Saturday, 31 January 2015
Drone LAPAN Awasi Illegal Fishing
Hal itu diungkapkan Menteri Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi, Prof M. Nasir di sela peluncuran buku berjudul “100 Tokoh Jawa Tengah” di Semarang, Jumat (30/1/2015).
M. Nasir mengatakan pihaknya mendukung Presiden Joko Widodo terkait pengawasan di perairan Indonesia. Oleh sebab itu dikembangkanlah drone yang sanggup membantu pengawasan agar tidak ada illegal fishing.
“Pesawat tanpa awak, bisa terbang sejauh 200 km dari darat, bisa dikendalikan dari darat dan terekam lewat kamera. Ini drone. Nantinya bisa berikan sinyal jika ada illegal fishing kemudian pengawas langsung meluncur,” kata M. Nasir.
Meski demikian menurutnya masih perlu banyak pengembangan karena jarak tempuh 200 km sangatlah kurang sehingga perlu diperluas agar tugas pemantauan di perairan Indonesia lebih mudah.
“Tidak cukup 200 km, harus lebih besar lagi sekitar 600 km. Riset ini dari LAPAN,” tandasnya. (Detik.com).
Ekspor Pertama Kapal Perang PT PAL
Kapal ini merupakan pengembangan atas desain dan teknologi dari kapal jenis LPD (Landing Platform Dock) yang telah diserahkan oleh PAL kepada TNI AL pada tahun 2011 silam. Nilai pemesanan dua kapal ini sebesar US$ 90 juta (Rp 1 triliun).
Kapal perang SSV memiliki panjang 123 meter, lebih pendek dibanding kapal LPD yang mencapai 125 meter. ?Meski begitu, kapasitas penumpang SSV jauh lebih banyak dari kapal LPD.
Daya angkut pasukan 500 dan 123 crew, jadi total 621 orang. Sementara daya angkut LPD hanya 560 orang.
Kapal yang dipesan Filipina sebanyak 2 unit ini dilengkapi dengan mobile hospital, di mana bisa mengakomodir evakuasi korban musibah atau perang secara langsung dan segera. Selain itu, di kapalUS$ 45 juta ini terdapat tempat parkir untuk tank, truk, hingga helikopter.
“Kapal ini juga dilengkapi senjata, tapi kami belum bisa sebutkan” ungkap Kepala Humas PT PAL, Bayu Witjaksono. Karena digunakan untuk keperluan pertahanan atau perang, kapal ini juga didesain kuat dalam segala medan.
Kapal perang yang diproduksi ini, 40% komponennya masih diimpor, namun dikerjakan oleh para ahli lokal.
Kepala Humas PT PAL, Bayu Witjaksono menuturkan, ?beberapa komponen yang masih diimpor adalah komponen seperti mesin kapal perang, karena belum ada industri di dalam negeri yang mampu memproduksinya.
“Misalnya mesin kapal itu Indonesia belum bisa membuat, raw material seperti plat (baja) ada yang dari China, tergantung materialnya,” tutur Bayu.(Detik Finance).
Gripen atau Typhoon, Knapa ???
Sukhoi dan kawan-kawannya tidak dapat diintegrasikan dengan jaringan radar kohanudnas yang notabene sebagian besar buatan barat dan sudah pasti tidak akan bisa diintegrasikan dengan AWACS barat. Komunikasi diantara keduanya hanya sebatas radio, menghadapi tantangan pertempuran udara masa depan hanya bermodal radio itu sama saja dengan bunuh diri. Tanpa sistem yang terintegrasi darat-laut-udara akan menjadikan setiap penempur seperti “lone wolf” yang bertempur sendiri-sendiri, hanya tinggal menunggu detik jatuhnya saja. Lain halnya dengan pesawat yang memiliki sistem terintegrasi, walaupun terbang sendirian tapi seperti keroyokan, because he’s not fly alone.
Kemenangan besar Vietnam di udara melawan Amerika salah satunya karena taktik gerilya udara yang mereka terapkan. Mig-21 dan Mig-17 Vietnam seolah – olah dapat hadir dimana saja dan menyergap kapan saja, sehingga walaupun secara teknologi keduanya kalah namun mereka tetap dapat menguasai udara (hanya bermodal pelor tanpa rudal!). Dengan kemampuan Gripen yang mampu lepas landas pada jarak yang sangat pendek dikombinasikan dengan ribuan pulau-pulau Indonesia yang dapat berfungsi sebagai kapal induk dan pangkalan aju + sistem yang terintegrasi di ketiga matra. Akan menghasilkan kesiapan dan kemampuan tempur strategis yang sangat luar biasa. Mau itu Su-35, Pakfa atau F-22 dan adik tirinya F-35 sekalipun, monggo silahkan datang, kohanudnas SIAP menyambut!
