Ketiga Eurocanards menjadi pilihan baik bagi banyak negara yang menginginkan tehnologi modern pesawat tempur Barat, reliability yang terjamin, dan support yang bagus, tapi ingin mengingkari faktor resiko untuk berurusan dengan program FMS pemerintah US, dan “source code” control mereka yang terkenal pelit.
Berikut adalah perbandingan antara ketiga tipe ini.
Radar
Gripen-E/F (Selex Raven ES-05) dan Dassault Rafale (RBE2) sudah memakai AESA radar; sedangkan Typhoon masih memakai radar CAPTOR-M, tipe pulse-doppler 2-channel. CAPTOR-M dianggap sebagai doppler radar dianggap lebih modern dari semua model mechanical doppler yang lain spt APG-68v9 (F-16 Block50+) atau APG-70 (F-15E), tapi tetap tidak bisa menandingi jarak jangkau, dan kemampuan deteksi tipe AESA yang lebih modern.
AESA radar tidak hanya jauh lebih unggul, tapi juga lebih murah (dan lebih mudah) dalam hal perawatan, dibandingkan PESA atau pulse-doppler. Setiap module / element dalam AESA radar beroperasi independent satu sama lain, jadi kalau ada beberapa element yang rusak, tidak akan mempengaruhi performa radar. Hal ini memudahkan maintenance. Radar Pulse-doppler mempunyai MTBF (Mean-Time Between-Failure) / butuh perbaikan setiap 100 jam operasional, jadi secara maintenance lebih mahal dan sulit.
Eurofighter Consortium baru saja menandatangani kontrak upgrade radar ke CAPTOR-E AESA, senilai $1 milyar, menghilangkan kelemahan terakhir Typhoon dibanding kedua pilihan lain. Pembuat CAPTOR-E adalah Selex ES – memberikan base technology radar yang sama dengan Gripen-NG.
Radar CAPTOR-E AESA di Typhoon memiliki keunggulan ukuran yang besar (1500-module), sebanding dengan radar pesawat tempur berat di kelas F-15 atau Su-27 – memberikan jarak jangkau dan kemampuan deteksi akan lebih kuat dibandingkan Raven ES-05 Gripen dan RBE2 Rafale yang hanya 1000 module, atau di kelas pesawat tempur menengah, yang seimbang dengan APG-80 di F-16 Block-60 atau APG-79 di F-18E/F Super Hornet.
CAPTOR-E dan Raven ES-05 (keduanya buatan Selex ES) dapat diputar di pivot-nya, memberikan kemampuan coverage yang lebih besar (120 derajat dari moncong pesawat). Ini akan memberikan keunggulan tambahan dalam BVR combat (lihat di bawah). Radar RBE2 di Rafale fixed-mounted, sama seperti semua radar AESA di pesawat tempur buatan US, memberikan sudut coverage yang lebih terbatas.
Dari segi IRST, ketiganya boleh dibilang sebanding, karena dari base tehnologi yang sama.
Performance
Typhoon dan Gripen-E mempunyai kecepatan maksimum yang lebih tinggi (Mach-2+) dibandingkan Rafale (Mach 1,8). Daya dorong mesin Rafale yang lebih rendah memberikan Thrust-to-weight ratio yang lebih rendah (0.97), dibandingkan Gripen-E (1,06), dan Typhoon (1,07). Semua angka dihitung fully loaded, dengan full internal fuel dan 2 AAM. Dari segi rate climb, Typhoon paling unggul, diikuti Gripen-E, dan terakhir Rafale, tapi sekali lagi, perbedaan antara ketiganya tidak terlalu jauh.
Ketiga tipe Eurocanards tentu saja juga dapat supercruise – terbang mendatar, melebihi kecepatan suara tanpa menggunakan afterburner, seperti semua tipe lain.
Range dan Combat Radius
Ketiganya hampir seimbang untuk ferry range (+/- 4,000 km) dan combat radius (+/- 1,000 km).
