
Gripen – Rafale (foto: Gempurwira)
Ketiga tipe Eurocanards adalah
multirole fighter Generasi
terakhir yang sudah operasional. Dibuat untuk menandingi kemampuan F-15 /
F-16 / F-18 dari US, dan Su-27/MiG-29 dari Russia, ketiganya mempunyai
keunggulan untuk di-desain 10 tahun kemudian, jadi secara tehnis adalah
pesawat-pesawat yang jauh lebih baru.
Ketiga Eurocanards menjadi pilihan baik bagi banyak negara yang
menginginkan tehnologi modern pesawat tempur Barat, reliability yang
terjamin, dan support yang bagus, tapi ingin mengingkari faktor resiko
untuk berurusan dengan program FMS pemerintah US, dan “source code”
control mereka yang terkenal pelit.
Berikut adalah perbandingan antara ketiga tipe ini.
Radar
Gripen-E/F (Selex Raven ES-05) dan Dassault Rafale (RBE2)
sudah memakai AESA radar; sedangkan Typhoon masih memakai radar
CAPTOR-M, tipe pulse-doppler 2-channel. CAPTOR-M dianggap sebagai
doppler radar dianggap lebih modern dari semua model mechanical doppler
yang lain spt APG-68v9 (F-16 Block50+) atau APG-70 (F-15E), tapi tetap
tidak bisa menandingi jarak jangkau, dan kemampuan deteksi tipe AESA
yang lebih modern.
AESA radar tidak hanya jauh lebih unggul, tapi juga
lebih murah (dan lebih mudah) dalam hal perawatan, dibandingkan PESA
atau pulse-doppler. Setiap module / element dalam AESA radar beroperasi
independent satu sama lain, jadi kalau ada beberapa element yang rusak,
tidak akan mempengaruhi performa radar. Hal ini memudahkan
maintenance. Radar Pulse-doppler mempunyai MTBF (Mean-Time
Between-Failure) / butuh perbaikan setiap 100 jam operasional, jadi
secara maintenance lebih mahal dan sulit.
Eurofighter Consortium baru saja menandatangani kontrak upgrade radar ke CAPTOR-E AESA,
senilai $1 milyar,
menghilangkan kelemahan terakhir Typhoon dibanding kedua pilihan lain.
Pembuat CAPTOR-E adalah Selex ES – memberikan base technology radar yang
sama dengan Gripen-NG.
Radar
CAPTOR-E AESA di
Typhoon memiliki keunggulan ukuran yang besar (1500-module), sebanding
dengan radar pesawat tempur berat di kelas F-15 atau Su-27 – memberikan
jarak jangkau dan kemampuan deteksi akan lebih kuat dibandingkan Raven
ES-05 Gripen dan RBE2 Rafale yang hanya 1000 module, atau di kelas
pesawat tempur menengah, yang seimbang dengan APG-80 di F-16 Block-60
atau APG-79 di F-18E/F Super Hornet.
CAPTOR-E dan Raven ES-05 (keduanya buatan Selex ES) dapat diputar di
pivot-nya, memberikan kemampuan coverage yang lebih besar (120 derajat
dari moncong pesawat). Ini akan memberikan keunggulan tambahan dalam BVR
combat (lihat di bawah). Radar RBE2 di Rafale fixed-mounted, sama
seperti semua radar AESA di pesawat tempur buatan US, memberikan sudut
coverage yang lebih terbatas.
Dari segi IRST, ketiganya boleh dibilang sebanding, karena dari base tehnologi yang sama.
Performance
Typhoon dan Gripen-E mempunyai kecepatan maksimum yang lebih tinggi
(Mach-2+) dibandingkan Rafale (Mach 1,8). Daya dorong mesin Rafale yang
lebih rendah memberikan Thrust-to-weight ratio yang lebih rendah (0.97),
dibandingkan Gripen-E (1,06), dan Typhoon (1,07). Semua angka dihitung
fully loaded, dengan full internal fuel dan 2 AAM. Dari segi rate climb,
Typhoon paling unggul, diikuti Gripen-E, dan terakhir Rafale, tapi
sekali lagi, perbedaan antara ketiganya tidak terlalu jauh.
Ketiga tipe Eurocanards tentu saja juga dapat supercruise – terbang
mendatar, melebihi kecepatan suara tanpa menggunakan afterburner,
seperti semua tipe lain.