Kehadiran Sukhoi di Indonesia pada esensinya adalah sebentuk respon (baca:ngambek) Indonesia atas embargo AS dan ulah mereka yang sering melanggar kedaulatan RI. Indonesia secara mendesak membutuhkan pelindung udara yang dapat dijadikan pemukul “sesaat”, perumpamaannya seperti “anda boleh menyerang tapi anda tidak akan keluar tanpa berdarah-darah”. Sukhoi dipilih karena Rusia secara nyata merupakan kontra barat. Langkah pembelian ini kemudian menjadi sinyal yang jelas bagi AS, “Jika anda terus mengusik kami, kami akan pindah haluan!” Keputusan Indonesia untuk membeli Sukhoi inilah yang kemudian memicu insiden pulau Bawean. Dengan dalih kesasar, AS mengirim kapal induknya masuk kedalam wilayah Indonesia untuk menguji dan mengejek pertahanan laut dan udara Indonesia. Sebentuk simbol gertakan dan pesan yang dengan jelas mengatakan “kami mampu melakukan apa yang ingin kami lakukan, walaupun anda berkawan dengan Rusia”. Pada intinya, kehadiran Sukhoi di Indonesia adalah karena kepepet dan bukan bagian dari perencanaan pertahanan strategis nasional.
Kebangkitan China dan ambisi mereka di LCS disatu sisi membawa keberuntungan bagi Indonesia. Secara politik tekanan barat serta merta menjadi sangat melunak terhadap Indonesia, berbagai program kerjasama dan penawaran strategis tiba-tiba saja mengalir deras dari Amerika dan Eropa. Amerika dan Inggris yang sebelumnya selalu menyenggol isu Papua tiba-tiba saja menyatakan dukungannya atas kesatuan Papua dengan NKRI. Hasilnya berbagai bentuk gerakan Papua merdeka di Amerika, Eropa dan Australia perlahan lahan meredup dan menghilang gaungnya. Semua itu karena mereka membutuhkan “peran” Indonesia terkait konflik LCS, hal ini semakin terbukti dengan kian bersemangatnya AS dalam mendukung program maritim Jokowi sebab secara tidak langsung program ini membantu kepentingan AS di ASEAN. Secara tersirat Indonesia menegaskan klaimnya atas wilayah dan garis perbatasannya termasuk segala nilai ekonomi yang terkandung didalamnya. Sikap Indonesia ini secara tidak langsung seperti mendirikan pagar pembatas di tepi LCS, yang mana dengan sedikit akal-akalan AS dapat memanfaatkan Indonesia seolah menjadi sekutu/kepanjangan tangan kepentingan AS. Dalam bahasa halusnya barat membutuhkan Indonesia sebagai “stabilisator kawasan” namun aslinya mereka hanya membutuhkan jongos untuk melindungi kepentingannya.
Namun semua itu tidak akan berguna jika Indonesia tidak kuat, oleh karenanya AS dan sekutunya perlu membantu Indonesia untuk menjadi kuat (kebalikan dari tahun 97-98). Hibah F16 juga merupakan bagian dari bantuan khusus itu, pada intinya tidak ada yang namanya makan siang gratis di dunia politik, semua ada imbalannya. Dan karena alasan politik internal dan masih belum yakinnya AS terhadap Indonesia menyebabkan AS tidak dapat membuka lebar-lebar kran FMS-nya. Namun mereka masih memiliki kepanjangan tangan dimana mana, salah satunya SAAB Swedia melalui JAS-39 Gripen-nya. Ingat, kandungan komponen buatan AS ada banyak di Gripen bahkan salah satu komponen vitalnya yaitu mesin adalah buatan AS. Karena Indonesia gigih mempertahankan sikap netralnya, dengan mendorong dari belakang pembelian Gripen, AS secara tidak langsung juga membantu menjaga “image sikap netral Indonesia” sembari melancarkan tujuannya sendiri. Dan bila Indonesia jadi mengoperasikan Gripen bersama Thailand dan Malaysia, maka akan tercipta rantai pertahanan udara yang kuat di selatan LCS dan inilah yang menjadi tujuan paling utamanya.
Bagaimana dengan Sukhoi? Jika Indonesia memutuskan untuk menambah dan mengembangkan armada Sukhoi-nya maka Indonesia harus merubah dan menyesuaikan sebagian besar sistem pertahanan udaranya agar Sukhoi tersebut mampu beroperasi secara efektif dan optimal. Namun itu membutuhkan biaya investasi yang sangat besar, sesuatu yang tidak mungkin dipenuhi dan dilakukan Indonesia pada masa sekarang ini. Adalah sangat tidak mungkin bagi Indonesia untuk memulai membangun kembali dari awal (walaupun itu hanya sebagian) pada saat dan situasi saat ini! Bila melihat perjalanan Sukhoi di Indonesia dari awal hingga kini, nampaknya pada akhirnya Sukhoi hanya akan dipelihara agar tetap hidup sekedar agar tidak mati biar pemerintah dan TNI tidak dituduh menghambur hamburkan uang rakyat, sekedar menjadi mainan mahal para jenderal pada saat parade udara, sekedar biar tampak efek busa deterjennya ditelivisi, sekedar dan sekedar,..
Adakah diantara kita yang bertanya, kemanah keempat Sukhoi yang lama menghilang itu? Info dari bung Jalo mengatakan mereka saat ini menjadi pasien sekarat di hanggarnya, statusnya yang tidak kunjung terbang dan tidak pula segera diperbaiki menjadi bukti nyata ketidakmampuan Indonesia mengoperasikan/menjaga kesiapan operasi Su-family. Atau ini juga menjadi menjadi bukti betapa ruwetnya after service Rusia, tidak heran jika kemudian dubes dan menhan Rusia buru-buru menawarkan layanan after service yang ditempatkan di Indonesia. Namun jika sparepart-nya masih diproduksi di Rusia, maka tawaran itu sama saja bohong, hanya isapan jempol belaka toh selama ini kita juga sudah mendatangkan mekanik dari Rusia langsung lalu apa bedanya?!
