Ketangguhan pertahanan negara merefleksi kemapanan industri strategis
berbasis pertahanan yang dimiliki. Semakin berkembang industri
pertahanan, maka semakin tangguhlah negara itu.
Indonesia sendiri memiliki industri pertahanan, antara lain PT
Dirgantara Indonesia, PT PAL, PT LEN, dan PT Pindad.
Perusahaan-perusahaan berstatus Badan Usaha Milik Negara (BUMN) ini
seperti segan hidup, namun mati tak mau. Kurun waktu lima tahun
terakhir, penjualan industri pertahanan sulit mencapai target 80 persen,
apalagi 100 persen.
Keuntungan yang diperoleh masih minim, bahkan di antara unit bisnis
masih merugi. Itu artinya, peran industri pertahanan untuk menopang
pertumbuhan ekonomi dan pertahanan negara Indonesia juga masih sangat
kecil.
"Sangat ironi, sedemikian pentingnya sektor industri strategis bagi
sebuah negara, tapi yang kita miliki terus terpuruk dalam 10 tahun
terakhir," ujar Koordinator Staf Pribadi (Koorspri) Panglima TNI,
Kolonel Laut (S) Ivan Yulivan dalam perbincangannya dengan Suara Karya di Jakarta, akhir pekan lalu.
Peraih predikat cumlaude program doktor menejemen bisnis Universitas
Padjajaran ini memastikan peran industri pertahanan sangat penting.
Hasil penelitiaannya, industri pertahanan bisa jadi pondasi pembangunan
ekonomi serta menjaga stabilitas keamanan dan pertahanan negara.
Pemangku kepentingan di Indonesia seperti tak menyadari negeri ini
memiliki potensi sumber daya alam dan sumber daya manusia yang sangat
besar. Atau sebaliknya menyadari, pengambil kebijakan politik di level
eksekutif dan legislatif, termasuk pelaku usaha industri pertahanan
masih setengah hati. "Kemampuan yang dimiliki tak disinergikan," ujar
Ivan.
Bukan sekedar mimpi jika industri pertahanan dalam negeri memiliki
kreasi dan ikon baru. Ivan optimis Indonesia akan berubah wujud menjadi
sebuah negara yang disegani dunia internasional, apabila mampu
menciptapkan teknologi - teknologi perang canggih dan tangguh.
Ala China
Agar industri pertahanan Indonesia berkembang dan mampu menyiptakan
ikon senjata baru, maka harus ada satu kesatuan tekad serta ketulusan
hati dari para pemangku kepentingan. "Harus ada keberpihakan dari dalam
negeri," ujar dia.
Patut disiasati juga apabila terjadi pergantian pemerintahan dan
perubahan kebijakan nasional terkait industri pertahanan. Paling penting
dilakukan saat ini menciptakan kerasi baru. Alutsista yang diciptakan
memiliki keunikan, daya tarik sesuai selera pasar.
Ivan mengatakan, adanya kerja sama alih teknologi antara Indonesia
dengan beberapa negara handal pembuat alutsista menjadi salah satu
modal. Para ahli Indonesia disinergikan untuk mengelaborasi ilmu yang
diraihnya untuk menciptakan alustsita yang sama maupun lebih canggih,
namun dengan biaya yang lebih murah.
"Hal ini pun dilakukan China dalam metransfer teknologi," ujar dia.
China membeli teknologi lalu dibongkar habis. Selanjutnya diteliti dan
dipelajari untuk menciptakan teknologi baru dan canggih dengan biaya
yang lebih murah. "Biaya produksi murah bermuara pada nilai jual yang
kompetitif," ujar Ivan.
Menurut dia, jika industri pertahanan Indonesia mampu menciptakan nilai
kreasi alutsista maka dengan sendiri akan membuka pasar yang dimulai
dari dalam negeri, tak tertutup membuka peluang pasar luar negeri.
"Pasar dalam negeri masih banyak memerlukan produk alutsista," demikian
hasil penelitian Ivan.
Dalam penelitiannya, Ivan tetap mengingatkan bahwa harapan Indonesia
mampu menciptakan alutsista canggih, seperti kapal perang, pesawat
tempur, senjata berat, senjata ringan, alat komunikasi dan penginderaan
tak menutup kemungkinan kecemburuan dari negara - negara maju.
Ini bisa dinamakan ancaman baru. "Kepentingan negara besar yang tidak
suka dengan kemandirian Indonesia atau terancam akan ditinggalkan
Indonesia sebagai konsumennya," yakin Ivan. (Feber S)