Range dan Combat Radius
Ketiganya hampir seimbang untuk ferry range (+/- 4,000 km) dan combat radius (+/- 1,000 km).
Payload (Data Angkut)
Rafale bisa mengangkut lebih banyak payload (10,5 ton), dibandingkan
Typhoon (8.25 ton) dan Gripen-E/F (5 ton). Kemampuan payload ini hanya
akan lebih berpengaruh ke kemampuan Air-to-Ground daripada Air-to-Air.
Catatan di sini:
Ausairpower menunjuk
bahwa keunggulan payload Su-35 memberikan kemampuan untuk membawa 14
missile. Penulis blog ini, Carlo Kopp dan Peter Goon, sepertinya lupa,
kalau
tidak akan pernah ada Angkatan udara di dunia ini yang mau memasang 14 missile ke satu pesawat.
Penjelasannya sederhana. Pertama, faktor resiko yang besar. Setiap
missile harganya jutaan dollar. Kalau pesawat tempur membawa sedemikian
banyak missile dan tertembak jatuh (atau mengalami kecelakaan), sebelum
berhasil menembak, maka ini adalah investasi $100 juta yang mubazir.
Kedua, setiap Angkatan Udara hanya mempunyai stock jumlah missile
yang terbatas. Akan jauh lebih optimal untuk membagi jumlah missile itu
ke lebih banyak pesawat, dibanding memasang sebanyak mungkin missile ke
beberapa pesawat saja. Mereka juga harus menghemat, untuk memastikan
tidak akan kehabisan missile sebelum konflik selesai.
Inilah sebabnya dalam Air-to-Air mode, semua pesawat tempur di dunia,
secara optimal biasanya dipersenjatai 4 x BVR missile, dan 2 x WVR
missile. Su-27 Russia yang di-intercept Typhoon UK di atas Baltic ini
saja (
Foto: The Aviationist), hanya membawa 4 x R-27 BVR missile (2 di perut, 2 di sayap sebelah dalam), dan 2 x R-73 di sayap sebelah luar.
Beberapa pesawat lain dapat membawa 8 missile. Sebagai contoh:
Lihat gambar F-15C ini, yang membawa 4 x AIM-9 jarak dekat, dengan 2 fuel drop tank besar di sayap; 4 AIM-120 BVR missile juga terlihat dibawah perut.
Cockpit Interface dan Networking
Ketiganya kira berimbang dalam hal cockpit layout.
Semua
tipe menekankan user-interface yang terbaik. Dari segi networking,
ketiga tipe ini juga dapat menembakkan BVRAAM secara pasif — tidak perlu
menyalakan radar — cukup 1 pesawat yang menyalakan radar dan meng-guide
semua BVR missile yang ditembakkan pesawat lain.
Rafale dan Typhoon mengandalkan Link-16 untuk data-link network untuk
koordinasi antar pesawat. Gripen juga mempunyai kemampuan
berkomsunikasi lewat Link-16, tetapi untuk koordinasi antar pesawat
dengan Gripen yang lain, memakai sistem TIDLS Swedia tersendiri. Sistem
TIDLS yang lebih mengoptimalkan information-sharing, dan kerja-sama yang
lebih dekat dalam setiap formasi pesawat, dinilai lebih unggul untuk
memberikan situational awareness yang lebih tinggi dibanding Link-16
yang sifatnya seperti
broadcast.
BVR (Beyond Visual Range) Combat
Pilihan default untuk ketiganya tentu saja adalah
MBDA Meteor,
BVR-missile terbaik di dunia saat ini, yang development-nya sudah
selesai, dan sebentar lagi akan memasuki tahap operasional. Gripen-C
akan menjadi Eurocanard pertama yang membawa Meteor. Untuk Rafale, ada
penjelasan terpisah di bawah.
Dengan mesin ramjet, Meteor dapat menyesuaikan kecepatan yang
se-efesien mungkin dari tahap launch. Untuk mencapai jarak jangkau yang
lebih jauh, Meteor dapat terbang lebih lambat untuk menghemat bahan
bakar. Di saat akhir, Meteor dapat menambah kecepatan untuk
meng-optimalkan pK (probability-Kill). Bandingkan dengan AMRAAM yang
hanya memakai solid rocket – kecepatannya tidak bisa di kontrol dari
awal sampai akhir. AMRAAM dapat kehabisan bahan bakar, atau melaju
terlalu cepat, sehingga manuever akhir untuk membunuh lawan justru
sebenarnya sangat sulit.