Suatu sistem pertahanan dikatakan kuat jika sistem tersebut mampu memenuhi poin strategis yang ditetapkan, bukan sekedar untuk memenuhi gengsi, efek busa melimpah deterjen, fanatik buta atau ambisi sesaat. Suatu perencanaan sistem pertahanan harus mempertimbangkan aspek dimasa depan, bukan sekedar apa yang terjadi pada saat ini saja. Bila melihat pada kemampuan, kekurangan dan kelemahan, kelebihan yang dapat di ekspos serta tujuan dan kebutuhan Indonesia. Bila kita melihat secara realistis tanpa berhalusinasi, maka jawabannya sudah pasti bukan Sukhoi (tapi Rafale, hehe). Badan Sukhoi yang besar dan gripen yang kecil bukanlah tolak ukur kemampuan mereka yang sesungguhnya, tampang bukanlah acuan. Sekedar perumpamaan, jika Bruce Lee bertanding dengan The Rock/ Stalone/ Arnold/ Tyson dll yang berbadan besar dan bermuka sangar,,,saya masih memegang Bruce Lee + fur 10.
Apa yang terpenting saat ini adalah bagaimana mensukseskan tujuan kemandirian pertahanan nasional sembari membuat sistem pertahanan yang kuat secara jangka panjang. Jangka panjang disini berarti berkesinambungan yang salah satunya juga berarti dapat dan mampu mengoperasikan alutsista yang dibeli secara konstan dan efektif hingga ke masa depan. Hal ini menuntut lebih dari sekedar efek deterjen sabun colek tapi juga unsur operasionalitas yang meliputi reliabilitas, efektifitas, efisiensi, kompatibilitas, readiness dan availability. Dengan menggandeng Rafale, Gripen dan Typhoon dapat memberikan semua/sebagian dari aspek tersebut. Dan diantara ketiganya Gripen-lah yang paling memenuhi kriteria ideal yang sesuai bagi kebutuhan “rasional” Indonesia. Seperti menyelam sambil minum air dan sekali dayung 3 pulau terlampaui, kebutuhan pertahanan udara efektif jangka panjang terpenuhi dan tujuan kemandirian pertahanan nasional pun ikut sampai melalui ToT yang menyertainya. Lagi pula saat ini secara politik dalam kerjasama industri pertahanan, setelah Korea Selatan Indonesia kini juga mulai dekat dengan Swedia. Di darat dan laut aroma Swedia sudah mulai kental terasa, apakah di udara akan ikut menyusul? Who knows, kita lihat saja nanti.(JKGR)
Perbandingan Ketiga Eurocanards – Typhoon, Rafale, dan Gripen-NG
Ketiga Eurocanards menjadi pilihan baik bagi banyak negara yang menginginkan tehnologi modern pesawat tempur Barat, reliability yang terjamin, dan support yang bagus, tapi ingin mengingkari faktor resiko untuk berurusan dengan program FMS pemerintah US, dan “source code” control mereka yang terkenal pelit.
Berikut adalah perbandingan antara ketiga tipe ini.
Radar
Gripen-E/F (Selex Raven ES-05) dan Dassault Rafale (RBE2) sudah memakai AESA radar; sedangkan Typhoon masih memakai radar CAPTOR-M, tipe pulse-doppler 2-channel. CAPTOR-M dianggap sebagai doppler radar dianggap lebih modern dari semua model mechanical doppler yang lain spt APG-68v9 (F-16 Block50+) atau APG-70 (F-15E), tapi tetap tidak bisa menandingi jarak jangkau, dan kemampuan deteksi tipe AESA yang lebih modern.
AESA radar tidak hanya jauh lebih unggul, tapi juga lebih murah (dan lebih mudah) dalam hal perawatan, dibandingkan PESA atau pulse-doppler. Setiap module / element dalam AESA radar beroperasi independent satu sama lain, jadi kalau ada beberapa element yang rusak, tidak akan mempengaruhi performa radar. Hal ini memudahkan maintenance. Radar Pulse-doppler mempunyai MTBF (Mean-Time Between-Failure) / butuh perbaikan setiap 100 jam operasional, jadi secara maintenance lebih mahal dan sulit.
Eurofighter Consortium baru saja menandatangani kontrak upgrade radar ke CAPTOR-E AESA, senilai $1 milyar, menghilangkan kelemahan terakhir Typhoon dibanding kedua pilihan lain. Pembuat CAPTOR-E adalah Selex ES – memberikan base technology radar yang sama dengan Gripen-NG.
Radar CAPTOR-E AESA di Typhoon memiliki keunggulan ukuran yang besar (1500-module), sebanding dengan radar pesawat tempur berat di kelas F-15 atau Su-27 – memberikan jarak jangkau dan kemampuan deteksi akan lebih kuat dibandingkan Raven ES-05 Gripen dan RBE2 Rafale yang hanya 1000 module, atau di kelas pesawat tempur menengah, yang seimbang dengan APG-80 di F-16 Block-60 atau APG-79 di F-18E/F Super Hornet.