Payload (Data Angkut)
Rafale bisa mengangkut lebih banyak payload (10,5 ton), dibandingkan Typhoon (8.25 ton) dan Gripen-E/F (5 ton). Kemampuan payload ini hanya akan lebih berpengaruh ke kemampuan Air-to-Ground daripada Air-to-Air.
Catatan di sini:
Ausairpower menunjuk bahwa keunggulan payload Su-35 memberikan kemampuan untuk membawa 14 missile. Penulis blog ini, Carlo Kopp dan Peter Goon, sepertinya lupa, kalau tidak akan pernah ada Angkatan udara di dunia ini yang mau memasang 14 missile ke satu pesawat.
Penjelasannya sederhana. Pertama, faktor resiko yang besar. Setiap missile harganya jutaan dollar. Kalau pesawat tempur membawa sedemikian banyak missile dan tertembak jatuh (atau mengalami kecelakaan), sebelum berhasil menembak, maka ini adalah investasi $100 juta yang mubazir.
Kedua, setiap Angkatan Udara hanya mempunyai stock jumlah missile yang terbatas. Akan jauh lebih optimal untuk membagi jumlah missile itu ke lebih banyak pesawat, dibanding memasang sebanyak mungkin missile ke beberapa pesawat saja. Mereka juga harus menghemat, untuk memastikan tidak akan kehabisan missile sebelum konflik selesai.
Inilah sebabnya dalam Air-to-Air mode, semua pesawat tempur di dunia, secara optimal biasanya dipersenjatai 4 x BVR missile, dan 2 x WVR missile. Su-27 Russia yang di-intercept Typhoon UK di atas Baltic ini saja (Foto: The Aviationist), hanya membawa 4 x R-27 BVR missile (2 di perut, 2 di sayap sebelah dalam), dan 2 x R-73 di sayap sebelah luar.
Beberapa pesawat lain dapat membawa 8 missile. Sebagai contoh: Lihat gambar F-15C ini, yang membawa 4 x AIM-9 jarak dekat, dengan 2 fuel drop tank besar di sayap; 4 AIM-120 BVR missile juga terlihat dibawah perut.
Cockpit Interface dan Networking
Ketiganya kira berimbang dalam hal cockpit layout. Semua tipe menekankan user-interface yang terbaik. Dari segi networking, ketiga tipe ini juga dapat menembakkan BVRAAM secara pasif — tidak perlu menyalakan radar — cukup 1 pesawat yang menyalakan radar dan meng-guide semua BVR missile yang ditembakkan pesawat lain.
Rafale dan Typhoon mengandalkan Link-16 untuk data-link network untuk koordinasi antar pesawat. Gripen juga mempunyai kemampuan berkomsunikasi lewat Link-16, tetapi untuk koordinasi antar pesawat dengan Gripen yang lain, memakai sistem TIDLS Swedia tersendiri. Sistem TIDLS yang lebih mengoptimalkan information-sharing, dan kerja-sama yang lebih dekat dalam setiap formasi pesawat, dinilai lebih unggul untuk memberikan situational awareness yang lebih tinggi dibanding Link-16 yang sifatnya seperti broadcast.
BVR (Beyond Visual Range) Combat
Pilihan default untuk ketiganya tentu saja adalah MBDA Meteor, BVR-missile terbaik di dunia saat ini, yang development-nya sudah selesai, dan sebentar lagi akan memasuki tahap operasional. Gripen-C akan menjadi Eurocanard pertama yang membawa Meteor. Untuk Rafale, ada penjelasan terpisah di bawah.
Dengan mesin ramjet, Meteor dapat menyesuaikan kecepatan yang se-efesien mungkin dari tahap launch. Untuk mencapai jarak jangkau yang lebih jauh, Meteor dapat terbang lebih lambat untuk menghemat bahan bakar. Di saat akhir, Meteor dapat menambah kecepatan untuk meng-optimalkan pK (probability-Kill). Bandingkan dengan AMRAAM yang hanya memakai solid rocket – kecepatannya tidak bisa di kontrol dari awal sampai akhir. AMRAAM dapat kehabisan bahan bakar, atau melaju terlalu cepat, sehingga manuever akhir untuk membunuh lawan justru sebenarnya sangat sulit.
