar Setelah melewati perjuangan yang panjang, akhirnya Indonesia mendapat pengakuan kedaulatan dari pemerintah Belanda lewat konferensi Meja Bundar di tahun 1949. Salah satu hasil dari KMB adalah pihak Belanda menghibahkan beberapa persenjataannya untuk militer Indonesia. Selain P-51D Mustang, dan tank Sherman, Belanda juga menghibahkan kapal
perusak (destroyer) kelas N pada tahun 1951. Sebelum dihibahkan ke Indonesia, nama kapal ini adalah HrMs Tjerk Hiddes. Destroyer ini aktif berperang selama Perang Dunia Kedua.

Tidak ditehui jelas berapa nomer lambung KRI Gadjah Mada. Tapi yang cukup menarik, perusak dengan 247 awak ini punya banyak  “saudara,” artinya tidak dibuat dalam wujud satu unit. Dirunut dari sejarahnya destroyer kelas N dibuat di Inggris oleh galangan W. Denny & Bros, Dumbarton di tahun 1939. Jumlah destroyer kelas N total ada 9 unit, dimana kesemuanya diperuntukkan bagi AL Inggris (Royal Navy). Kesembilan kapal itu adalah HMS Noble (G84), HMS Nonpareil (G16), HMS Napier (G97), HMS
Nestor (G02), HMS Nizam (G38), HMS Norman (G49), HMS Nepal (G25), dan  HMS Nerissa (G65). HrMs Tjerk Hiddes JT-5 Kembaran HrMs Tjerk Hiddes, yakni HrMs Van Galen, tampak dalam foto sedang melakukan isi bahan bakar dari tanker Menyusul berkecamuknya Perang Dunia Kedua, Inggris berinisiatif untuk menghibahkan kesembilan kapal tadi ke negara-negara sekutu, maklum saat itu sekutu harusmelawan NAZI Jerman. Dua kapal, HMS Noble (G84), HMS Nonpareil (G16) dihibahkan ke AL Belanda. Kemudian lima kapal, HMS Napier (G97), HMS Nestor (G02), HMS Nizam (G38), HMS Norman (G49), HMS Nepal (G25) dihibahkan ke AL Australia, dan sisanya HMS Nerissa dihibah ke AL Polandia. Nah, kemudian kisahnya mengerucut pada destroyer yang resmi dihibahkan ke Belanda pada tahun 1942. HMS Noble kemudian berganti nama jadi HrMs Van Galen, dan HMS Nonpareil berganti nama jadi HrMs Tjerk Hiddes. Sebelum berpindah tangan ke Belanda, kapal perusak ini aktif
‘membentengi’ Scapa Flow, yaitu pangkalan utama armada AL Inggris di pesisir utara Skotlandia, dari serangan torpedo U-Boat Jerman. HMS Nestor, juga satu varian dengan KRI Gadjah Mada
Setelah memperkuat AL Kerajaan Belanda, HrMs Tjerk Hiddes banyak ditugaskan di perairan TimurTengah, perairan Afika Selatan, hingga palagan Pasifik. Kebanyakan misi perusak ini adalah melindungi
konvoi kapal dagang dari serangan AL Jerman.

Lebih dalam tentang sosok HrMs Tjerk Hiddes, peletakan lunas pertama kapal ini dilakukan pada 22 Mei 1940 di galangan W. Denny & Bros, Dumbarton, Inggris. Kemudian selagi menyandang nama HMS
Nonpareil, resmi diluncurkan pada 25 Juni 1941 dengan identitas pada lambung G-16. Seiring waktu berjalan, kapal diserahkan kepada AL Belanda pada 6 Mei 1942, kala itu sedang puncaknya Perang Dunia
Kedua. Selama menjadi arsenal kekuatan AL Belanda, HrMs Tjerk Hiddes diketahui sempat beberapa kali dilakukan pergantian nomer lambung, seperti JT ( Jaeger Torpedo ) -5 dan D-806.