CAPTOR-E dan Raven ES-05 (keduanya buatan Selex ES) dapat diputar di pivot-nya, memberikan kemampuan coverage yang lebih besar (120 derajat dari moncong pesawat). Ini akan memberikan keunggulan tambahan dalam BVR combat (lihat di bawah). Radar RBE2 di Rafale fixed-mounted, sama seperti semua radar AESA di pesawat tempur buatan US, memberikan sudut coverage yang lebih terbatas.
Dari segi IRST, ketiganya boleh dibilang sebanding, karena dari base tehnologi yang sama.
Performance
Typhoon dan Gripen-E mempunyai kecepatan maksimum yang lebih tinggi (Mach-2+) dibandingkan Rafale (Mach 1,8). Daya dorong mesin Rafale yang lebih rendah memberikan Thrust-to-weight ratio yang lebih rendah (0.97), dibandingkan Gripen-E (1,06), dan Typhoon (1,07). Semua angka dihitung fully loaded, dengan full internal fuel dan 2 AAM. Dari segi rate climb, Typhoon paling unggul, diikuti Gripen-E, dan terakhir Rafale, tapi sekali lagi, perbedaan antara ketiganya tidak terlalu jauh.
Ketiga tipe Eurocanards tentu saja juga dapat supercruise – terbang mendatar, melebihi kecepatan suara tanpa menggunakan afterburner, seperti semua tipe lain.
Range dan Combat Radius
Ketiganya hampir seimbang untuk ferry range (+/- 4,000 km) dan combat radius (+/- 1,000 km).
Payload (Data Angkut)
Rafale bisa mengangkut lebih banyak payload (10,5 ton), dibandingkan Typhoon (8.25 ton) dan Gripen-E/F (5 ton). Kemampuan payload ini hanya akan lebih berpengaruh ke kemampuan Air-to-Ground daripada Air-to-Air.
Catatan di sini:
Ausairpower menunjuk bahwa keunggulan payload Su-35 memberikan kemampuan untuk membawa 14 missile. Penulis blog ini, Carlo Kopp dan Peter Goon, sepertinya lupa, kalau tidak akan pernah ada Angkatan udara di dunia ini yang mau memasang 14 missile ke satu pesawat.
Penjelasannya sederhana. Pertama, faktor resiko yang besar. Setiap missile harganya jutaan dollar. Kalau pesawat tempur membawa sedemikian banyak missile dan tertembak jatuh (atau mengalami kecelakaan), sebelum berhasil menembak, maka ini adalah investasi $100 juta yang mubazir.
Kedua, setiap Angkatan Udara hanya mempunyai stock jumlah missile yang terbatas. Akan jauh lebih optimal untuk membagi jumlah missile itu ke lebih banyak pesawat, dibanding memasang sebanyak mungkin missile ke beberapa pesawat saja. Mereka juga harus menghemat, untuk memastikan tidak akan kehabisan missile sebelum konflik selesai.
Inilah sebabnya dalam Air-to-Air mode, semua pesawat tempur di dunia, secara optimal biasanya dipersenjatai 4 x BVR missile, dan 2 x WVR missile. Su-27 Russia yang di-intercept Typhoon UK di atas Baltic ini saja (Foto: The Aviationist), hanya membawa 4 x R-27 BVR missile (2 di perut, 2 di sayap sebelah dalam), dan 2 x R-73 di sayap sebelah luar.
Beberapa pesawat lain dapat membawa 8 missile. Sebagai contoh: Lihat gambar F-15C ini, yang membawa 4 x AIM-9 jarak dekat, dengan 2 fuel drop tank besar di sayap; 4 AIM-120 BVR missile juga terlihat dibawah perut.
Cockpit Interface dan Networking
Ketiganya kira berimbang dalam hal cockpit layout. Semua tipe menekankan user-interface yang terbaik. Dari segi networking, ketiga tipe ini juga dapat menembakkan BVRAAM secara pasif — tidak perlu menyalakan radar — cukup 1 pesawat yang menyalakan radar dan meng-guide semua BVR missile yang ditembakkan pesawat lain.
Rafale dan Typhoon mengandalkan Link-16 untuk data-link network untuk koordinasi antar pesawat. Gripen juga mempunyai kemampuan berkomsunikasi lewat Link-16, tetapi untuk koordinasi antar pesawat dengan Gripen yang lain, memakai sistem TIDLS Swedia tersendiri. Sistem TIDLS yang lebih mengoptimalkan information-sharing, dan kerja-sama yang lebih dekat dalam setiap formasi pesawat, dinilai lebih unggul untuk memberikan situational awareness yang lebih tinggi dibanding Link-16 yang sifatnya seperti broadcast.
BVR (Beyond Visual Range) Combat
Pilihan default untuk ketiganya tentu saja adalah MBDA Meteor, BVR-missile terbaik di dunia saat ini, yang development-nya sudah selesai, dan sebentar lagi akan memasuki tahap operasional. Gripen-C akan menjadi Eurocanard pertama yang membawa Meteor. Untuk Rafale, ada penjelasan terpisah di bawah.