Jarak jangkau Meteor tidak di-publish resmi, tapi menurut rumor, melebihi AIM-54 Phoenix tempo dulu (190 km +), atau bahkan AMRAAM-D yang development-nya masih tertunda terus (US menghabiskan terlalu banyak uang di F-35!). Typhoon dan Gripen memiliki keunggulan dalam memakai Meteor karena keduanya dapat melakukan 2-way datalink untuk meng-update posisi terakhir target (sama dengan sistem 2-way-link di AMRAAM), sedangkan Rafale hanya mempunyai 1-way datalink.
Radar AESA di Typhoon, dan Gripen yang dapat diputar untuk mengikuti lawan, memberikan kemampuan keduanya untuk membelok keluar dari jangkauan BVR missile lawan, sementara terus memberikan data-link update ke BVR missile, seperti Meteor untuk menghantam target (lihat gambar di bawah). Ini memberikan kedua tipe ini keunggulan taktis dibanding Rafale, F-15, F-16, dan F-18 yang memakai fixed-mounted AESA-radar.
Typhoon dengan CAPTOR-E AESA (ukurannya paling besar disini), akan dapat melihat lawan dari jarak yang lebih jauh, dan tentu saja mempunyai kesempatan menembak Meteor dari jarak yang lebih aman dibanding yang lain – memanfaatkan jarak jangkau Meteor.
WVR (Within Visual Range) Combat
Typhoon dan Gripen mempunyai kemampuan lebih optimal dibandingkan Rafale dalam hal ini, karena keduanya sudah diperlengkapi Helmet-Mounted-Display (HMD), yang memungkinkan keduanya untuk menembakkan off-boresight WVR missile. Dengan HMD, WVR missile dapat ditembakkan, mengikuti pandangan pilot, sampai sudut yang melebihi 90 derajat dari arah moncong pesawat.
Pilihan senjata antara Typhoon Jerman, Spanyol, dan Italy memakai IRIS-T dan Sidewinder sebagai pilihan utama. Typhoon UK memakai AIM-132 ASRAAM – tipe ini juga dipakai F-18A/B Australia.
Gripen lebih unggul dalam soal pilihan senjata, karena tergantung pilihan negara pemakai, dapat mengintegrasikan AIM-9x, A-Darter, Phyton-4, dan IRIS-T.
Rafale adalah satu-satunya yang memakai missile buatan Perancis – MICA-IR (infra-red seeker) dan MICA-EM (active radar). Kedua jenis MICA missile juga cukup unik karena dapat digunakan untuk jarak dekat (WVR) dan menengah (BVR), tapi tidak seperti yang lain, tidak mempunyai kemampuan off-boresight. Pilihan seeker antara IR dan EM memberikan keunggulan dalam BVR yang sebanding dengan R-77 atau R-27 buatan Russia.
Close-combat manuever / Dogfight
Ketiganya memiliki rating +9G /-3G untuk manuever – standar untuk semua pesawat tempur modern sejak tahun 1970-an.
Dengan wing-loading yang rendah; 283 kg/m2 untuk Gripen-C sampai 306 kg/m2 untuk Typhoon, ketiga Eurocanards dalam manuever-jarak-dekat kira-kira hampir sebanding dengan, atau lebih baik dibandingkan F-16A (sub-variant yang justru paling manueverable dalam keluarga F-16).
Ketiga Eurocanards ini juga cukup unik karena, berkat canard control, juga dapat menyamai kemampuan F-18 Hornet, yang dalam “point and shoot” high-AoA manuever (mengarahkan moncong pesawat ke arah lawan) lebih cepat dibandingkan F-16.
Sebagai pembanding, menurut laporan Department of Operational Test & Evaluation-2012 untuk Pentagon, si bebek tak berdaya, F-35, adalah pengecualian dengan maksimum +5.0g, lebih jelek bahkan dibandingkan dengan MiG-21, F-4E Phantom-II, dan Mirage-III yang bertehnologi tahun 1960-an.