Dari sisi persenjataan, kapal perusak dengan berat kosong 1.670 ton ini dibekali senjata tempur utama berupa 6 unit meriam 4.7 inchi kaliber 120mm, 4 unit kanon Pompom MK8 kaliber 40mm, dan 6
unit kanon Oerlikon kaliber 20mm. Itu baru senjata untuk melahap target di permukaan dan udara, guna menghadapi kapal selam tersedia heavy torpedo , yakni 2 unit peluncur torpedo MK9 21 inchi, dimana tiap modul peluncur terdapat 5 torpedo yang siap dilepaskan. Menyadari tugas utamanya menghancurkan kapal selam, kapal perusak ini juga dilengkapi mortir anti kapal selam dan bom laut lewat 1 rel. Media
penjejak kapal selam dipercayakan pada perangkat akustik 123 A Asdic. Dari sisi persenjataan yang melekat, sebagian besar adalah rancangan dari era Perang Dunia Pertama. KRI Gadjah Mada
Seperti disebutkan sebelumnya, HrMs Tjerk Hiddes dihibahkan ke Indonesia pada tahun 1951. Saat itu, inilah kapal perang terbesar yang dimiliki TNI AL, maklum waktu usia ALRI masih sangat muda, selain
awak yang masih hijau, umumnya kapal yang ada masih berupa tug boat yang dipersenjatai kanon ringan. Adanya KRI Gadjah Mada adalah berkah tersendiri, sekaligus lompatan teknologi yang besar pada
masa itu.

Senjata andalan pada KRI Gadjah Mada adalah 6 unit meriam 4.7 inchi Vickers MK XIV kaliber 120mm, Meriam Vickers MK XIV ini menggunakan pola tembakan semi otomatis, mempunyai jarak tembak
maksimum 14.632 meter, dan jarak tembak efektif 9.144 meter. Sisa kapalnya memang tidak dapat kita jumpai, karena sudah di scrap pada 1961. Tapi sisa meriam 120mm-nya masih dapat Anda lihat hingga kini,
yakni di Museum Satria Mandala. Meriam ini sekaligus menjadi koleksi meriam terbesar di museum tersebut.
Meriam 4.7 inchi Vickers MK XIV kaliber 120mm di Museum Satria Mandala Usia mesin turbin yang cukup tua, biaya operasional yang tinggi, serta sistem senjata yang sudah ‘kuno,’ menjadi dasar dibesituakannya Gadjah Mada. Sebelum di scrap, kabarnya kapal ini sempat dijadikan kapal latih. Mengenai penugasan dalam operasi militer, KRI Gadjah Mada dilibatkan secara penuh dalam mendukung penumpasan PRRI Permesta tahun 1958. Nama Gadjah Mada, setidaknya dua kali dipakai dalam arsenal ALRI (TNI
AL), sebelumnya ada RI Gadjah Mada dalam wujud tug boat yang dipersenjatai kanon Oerlikon 20mm , kapal ini rusak dan tenggelam dalam pertempuran di laut Cirebon pada 5 Januari 1947. Kemudian nama
Gadjah Mada ‘dibangkitkan’ kembali untuk sosok destroyer pertama TNI AL.

Dilengkapi shield Pada versi di haluan, dilengkapi perisai yang menyerupai kubah. Selain KRI Gadjah Mada, TNI AL mendapatkan lagi generasi destroyer, yakni kelas Almirante Clemente (2 unit) buatan Italia, didatangkan pada periode 1957 – 1959. Kemudian menyongsong operasi Trikora, TNI AL kedatangan destroyer kelas Skorry (8 unit) buatan Uni Soviet yang dibeli RI dari Polandia di tahun 1964. Dan
terakhir, di tahun 70-an TNI AL memiliki perusak kawal kelas Claude Jones (4 unit), armada destroyer escort ini mengakhiri pengabdiannya pada tahun 2003 lalu. (Haryo Adjie Nogo Seno) Catatan: Di tahun 60-an dan sebelumnya, identitas kapal perang Indonesia disebut RI (Repoeblik Indonesia) dan belum menjadi KRI (Kapal Perang Republik Indonesia), penulisan KRI Gadjah Mada dan KRI Irian pada tulisan ini lebih untuk memperkuat pemahaman bagi pembaca secara luas, karena penyebutan identitas KRI dipandang lebih populer.

Spesifikasi KRI Gadjah Mada
Tipe : Destroyer
Dimensi : 99,5 x 10,9 x 2,74
meter
Berat kosong : 1.670 ton
Berat penuh : 2.330 ton
Mesin : 2 steam turbin dengan
dua baling-baling
Tenaga : 4000 hp
Kecepatan max : 36 knots
Kecepatan Jelajah : 15 knots
Kapasitas BBM : 611 ton
Jarak Jelajah : 5.400 nm
Awak : 183 – 247 orang