Dengan mesin ramjet, Meteor dapat menyesuaikan kecepatan yang se-efesien mungkin dari tahap launch. Untuk mencapai jarak jangkau yang lebih jauh, Meteor dapat terbang lebih lambat untuk menghemat bahan bakar. Di saat akhir, Meteor dapat menambah kecepatan untuk meng-optimalkan pK (probability-Kill). Bandingkan dengan AMRAAM yang hanya memakai solid rocket – kecepatannya tidak bisa di kontrol dari awal sampai akhir. AMRAAM dapat kehabisan bahan bakar, atau melaju terlalu cepat, sehingga manuever akhir untuk membunuh lawan justru sebenarnya sangat sulit.
Jarak jangkau Meteor tidak di-publish resmi, tapi menurut rumor, melebihi AIM-54 Phoenix tempo dulu (190 km +), atau bahkan AMRAAM-D yang development-nya masih tertunda terus (US menghabiskan terlalu banyak uang di F-35!). Typhoon dan Gripen memiliki keunggulan dalam memakai Meteor karena keduanya dapat melakukan 2-way datalink untuk meng-update posisi terakhir target (sama dengan sistem 2-way-link di AMRAAM), sedangkan Rafale hanya mempunyai 1-way datalink.
Radar AESA di Typhoon, dan Gripen yang dapat diputar untuk mengikuti lawan, memberikan kemampuan keduanya untuk membelok keluar dari jangkauan BVR missile lawan, sementara terus memberikan data-link update ke BVR missile, seperti Meteor untuk menghantam target (lihat gambar di bawah). Ini memberikan kedua tipe ini keunggulan taktis dibanding Rafale, F-15, F-16, dan F-18 yang memakai fixed-mounted AESA-radar.
Typhoon dengan CAPTOR-E AESA (ukurannya paling besar disini), akan dapat melihat lawan dari jarak yang lebih jauh, dan tentu saja mempunyai kesempatan menembak Meteor dari jarak yang lebih aman dibanding yang lain – memanfaatkan jarak jangkau Meteor.
WVR (Within Visual Range) Combat
Typhoon dan Gripen mempunyai kemampuan lebih optimal dibandingkan Rafale dalam hal ini, karena keduanya sudah diperlengkapi Helmet-Mounted-Display (HMD), yang memungkinkan keduanya untuk menembakkan off-boresight WVR missile. Dengan HMD, WVR missile dapat ditembakkan, mengikuti pandangan pilot, sampai sudut yang melebihi 90 derajat dari arah moncong pesawat.
Pilihan senjata antara Typhoon Jerman, Spanyol, dan Italy memakai IRIS-T dan Sidewinder sebagai pilihan utama. Typhoon UK memakai AIM-132 ASRAAM – tipe ini juga dipakai F-18A/B Australia.
Gripen lebih unggul dalam soal pilihan senjata, karena tergantung pilihan negara pemakai, dapat mengintegrasikan AIM-9x, A-Darter, Phyton-4, dan IRIS-T.
Rafale adalah satu-satunya yang memakai missile buatan Perancis – MICA-IR (infra-red seeker) dan MICA-EM (active radar). Kedua jenis MICA missile juga cukup unik karena dapat digunakan untuk jarak dekat (WVR) dan menengah (BVR), tapi tidak seperti yang lain, tidak mempunyai kemampuan off-boresight. Pilihan seeker antara IR dan EM memberikan keunggulan dalam BVR yang sebanding dengan R-77 atau R-27 buatan Russia.
Close-combat manuever / Dogfight
Ketiganya memiliki rating +9G /-3G untuk manuever – standar untuk semua pesawat tempur modern sejak tahun 1970-an.
Dengan wing-loading yang rendah; 283 kg/m2 untuk Gripen-C sampai 306 kg/m2 untuk Typhoon, ketiga Eurocanards dalam manuever-jarak-dekat kira-kira hampir sebanding dengan, atau lebih baik dibandingkan F-16A (sub-variant yang justru paling manueverable dalam keluarga F-16).
Ketiga Eurocanards ini juga cukup unik karena, berkat canard control, juga dapat menyamai kemampuan F-18 Hornet, yang dalam “point and shoot” high-AoA manuever (mengarahkan moncong pesawat ke arah lawan) lebih cepat dibandingkan F-16.
Sebagai pembanding, menurut laporan Department of Operational Test & Evaluation-2012 untuk Pentagon, si bebek tak berdaya, F-35, adalah pengecualian dengan maksimum +5.0g, lebih jelek bahkan dibandingkan dengan MiG-21, F-4E Phantom-II, dan Mirage-III yang bertehnologi tahun 1960-an.
Untuk pertempuran jarak dekat, ketiga Eurocanards memakai tipe revolver cannon dibandingkan M61A2 gatling gun yang biasa dipakai di F-15 dan F-16. Gripen dan Typhoon membawa BK-27 Mauser (kaliber 27 mm), sedangkan Rafale membawa GIAT30 (kaliber 30 mm). Jika diperbandingkan, kedua jenis revolver cannon ini hanya membawa lebih sedikit jumlah peluru dibandingkan M61A2, tapi setiap peluru BK-27 dan GIAT30 mempunyai daya pukul yang jauh lebih kuat.
Air-to-Ground
Rafale paling unggul disini dengan payload yang lebih besar dibanding kedua tipe lain. Tipe ini ekslusif yang memakai Exocet anti-ship missile yang sudah terbukti di Falkland, dan perang Iran-Iraq. Rafale juga dapat membawa MBDA Storm Shadow / SCALP-EP stealth cruise missile jarak jauh.