Untuk pertempuran jarak dekat, ketiga Eurocanards memakai tipe revolver cannon dibandingkan M61A2 gatling gun yang biasa dipakai di F-15 dan F-16. Gripen dan Typhoon membawa BK-27 Mauser (kaliber 27 mm), sedangkan Rafale membawa GIAT30 (kaliber 30 mm). Jika diperbandingkan, kedua jenis revolver cannon ini hanya membawa lebih sedikit jumlah peluru dibandingkan M61A2, tapi setiap peluru BK-27 dan GIAT30 mempunyai daya pukul yang jauh lebih kuat.
Air-to-Ground
Rafale paling unggul disini dengan payload yang lebih besar dibanding kedua tipe lain. Tipe ini ekslusif yang memakai Exocet anti-ship missile yang sudah terbukti di Falkland, dan perang Iran-Iraq. Rafale juga dapat membawa MBDA Storm Shadow / SCALP-EP stealth cruise missile jarak jauh.
Typhoon kemampuan air-to-ground-nya dinilai lebih terbatas dibanding Rafale (ini salah satu alasan kenapa Typhoon kalah dalam kontes di Singapore), dikarenakan update-nya agak terlambat (prioritas pembuatan Typhoon adalah pesawat tempur air-to-air). Versi Inggris, yang juga sama bisa membawa MBDA Storm Shadow, dan Brimstone (sebanding dengan, tapi lebih baik dari AGM-65 Maverick). Untuk anti-ship missile, tidak seperti yang lain, Typhoon masih mengandalkan AGM-84 Harpoon buatan US.
Payload Gripen lebih kecil dibanding kedua tipe lain, tapi tipe ini memiliki keunggulan flexibilitas untuk integrasi senjata, yang menjadikannya tipe favorit banyak pembuat senjata dalam development senjata baru. Saat ini, Gripen sudah mengintegrasi KEPD 500 Taurus stealth cruise missile, dan RBS.15 – anti-ship / air-to-surface missile buatan Swedia; dibuat untuk menandingi kemampuan Harpoon missile (US) dan Exocet (Perancis). Missile jenis lain, seperti Brimstone atau Storm Shadow, tentu saja dapat di tambahkan ke Gripen, tergantung kebutuhan negara pembeli.
Harga per unit dan Biaya Operasional
Eurofighter Typhoon adalah yang paling mahal dalam kedua aspek ini. Harga per unit, termasuk development cost, mencapai €125 juta, dgn biaya operasional US$18,000 / jam. Dalam semua kompetisi pesawat tempur, Typhoon selalu dianggap sebagai pilihan termahal.
Rafale tidak berbeda jauh. Harga per unit juga diatas $100 juta, dan biaya operasional $16,000.
Gripen-E harga per unit belum di-publikasikan, tapi mungkin di antara rentangan harga $50 juta – $60 juta. Biaya operasional untuk Gripen-C/D adalah $4,700 – tapi SAAB meng-klaim kalau Gripen-E/F biaya operasionalnya akan lebih murah lagi.
Klaim SAAB mungkin bisa dijelaskan dari perbedaan radar, dan mesin. Tipe PS-05/A Pulse-doppler di Gripen-C/D lebih maintenance heavy dibanding Selex Raven ES-05 AESA di versi-E/F. Mesin F414G juga sengaja dipilih untuk menurunkan biaya perawatan, dibandingkan RM12 di versi C/D.
Catatan:
Harga per unit: Harga di atas hanyalah estimasi patokan kasar. Tergantung perjanjian transaksi (pembelian dalam jumlah yang lebih banyak biasanya lebih murah), pembeli bisa mendapat harga yang lebih mahal, atau lebih murah dibandingkan harga di atas. Nilai kontrak yang sudah ditandatangani juga tidak bisa dijadikan representasi untuk harga per unit masing-masing pesawat, karena setiap kontrak biasanya juga mencakup perlengkapan infrastruktur yang harus dibeli, spare part, training, support equipment, dan tentu saja biaya initial training.
Biaya operasional: Biaya operasional disini adalah angka indicative Basic CPFH (Cost per Flight Hour) yang dihitung IHS Jane’s. Apa yang dihitung adalah: BBM, consumables (oil, service parts), biaya lapangan untuk operation & maintenance, dan perkiraan jumlah jam kerja maintenance yang dibutuhkan.