Jarak jangkau Meteor tidak di-publish resmi, tapi menurut rumor,
melebihi AIM-54 Phoenix tempo dulu (190 km +), atau bahkan AMRAAM-D yang
development-nya masih tertunda terus (US menghabiskan terlalu banyak
uang di F-35!).
Typhoon dan
Gripen memiliki keunggulan dalam memakai Meteor karena keduanya dapat
melakukan 2-way datalink untuk meng-update posisi terakhir target (sama
dengan sistem 2-way-link di AMRAAM), sedangkan Rafale hanya mempunyai
1-way datalink.
Radar AESA di Typhoon, dan Gripen yang dapat diputar untuk mengikuti
lawan, memberikan kemampuan keduanya untuk membelok keluar dari
jangkauan BVR missile lawan, sementara terus memberikan data-link update
ke BVR missile, seperti Meteor untuk menghantam target (lihat gambar di
bawah).
Ini memberikan kedua tipe ini keunggulan taktis dibanding Rafale, F-15, F-16, dan F-18 yang memakai fixed-mounted AESA-radar.

AESA radar, yang dapat diputar mengikuti lawan. Gambar: Selex Galileo
Typhoon dengan CAPTOR-E AESA (ukurannya paling besar disini), akan
dapat melihat lawan dari jarak yang lebih jauh, dan tentu saja mempunyai
kesempatan menembak Meteor dari jarak yang lebih aman dibanding yang
lain – memanfaatkan jarak jangkau Meteor.
WVR (Within Visual Range) Combat
Typhoon dan Gripen mempunyai kemampuan lebih optimal dibandingkan
Rafale dalam hal ini, karena keduanya sudah diperlengkapi
Helmet-Mounted-Display (HMD), yang memungkinkan keduanya untuk
menembakkan off-boresight WVR missile. Dengan HMD, WVR missile dapat
ditembakkan, mengikuti pandangan pilot, sampai sudut yang melebihi 90
derajat dari arah moncong pesawat.
Pilihan senjata antara Typhoon Jerman, Spanyol, dan
Italy memakai IRIS-T dan Sidewinder sebagai pilihan utama. Typhoon UK
memakai AIM-132 ASRAAM – tipe ini juga dipakai F-18A/B Australia.
Gripen lebih unggul dalam soal pilihan senjata,
karena tergantung pilihan negara pemakai, dapat mengintegrasikan AIM-9x,
A-Darter, Phyton-4, dan IRIS-T.
Rafale adalah satu-satunya yang memakai missile buatan Perancis –
MICA-IR (infra-red seeker) dan MICA-EM (active radar). Kedua jenis MICA
missile juga cukup unik karena dapat digunakan untuk jarak dekat (WVR)
dan menengah (BVR), tapi tidak seperti yang lain, tidak mempunyai
kemampuan off-boresight. Pilihan seeker antara IR dan EM memberikan
keunggulan dalam BVR yang sebanding dengan R-77 atau R-27 buatan Russia.
Close-combat manuever / Dogfight
Ketiganya memiliki rating +9G /-3G untuk manuever – standar untuk semua pesawat tempur modern sejak tahun 1970-an.
Dengan wing-loading yang rendah; 283 kg/m2 untuk Gripen-C sampai 306
kg/m2 untuk Typhoon, ketiga Eurocanards dalam manuever-jarak-dekat
kira-kira hampir sebanding dengan, atau lebih baik dibandingkan F-16A
(sub-variant yang justru paling manueverable dalam keluarga F-16).
Ketiga Eurocanards ini juga cukup unik karena, berkat canard control,
juga dapat menyamai kemampuan F-18 Hornet, yang dalam “point and shoot”
high-AoA manuever (mengarahkan moncong pesawat ke arah lawan) lebih
cepat dibandingkan F-16.
Sebagai pembanding, menurut laporan
Department of Operational Test & Evaluation-2012 untuk
Pentagon, si bebek tak berdaya, F-35, adalah pengecualian dengan
maksimum +5.0g, lebih jelek bahkan dibandingkan dengan MiG-21, F-4E
Phantom-II, dan Mirage-III yang bertehnologi tahun 1960-an.
