Pages

Monday 27 April 2015

Indonesia Jangan Takut Kehilangan Muka soal Eksekusi Mati

Indonesia Jangan Takut Kehilangan Muka soal Eksekusi Mati Presiden Indonesia Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla saat mengucapkan selamat jalan kepada kepala-kepala negara Asia Afrika setelah jamuan makan siang di Balai Pakuan, Bandung, usai puncak peringatan 60 Tahun Konferensi Asia Afrika, Jumat, (24/4). 
 
Jakarta -- Gelombang penolakan hukuman mati makin gencar dilancarkan menjelang pelaksanaan eksekusi terpidana mati kasus narkoba tahap kedua. Pemerintah Indonesia dituntut untuk tidak ragu dalam melaksanakan hukuman mati meskipun protes keras juga datang dari sejumlah kepala negara yang warganya akan dieksekusi mati di Indonesia.

Pengamat hukum pidana dari Universitas Indonesia Ganjar Laksmana menyatakan, pemerintah tidak perlu ragu untuk melanjutkan kembali eksekusi terhadap para terpidana mati kasus narkoba mesti dikecam oleh berbagai kalangan. “Tidak perlu takut kehilangan muka,” kata Ganjar saat dihubungi CNN Indonesia, Ahad malam (27/4).


Kuasa hukum Rodrigo Gularte, terpidana mati kasus narkoba asal Brasil menyatakan pemerintah Indonesia akan menanggung malu jika tetap melakukan eksekusi tanpa menunggu putusan Peninjauan Kembali (PK) yang akan diajukan Senin (27/4) ini. Sebab jika di kemudian hari terbukti kliennya mengidap gangguan jiwa, pemerintah akan dinilai dunia internasional keliru menjatuhkan hukuman yang seharusnya tidak berlaku terhadap penderita penyakit tersebut.

Selain dari pihak kuasa hukum dan aktivis hak asasi manusia, penolakan keras terhadap hukuman mati terang-terangan disampaikan oleh Presiden Perancis Francois Hollande atas rencana eksekusi mati pada Serge Atlaoui, warga Prancis yang divonis mati atas kasus narkoba di Indonesia. Francois mengancam jika eksekusi mati dilakukan maka akan merusak hubungan diplomatik kedua negara dan Perancis bakal menarik duta besarnya di Jakarta. (Baca:

Penolakan juga datang dari Presiden Filipina Benigno Aquino III yang warganya yaitu Mary Jane Fiesta Veloso akan dieksekusi mati. Benigno mengajak Presiden Jokowi bertemu Senin (27/4) ini untuk membahas nasib warganya itu.

Ganjar menegaskan, pemerintah dalam hal ini Kejaksaan Agung hanya bertindak selaku eksekutor yang menjalankan perintah pengadilan. “Ini putusan hukum pengadilan yang harus dilaksanakan, suka atau tidak suka,” ujar Ganjar.

Ganjar mengingatkan, pengadilan posisinya berada di luar eksekutif atau pemerintah, dan pihak-pihak yang menentang hukuman mati terutama dari negara luar sangat memahami hal tersebut. “Mereka mengerti, ini karena mereka ingin membela warga negaranya yang akan dihukum mati,” kata dia. “Kalau ada warga Indonesia yang dihukum mati oleh negara lain pemerintah kita juga memprotes dan membela. Jadi proporsional saja,” lanjutnya.

Ganjar menyatakan bahwa hakim yang memutuskan hukuman mati tentunya sudah meyakini sebelum menjatuhkan hukuman tersebut terhadap terpidana. “Sudah terbukti dan meyakinkan di pengadilan,” tegasnya.

Menurut Ganjar, jika nanti misalnya di kemudian hari ada suatu kesalahan dalam pelaksanaan hukuman mati maka bukan pemerintah yang harus menanggung tapi pihak hakim atau pengadilan. “Pemerintah atau Kejaksaan hanya menjalankan putusan pengadilan, jadi hakim yang berurusan, urusannya berupa tanggung jawab kepada Tuhan,” tutur dia.

Kalangan Dewan Perwakilan Rakyat juga mendukung penuh sikap tegas pemerintah yang akan melakukan hukuman tahap kedua terhadap para terpidana mati kasus narkoba. Anggota Komisi Hukum DPR Sarifuddin Sudding menganggap wajar adanya protes. “Biar saja, jalan terus (hukuman mati),” ucap Sarifuddin ketika dihubungi CNN Indonesia, Ahad malam (26/4).

Sarifuddin menegaskan, kalau pemerintah sampai terpengaruh oleh adanya protes berarti pemerintah tidak tegas dan malah nantinya bisa tidak dihargai oleh bangsa lain. “Ini pertaruhan kedaulatan bangsa kita dalam menegakkan hukum di negara kita, jangan ragu untuk eksekusi,” kata politikus Partai Hanura ini dengan tegas. (CNN Indonesia)