Sebagai perbandingan, beberapa negara biasanya memakai angka “comprehensive CPFH” yang menambahkan perhitungan untuk biaya “sistem improvements” (upgrade), capital charge, angka depresiasi (pengurangan nilai) dari harga beli baru pesawat, dan amortization cost.
Ini menjelaskan kenapa F-16C dalam angka IHS Jane’s mempunyai biaya operasional $7,700 / jam; sedangkan dalam majalah Time, USAF melaporkan biaya operasional yang $22,514.
Kedua angka di atas sama-sama benar. Perhitungan IHS Jane’s tentu saja lebih mengacu ke real cost operational, dibandingkan perhitungan ala USAF.
Hasil latihan Air-to-Air / Combat Record Eurocanards
Perang Iran – Iraq adalah konflik besar terakhir dimana kemampuan udara kedua belah pihak hampir berimbang. Dengan berakhirnya konflik ini di tahun 1988, semua pesawat tempur dewasa ini relatif tidak mempunyai combat record yang berarti dalam pertempuran Air-to-Air. Inilah kenapa, latihan-latihan udara Internasional biasanya menjadi patokan, bukan hanya untuk mencoba kemampuan pesawat, tapi juga strategi, dan latihan pilot.
Semua hasil pengalaman yang dikumpulkan Eurocanards disini adalah dari batch sebelumnya untuk ketiga model. Typhoon, yang dipakai dalam training dibawah adalah dari Tranche-2 (bukan versi terakhir Tranche-3B); Dassault Rafale dari versi F2 standard (versi terakhir: F3R Standard); dan untuk Gripen adalah versi –C (versi terakhir: E/F (NG)). Jadi dari segi kemampuan, ketiga Eurocanards versi sekarang sudah maju beberapa langkah dibandingkan pengalaman di bawah.
Typhoon dinilai lebih unggul dibanding kedua tipe Eurocanards yang lain, terutama karena reputasi mereka dalam bermacam latihan NATO. Blog resmi Eurofighter meng-klaim kalau dua Typhoon berhasil menembak jatuh delapan (8) F-15 dalam latihan. Typhoon juga salah satu yang cukup sukses dalam pertandingan tempur di Red Flag melawan F-22 (lihat gambar).
Dari segi kemampuan close combat, walaupun Rafale tidak mempunyai offbore-sight WVR missile seperti yang lain, tipe ini juga menikmati cukup kesuksesan, untuk melawan F-22 – pesawat tempur yang dianggap paling tangguh di dunia. Rafale berhasil menancapkan “simulasi MICA-IR” ke F-22.
Combat record Rafale untuk Air-to-surface di atas Libya dan Afganistan juga cukup menarik, mungkin mengungguli Typhoon. Berbeda dengan US, yang selalu mendahului serangan dengan “radar-jammer” seperti EA-18G, atau puluhan BGM-109 Tomahawk cruise missile, Rafale dapat langsung terbang di atas Libya, dengan mengandalkan perlindungan dari Thales SPECTRA EW defense suite. Perancis juga melaporkan kalau 2 Rafale saja, dapat melakukan tugas yang biasanya harus diemban 2 Mirage-2000-5, dan 6 Mirage-2000D. Availability rate untuk Rafale di Libya juga dilaporkan “mendekati 100%”.
AU Hungaria melaporkan performa Gripen-C dalam latihan NATO melebihi ekspetasi. Gripen dapat melihat semua pesawat NATO lain (di radar), dilain pihak lebih sukar untuk di-deteksi, atau dilihat dalam pertempuran jarak dekat. Gripen-C Hungaria juga mengejutkan negara-negara NATO lain, karena tidak dapat di-”jamming”, seperti pesawat lain.