Untuk pertempuran jarak dekat, ketiga Eurocanards memakai tipe revolver cannon dibandingkan M61A2 gatling gun yang
biasa dipakai di F-15 dan F-16. Gripen dan Typhoon membawa BK-27 Mauser
(kaliber 27 mm), sedangkan Rafale membawa GIAT30 (kaliber 30 mm). Jika
diperbandingkan, kedua jenis revolver cannon ini hanya membawa lebih
sedikit jumlah peluru dibandingkan M61A2, tapi setiap peluru BK-27 dan
GIAT30 mempunyai daya pukul yang jauh lebih kuat.
Air-to-Ground
Rafale paling unggul disini dengan payload yang lebih besar dibanding
kedua tipe lain. Tipe ini ekslusif yang memakai Exocet anti-ship
missile yang sudah terbukti di Falkland, dan perang Iran-Iraq. Rafale
juga dapat membawa MBDA Storm Shadow / SCALP-EP stealth cruise missile
jarak jauh.
Typhoon kemampuan air-to-ground-nya dinilai lebih terbatas dibanding
Rafale (ini salah satu alasan kenapa Typhoon kalah dalam kontes
di Singapore), dikarenakan update-nya agak terlambat (prioritas
pembuatan Typhoon adalah pesawat tempur air-to-air). Versi Inggris, yang
juga sama bisa membawa MBDA Storm Shadow, dan Brimstone (sebanding
dengan, tapi lebih baik dari AGM-65 Maverick). Untuk anti-ship missile,
tidak seperti yang lain, Typhoon masih mengandalkan AGM-84 Harpoon
buatan US.
Payload Gripen lebih kecil dibanding kedua tipe lain, tapi tipe ini
memiliki keunggulan flexibilitas untuk integrasi senjata, yang
menjadikannya tipe favorit banyak pembuat senjata dalam development
senjata baru. Saat ini, Gripen sudah mengintegrasi KEPD 500 Taurus
stealth cruise missile, dan RBS.15 – anti-ship / air-to-surface missile
buatan Swedia; dibuat untuk menandingi kemampuan Harpoon missile (US)
dan Exocet (Perancis). Missile jenis lain, seperti Brimstone atau Storm
Shadow, tentu saja dapat di tambahkan ke Gripen, tergantung kebutuhan
negara pembeli.
Harga per unit dan Biaya Operasional
Eurofighter Typhoon adalah yang paling mahal dalam kedua aspek ini.
Harga per unit, termasuk development cost, mencapai €125 juta, dgn biaya
operasional US$18,000 / jam.
Dalam semua kompetisi pesawat tempur, Typhoon selalu dianggap sebagai pilihan termahal.
Rafale tidak berbeda jauh. Harga per unit juga diatas $100 juta, dan biaya operasional $16,000.
Gripen-E harga per unit belum di-publikasikan, tapi mungkin di antara
rentangan harga $50 juta – $60 juta. Biaya operasional untuk Gripen-C/D
adalah $4,700 – tapi SAAB meng-klaim kalau Gripen-E/F biaya
operasionalnya akan lebih murah lagi.
Klaim SAAB mungkin bisa dijelaskan dari perbedaan
radar, dan mesin. Tipe PS-05/A Pulse-doppler di Gripen-C/D lebih
maintenance heavy dibanding Selex Raven ES-05 AESA di versi-E/F. Mesin
F414G juga sengaja dipilih untuk menurunkan biaya perawatan,
dibandingkan RM12 di versi C/D.
Catatan:
Harga per unit: Harga
di atas hanyalah estimasi patokan kasar. Tergantung perjanjian
transaksi (pembelian dalam jumlah yang lebih banyak biasanya lebih
murah), pembeli bisa mendapat harga yang lebih mahal, atau lebih murah
dibandingkan harga di atas. Nilai kontrak yang sudah ditandatangani juga
tidak bisa dijadikan representasi untuk harga per unit masing-masing
pesawat, karena setiap kontrak biasanya juga mencakup perlengkapan
infrastruktur yang harus dibeli, spare part, training, support
equipment, dan tentu saja biaya initial training.
Biaya operasional: Biaya operasional disini
adalah angka indicative Basic CPFH (Cost per Flight Hour) yang dihitung
IHS Jane’s. Apa yang dihitung adalah: BBM, consumables (oil, service
parts), biaya lapangan untuk operation & maintenance, dan perkiraan
jumlah jam kerja maintenance yang dibutuhkan.