Typhoon kemampuan air-to-ground-nya dinilai lebih terbatas dibanding Rafale (ini salah satu alasan kenapa Typhoon kalah dalam kontes di Singapore), dikarenakan update-nya agak terlambat (prioritas pembuatan Typhoon adalah pesawat tempur air-to-air). Versi Inggris, yang juga sama bisa membawa MBDA Storm Shadow, dan Brimstone (sebanding dengan, tapi lebih baik dari AGM-65 Maverick). Untuk anti-ship missile, tidak seperti yang lain, Typhoon masih mengandalkan AGM-84 Harpoon buatan US.
Payload Gripen lebih kecil dibanding kedua tipe lain, tapi tipe ini memiliki keunggulan flexibilitas untuk integrasi senjata, yang menjadikannya tipe favorit banyak pembuat senjata dalam development senjata baru. Saat ini, Gripen sudah mengintegrasi KEPD 500 Taurus stealth cruise missile, dan RBS.15 – anti-ship / air-to-surface missile buatan Swedia; dibuat untuk menandingi kemampuan Harpoon missile (US) dan Exocet (Perancis). Missile jenis lain, seperti Brimstone atau Storm Shadow, tentu saja dapat di tambahkan ke Gripen, tergantung kebutuhan negara pembeli.
Harga per unit dan Biaya Operasional
Eurofighter Typhoon adalah yang paling mahal dalam kedua aspek ini. Harga per unit, termasuk development cost, mencapai €125 juta, dgn biaya operasional US$18,000 / jam. Dalam semua kompetisi pesawat tempur, Typhoon selalu dianggap sebagai pilihan termahal.
Rafale tidak berbeda jauh. Harga per unit juga diatas $100 juta, dan biaya operasional $16,000.
Gripen-E harga per unit belum di-publikasikan, tapi mungkin di antara rentangan harga $50 juta – $60 juta. Biaya operasional untuk Gripen-C/D adalah $4,700 – tapi SAAB meng-klaim kalau Gripen-E/F biaya operasionalnya akan lebih murah lagi.
Klaim SAAB mungkin bisa dijelaskan dari perbedaan radar, dan mesin. Tipe PS-05/A Pulse-doppler di Gripen-C/D lebih maintenance heavy dibanding Selex Raven ES-05 AESA di versi-E/F. Mesin F414G juga sengaja dipilih untuk menurunkan biaya perawatan, dibandingkan RM12 di versi C/D.
Catatan:
Harga per unit: Harga di atas hanyalah estimasi patokan kasar. Tergantung perjanjian transaksi (pembelian dalam jumlah yang lebih banyak biasanya lebih murah), pembeli bisa mendapat harga yang lebih mahal, atau lebih murah dibandingkan harga di atas. Nilai kontrak yang sudah ditandatangani juga tidak bisa dijadikan representasi untuk harga per unit masing-masing pesawat, karena setiap kontrak biasanya juga mencakup perlengkapan infrastruktur yang harus dibeli, spare part, training, support equipment, dan tentu saja biaya initial training.
Biaya operasional: Biaya operasional disini adalah angka indicative Basic CPFH (Cost per Flight Hour) yang dihitung IHS Jane’s. Apa yang dihitung adalah: BBM, consumables (oil, service parts), biaya lapangan untuk operation & maintenance, dan perkiraan jumlah jam kerja maintenance yang dibutuhkan.
Sebagai perbandingan, beberapa negara biasanya memakai angka “comprehensive CPFH” yang menambahkan perhitungan untuk biaya “sistem improvements” (upgrade), capital charge, angka depresiasi (pengurangan nilai) dari harga beli baru pesawat, dan amortization cost.
Ini menjelaskan kenapa F-16C dalam angka IHS Jane’s mempunyai biaya operasional $7,700 / jam; sedangkan dalam majalah Time, USAF melaporkan biaya operasional yang $22,514.
Kedua angka di atas sama-sama benar. Perhitungan IHS Jane’s tentu saja lebih mengacu ke real cost operational, dibandingkan perhitungan ala USAF.
Hasil latihan Air-to-Air / Combat Record Eurocanards
Perang Iran – Iraq adalah konflik besar terakhir dimana kemampuan udara kedua belah pihak hampir berimbang. Dengan berakhirnya konflik ini di tahun 1988, semua pesawat tempur dewasa ini relatif tidak mempunyai combat record yang berarti dalam pertempuran Air-to-Air. Inilah kenapa, latihan-latihan udara Internasional biasanya menjadi patokan, bukan hanya untuk mencoba kemampuan pesawat, tapi juga strategi, dan latihan pilot.
Semua hasil pengalaman yang dikumpulkan Eurocanards disini adalah dari batch sebelumnya untuk ketiga model. Typhoon, yang dipakai dalam training dibawah adalah dari Tranche-2 (bukan versi terakhir Tranche-3B); Dassault Rafale dari versi F2 standard (versi terakhir: F3R Standard); dan untuk Gripen adalah versi –C (versi terakhir: E/F (NG)). Jadi dari segi kemampuan, ketiga Eurocanards versi sekarang sudah maju beberapa langkah dibandingkan pengalaman di bawah.