Sebagai perbandingan, beberapa negara biasanya
memakai angka “comprehensive CPFH” yang menambahkan perhitungan untuk
biaya “sistem improvements” (upgrade), capital charge, angka depresiasi (pengurangan nilai) dari harga beli baru pesawat, dan amortization cost.
Ini menjelaskan kenapa F-16C dalam angka IHS Jane’s mempunyai biaya operasional
$7,700 / jam; sedangkan dalam
majalah Time, USAF melaporkan biaya operasional yang
$22,514.
Kedua angka di atas sama-sama benar. Perhitungan IHS Jane’s tentu saja lebih mengacu ke
real cost operational, dibandingkan perhitungan ala USAF.
Hasil latihan Air-to-Air / Combat Record Eurocanards
Perang Iran – Iraq adalah konflik besar terakhir dimana kemampuan
udara kedua belah pihak hampir berimbang. Dengan berakhirnya konflik ini
di tahun 1988, semua pesawat tempur dewasa ini relatif tidak mempunyai
combat record yang berarti dalam pertempuran Air-to-Air. Inilah kenapa,
latihan-latihan udara Internasional biasanya menjadi patokan, bukan
hanya untuk mencoba kemampuan pesawat, tapi juga strategi, dan latihan
pilot.
Semua hasil pengalaman yang dikumpulkan Eurocanards disini adalah
dari batch sebelumnya untuk ketiga model. Typhoon, yang dipakai dalam
training dibawah adalah dari Tranche-2 (bukan versi terakhir
Tranche-3B); Dassault Rafale dari versi F2 standard (versi terakhir: F3R
Standard); dan untuk Gripen adalah versi –C (versi terakhir: E/F (NG)).
Jadi dari segi kemampuan, ketiga Eurocanards versi sekarang sudah maju
beberapa langkah dibandingkan pengalaman di bawah.
Typhoon dinilai lebih unggul dibanding kedua tipe Eurocanards yang
lain, terutama karena reputasi mereka dalam bermacam latihan NATO. Blog
resmi Eurofighter meng-klaim kalau
dua Typhoon berhasil menembak jatuh delapan (8) F-15 dalam latihan. Typhoon juga salah satu yang cukup sukses dalam pertandingan tempur di Red Flag melawan F-22 (lihat gambar).

Luftwaffe Typhoon dengan 3 “kill marking” F-22 di bawah cockpit. Gambar dari: The Aviationist. Credits by:Dietmar Fenners
Dari segi kemampuan close combat, walaupun Rafale tidak mempunyai
offbore-sight WVR missile seperti yang lain, tipe ini juga menikmati
cukup kesuksesan, untuk melawan F-22 – pesawat tempur yang dianggap
paling tangguh di dunia. Rafale berhasil menancapkan “simulasi MICA-IR”
ke F-22.
Combat record Rafale untuk Air-to-surface di atas Libya dan
Afganistan juga cukup menarik, mungkin mengungguli Typhoon. Berbeda
dengan US, yang selalu mendahului serangan dengan “radar-jammer” seperti
EA-18G, atau puluhan BGM-109 Tomahawk cruise missile, Rafale dapat
langsung terbang di atas Libya, dengan mengandalkan perlindungan dari
Thales SPECTRA EW
defense suite. Perancis juga melaporkan kalau 2 Rafale saja, dapat
melakukan tugas yang biasanya harus diemban 2 Mirage-2000-5, dan 6
Mirage-2000D. Availability rate untuk Rafale di Libya juga dilaporkan
“mendekati 100%”.
AU Hungaria melaporkan
performa Gripen-C dalam latihan NATO melebihi ekspetasi. Gripen dapat
melihat semua pesawat NATO lain (di radar), dilain pihak lebih sukar
untuk di-deteksi, atau dilihat dalam pertempuran jarak dekat. Gripen-C
Hungaria juga mengejutkan negara-negara NATO lain, karena tidak dapat
di-”jamming”, seperti pesawat lain.
Dalam latihan NATO ini, Gripen Hungaria berada dalam pihak ”Red
Force”; pihak yang seharusnya kalah. Mereka tidak mendapat dukungan
pesawat AWACS atau radar lain, tidak memakai data-link, dan tidak dapat
melakukan simulasi AMRAAM. Meski begitu, dalam satu latihan, Gripen-C
tetap berhasil “menembak jatuh” 8 – 10 pesawat NATO, termasuk 1 Typhoon.
Dalam pertempuran jarak dekat melawan F-16 MLU, Gripen-C juga dengan
terlalu mudah “menghabisi” F-16.
Kesimpulan
Ketiga Eurocanard saat ini boleh dibilang harus menjadi tolok ukur
semua pesawat tempur G4,5 modern dewasa ini. Ketiganya sudah terbukti
“mengigit” dalam mengadu manuever, karena mengkombinasikan aspect yang
terbaik dari F-16, dan F-18.
Untuk negara yang mengutamakan Air Superiority, dan dapat membayar
harganya, Typhoon adalah pilihan terbaik. Dengan perpaduan CAPTOR-E AESA
radar, dan Meteor BVRAAM – Keduanya yang akan segera memasuki status
operasional, Typhoon justru akan lebih menakutkan lagi dalam latihan Red
Flag. Boleh dibilang, saat ini, Typhoon adalah pesawat yang paling
mengancam “mahkota” F-22A sebagai pesawat tempur terbaik di dunia.
Kelemahan utama Typhoon adalah belum tersedianya AESA radar; sampai
upgrade ke CAPTOR-E selesai. Proses upgrade ini akan berjalan cukup
lama, dan belum tentu semua Typhoon akan mendapat AESA karena masalah
biaya. Untuk Air-to-Ground, Typhoon juga belum diperlengkapi
Anti-shipping missile buatan Eropa.
Rafale adalah tipe yang paling unggul di dalam Air-to-Ground.
Kemampuan Thales SPECTRA EW suite-nya juga sudah terbukti. Permasalahan
utama Rafale adalah senjata-senjata yang eksklusif kebanyakan buatan
Perancis, walaupun bebas dari pengaruh US, integrasi senjata lain diluar
yang sudah disetujui Perancis sangat sulit. Tidak adanya HMD juga
memberi kelemahan dalam pertempuran WVR jarak dekat. Dan dalam
penggunaan Meteor BVRAAM, Rafale juga performa-nya dinilai lebih rendah
dibanding yang lain karena hanya mempunyai 1-way datalink.
Dassault Rafale tentu saja juga satu-satunya tipe Eurocanards yang
dapat beroperasi dari kapal induk. Tapi kemampuan ini kurang relevan
dalam konteks Indonesia.
Gripen-E adalah satu-satunya Eurocanard bermesin tunggal, performa
air-to-ground (dan daya angkut) juga masih dibawah kedua tipe yang lain.
Sama seperti Rafale, Gripen sudah memiliki portfolio senjata Eropa –
non-Amerika, termasuk RBS-15 anti-ship missile, yang lebih penting untuk
negara maritim seperti Indonesia. Keunggulannya, tidak seperti Rafale,
Gripen memberikan lebih banyak kebebasan untuk mengintegrasikan senjata
manapun (terserah pembeli), tanpa perlu persetujuan atau campur tangan
SAAB.
Tidak seperti Rafale, dan Typhoon yang hanya dapat memakai Link-16
(ini masih dalam pengaruh FMS US) untuk aerial network, Gripen juga
memilih sistem TIDLS untuk koordinasi antar pesawat dalam
Gripen-formation. Gripen juga sudah didesain untuk information sharing
melalui sistem Link-16 NATO,
atau pilihan network sendiri seperti STRiC Swedia, dan sistem SIVAM di Brazil.
Gripen-E akan menjadi satu-satunya yang sudah diperlengkapi HMD dan
AESA; sedangkan kedua Eurocanard yang lain, saat ini hanya punya satu,
tapi belum diperlengkapi dengan yang lain. Tentu saja biaya per unit dan
biaya operasional per jam juga paling murah, karena pesawat ini lebih
ringan, dan bermesin tunggal.
Gripen (versi C) belum mengumpulkan banyak combat training record
seperti Eurocanard yang lain. Kelemahan utamanya, tentu saja belum
pernah “menjajal” F-22 seperti kedua Eurocanards yang lain. Tapi ini
bukan berarti, dalam training air-to-air NATO, tipe ini bisa diremehkan.
Larger size doesn’t mean it’s better. Pengalaman Hungaria
menunjukkan ukuran Gripen-C yang kecil, justru menjadi keunggulan dalam
latihan NATO; sukar dilihat di radar, ataupun dari pandangan mata.(JKGR)