Typhoon dinilai lebih unggul dibanding kedua tipe Eurocanards yang lain, terutama karena reputasi mereka dalam bermacam latihan NATO. Blog resmi Eurofighter meng-klaim kalau dua Typhoon berhasil menembak jatuh delapan (8) F-15 dalam latihan. Typhoon juga salah satu yang cukup sukses dalam pertandingan tempur di Red Flag melawan F-22 (lihat gambar).
Dari segi kemampuan close combat, walaupun Rafale tidak mempunyai offbore-sight WVR missile seperti yang lain, tipe ini juga menikmati cukup kesuksesan, untuk melawan F-22 – pesawat tempur yang dianggap paling tangguh di dunia. Rafale berhasil menancapkan “simulasi MICA-IR” ke F-22.
Combat record Rafale untuk Air-to-surface di atas Libya dan Afganistan juga cukup menarik, mungkin mengungguli Typhoon. Berbeda dengan US, yang selalu mendahului serangan dengan “radar-jammer” seperti EA-18G, atau puluhan BGM-109 Tomahawk cruise missile, Rafale dapat langsung terbang di atas Libya, dengan mengandalkan perlindungan dari Thales SPECTRA EW defense suite. Perancis juga melaporkan kalau 2 Rafale saja, dapat melakukan tugas yang biasanya harus diemban 2 Mirage-2000-5, dan 6 Mirage-2000D. Availability rate untuk Rafale di Libya juga dilaporkan “mendekati 100%”.
AU Hungaria melaporkan performa Gripen-C dalam latihan NATO melebihi ekspetasi. Gripen dapat melihat semua pesawat NATO lain (di radar), dilain pihak lebih sukar untuk di-deteksi, atau dilihat dalam pertempuran jarak dekat. Gripen-C Hungaria juga mengejutkan negara-negara NATO lain, karena tidak dapat di-”jamming”, seperti pesawat lain.
Dalam latihan NATO ini, Gripen Hungaria berada dalam pihak ”Red Force”; pihak yang seharusnya kalah. Mereka tidak mendapat dukungan pesawat AWACS atau radar lain, tidak memakai data-link, dan tidak dapat melakukan simulasi AMRAAM. Meski begitu, dalam satu latihan, Gripen-C tetap berhasil “menembak jatuh” 8 – 10 pesawat NATO, termasuk 1 Typhoon. Dalam pertempuran jarak dekat melawan F-16 MLU, Gripen-C juga dengan terlalu mudah “menghabisi” F-16.
Kesimpulan
Ketiga Eurocanard saat ini boleh dibilang harus menjadi tolok ukur semua pesawat tempur G4,5 modern dewasa ini. Ketiganya sudah terbukti “mengigit” dalam mengadu manuever, karena mengkombinasikan aspect yang terbaik dari F-16, dan F-18.
Untuk negara yang mengutamakan Air Superiority, dan dapat membayar harganya, Typhoon adalah pilihan terbaik. Dengan perpaduan CAPTOR-E AESA radar, dan Meteor BVRAAM – Keduanya yang akan segera memasuki status operasional, Typhoon justru akan lebih menakutkan lagi dalam latihan Red Flag. Boleh dibilang, saat ini, Typhoon adalah pesawat yang paling mengancam “mahkota” F-22A sebagai pesawat tempur terbaik di dunia.
Kelemahan utama Typhoon adalah belum tersedianya AESA radar; sampai upgrade ke CAPTOR-E selesai. Proses upgrade ini akan berjalan cukup lama, dan belum tentu semua Typhoon akan mendapat AESA karena masalah biaya. Untuk Air-to-Ground, Typhoon juga belum diperlengkapi Anti-shipping missile buatan Eropa.
Rafale adalah tipe yang paling unggul di dalam Air-to-Ground. Kemampuan Thales SPECTRA EW suite-nya juga sudah terbukti. Permasalahan utama Rafale adalah senjata-senjata yang eksklusif kebanyakan buatan Perancis, walaupun bebas dari pengaruh US, integrasi senjata lain diluar yang sudah disetujui Perancis sangat sulit. Tidak adanya HMD juga memberi kelemahan dalam pertempuran WVR jarak dekat. Dan dalam penggunaan Meteor BVRAAM, Rafale juga performa-nya dinilai lebih rendah dibanding yang lain karena hanya mempunyai 1-way datalink.
Dassault Rafale tentu saja juga satu-satunya tipe Eurocanards yang dapat beroperasi dari kapal induk. Tapi kemampuan ini kurang relevan dalam konteks Indonesia.
Gripen-E adalah satu-satunya Eurocanard bermesin tunggal, performa air-to-ground (dan daya angkut) juga masih dibawah kedua tipe yang lain. Sama seperti Rafale, Gripen sudah memiliki portfolio senjata Eropa – non-Amerika, termasuk RBS-15 anti-ship missile, yang lebih penting untuk negara maritim seperti Indonesia. Keunggulannya, tidak seperti Rafale, Gripen memberikan lebih banyak kebebasan untuk mengintegrasikan senjata manapun (terserah pembeli), tanpa perlu persetujuan atau campur tangan SAAB.
Tidak seperti Rafale, dan Typhoon yang hanya dapat memakai Link-16 (ini masih dalam pengaruh FMS US) untuk aerial network, Gripen juga memilih sistem TIDLS untuk koordinasi antar pesawat dalam Gripen-formation. Gripen juga sudah didesain untuk information sharing melalui sistem Link-16 NATO, atau pilihan network sendiri seperti STRiC Swedia, dan sistem SIVAM di Brazil.
Gripen-E akan menjadi satu-satunya yang sudah diperlengkapi HMD dan AESA; sedangkan kedua Eurocanard yang lain, saat ini hanya punya satu, tapi belum diperlengkapi dengan yang lain. Tentu saja biaya per unit dan biaya operasional per jam juga paling murah, karena pesawat ini lebih ringan, dan bermesin tunggal.
Gripen (versi C) belum mengumpulkan banyak combat training record
seperti Eurocanard yang lain. Kelemahan utamanya, tentu saja belum
pernah “menjajal” F-22 seperti kedua Eurocanards yang lain. Tapi ini
bukan berarti, dalam training air-to-air NATO, tipe ini bisa diremehkan.
Kerja Sama Maritim dengan Spanyol dan Italia Terus Diperkuat
“Beberapa program kerjasama segera diinventarisasi, termasuk kaji-ulang program pembangunan kapal kapal ikan Mina Jaya pada dekade 1990-an lalu,” Ujar Menko Maritim dalam keterangan pers yang diterima JMOL.
Indroyono mengungkapkan, saat ini kerjasama Indonesia – Spanyol masih berlangsung di bidang pembangunan kapal, diantaranya pembangunan kapal latih perikanan untuk Sekolah Tinggi Perikanan (STP), dan pembangunan kapal layar tiang tinggi pengganti kapal layar KRI Dewaruci sebagai kapal latih Taruna Akademi Angkatan Laut TNI AL.
Selain itu, tambah Indroyono, tim lintas kementerian dari Indonesia telah dikirim ke Spanyol guna studi banding ke galangan kapal Rodman di Vigo, Spanyol, sekaligus menyiapkan kedatangan empat kapal patroli untuk memperkuat Badan Keamanan Laut RI (Bakamla).
“Diharapkan akan ada investasi pembangunan galangan kapal oleh Spanyol di Indonesia, utamanya di Kuala Tanjung, Sumatera Utara dan di Sorong, Papua,” paparnya.
Sebelumnya, Menko Kemaritiman juga telah melakukan pertemuan dengan Duta Besar Italia untuk Indonesia, Federico Failla. Dalam pertemuan tersebut, menko menginformasikan tentang keikutsertaan Indonesia dalam World Expo Milan, Italia 2015, pada Mei – Oktober 2015.
Disamping itu, Indonesia juga akan mengirimkan kapal perang TNI-AL yang akan ditumpangi para taruna Akademi Angkatan Laut, taruna Sekolah Tinggi Pelayaran dan Taruna Sekolah Tinggi Perikanan untuk berpartisipasi dalam World Ocean Day di Expo Milan 2015, pada 8 Juni 2015 mendatang.
“Dibidang pengolahan hasil perikanan, Indonesia dan Italia akan bekerjasama dalam penyamakan kulit Ikan Nila untuk pembuatan sepatu, tas, dompet dan sabuk khas Italia guna meningkatkan usaha kecil dan menengah di tanah air,” tukas Menko.(jmol)
PRAJURIT YONIF-3 MARINIR BERLATIH MENEMBAK
Dispen Kormar (Sidoarjo).
Dalam rangka profesionalisme dan naluri tempur, prajurit Yonif-3
Marinir melaksanakan menembak di lapangan tembak Brigif-1 Marinir
Gedangan, Sidoarjo, Rabu (28/01/2015).
Materi menembak� dengan
pimpinan penembakan Lettu Mar Yusuf M. Pribadi tersebut merupakan
rangkaian dari kegiatan Latihan Perorangan Dasar (LPD)/Latihan
Perorangan Kesenjataan (LPK) TW.I TA.2015 yang dilaksanakan prajurit
‘Macan Hitam’.
Materi
yang dilatihkan meliputi menembak senapan jarak 100 meter dengan
menggunakan sikap tiarap, duduk dan berdiri, kemudian menembak pistol
dari jarak 20 meter.
Komandan
Batalyon Infanteri-3 Marinir Mayor Marinir Bakti Dasasasi Penanggungan,
S.E didampingi Pasi Ops Mayor Marinir Eko Budi Prasetyo mengatakan,
kegiatan tersebut merupakan materi dalam latihan LPD/LPK TW.I TA. 2015
dengan tujuan memelihara dan meningkatkan kemampuan serta ketrampilan
perorangan dasar dan kesenjataan bagi prajurit Batalyon Infanteri-3
Marinir.
Selain
itu, juga sebagai sarana untuk mengasah naluri tempur prajurit ‘Macan
Hitam’ dalam rangka kesiapan melaksanakan latihan Pasukan Pemukul Reaksi
Cepat (PPRC) TNI tahun 2015 yang akan dilaksanakan di Poso, Sulawesi
Tengah, Pebruari mendatang.
Selain
menembak, lanjutnya, materi yang dilatihkan dalam LPD/LPK TW.I TA. 2015
meliputi Ilmu Medan Membaca Peta (IMMP), Gerak Jalan, Renang, Patroli,
Menembak, Tali-temali, P3K dan diakhiri dengan Jurit Komando.