Dalam latihan NATO ini, Gripen Hungaria berada dalam pihak ”Red Force”; pihak yang seharusnya kalah. Mereka tidak mendapat dukungan pesawat AWACS atau radar lain, tidak memakai data-link, dan tidak dapat melakukan simulasi AMRAAM. Meski begitu, dalam satu latihan, Gripen-C tetap berhasil “menembak jatuh” 8 – 10 pesawat NATO, termasuk 1 Typhoon. Dalam pertempuran jarak dekat melawan F-16 MLU, Gripen-C juga dengan terlalu mudah “menghabisi” F-16.
Kesimpulan
Ketiga Eurocanard saat ini boleh dibilang harus menjadi tolok ukur semua pesawat tempur G4,5 modern dewasa ini. Ketiganya sudah terbukti “mengigit” dalam mengadu manuever, karena mengkombinasikan aspect yang terbaik dari F-16, dan F-18.
Untuk negara yang mengutamakan Air Superiority, dan dapat membayar harganya, Typhoon adalah pilihan terbaik. Dengan perpaduan CAPTOR-E AESA radar, dan Meteor BVRAAM – Keduanya yang akan segera memasuki status operasional, Typhoon justru akan lebih menakutkan lagi dalam latihan Red Flag. Boleh dibilang, saat ini, Typhoon adalah pesawat yang paling mengancam “mahkota” F-22A sebagai pesawat tempur terbaik di dunia.
Kelemahan utama Typhoon adalah belum tersedianya AESA radar; sampai upgrade ke CAPTOR-E selesai. Proses upgrade ini akan berjalan cukup lama, dan belum tentu semua Typhoon akan mendapat AESA karena masalah biaya. Untuk Air-to-Ground, Typhoon juga belum diperlengkapi Anti-shipping missile buatan Eropa.
Rafale adalah tipe yang paling unggul di dalam Air-to-Ground. Kemampuan Thales SPECTRA EW suite-nya juga sudah terbukti. Permasalahan utama Rafale adalah senjata-senjata yang eksklusif kebanyakan buatan Perancis, walaupun bebas dari pengaruh US, integrasi senjata lain diluar yang sudah disetujui Perancis sangat sulit. Tidak adanya HMD juga memberi kelemahan dalam pertempuran WVR jarak dekat. Dan dalam penggunaan Meteor BVRAAM, Rafale juga performa-nya dinilai lebih rendah dibanding yang lain karena hanya mempunyai 1-way datalink.
Dassault Rafale tentu saja juga satu-satunya tipe Eurocanards yang dapat beroperasi dari kapal induk. Tapi kemampuan ini kurang relevan dalam konteks Indonesia.
Gripen-E adalah satu-satunya Eurocanard bermesin tunggal, performa air-to-ground (dan daya angkut) juga masih dibawah kedua tipe yang lain. Sama seperti Rafale, Gripen sudah memiliki portfolio senjata Eropa – non-Amerika, termasuk RBS-15 anti-ship missile, yang lebih penting untuk negara maritim seperti Indonesia. Keunggulannya, tidak seperti Rafale, Gripen memberikan lebih banyak kebebasan untuk mengintegrasikan senjata manapun (terserah pembeli), tanpa perlu persetujuan atau campur tangan SAAB.
Tidak seperti Rafale, dan Typhoon yang hanya dapat memakai Link-16 (ini masih dalam pengaruh FMS US) untuk aerial network, Gripen juga memilih sistem TIDLS untuk koordinasi antar pesawat dalam Gripen-formation. Gripen juga sudah didesain untuk information sharing melalui sistem Link-16 NATO, atau pilihan network sendiri seperti STRiC Swedia, dan sistem SIVAM di Brazil.
Gripen-E akan menjadi satu-satunya yang sudah diperlengkapi HMD dan AESA; sedangkan kedua Eurocanard yang lain, saat ini hanya punya satu, tapi belum diperlengkapi dengan yang lain. Tentu saja biaya per unit dan biaya operasional per jam juga paling murah, karena pesawat ini lebih ringan, dan bermesin tunggal.
Gripen (versi C) belum mengumpulkan banyak combat training record
seperti Eurocanard yang lain. Kelemahan utamanya, tentu saja belum
pernah “menjajal” F-22 seperti kedua Eurocanards yang lain. Tapi ini
bukan berarti, dalam training air-to-air NATO, tipe ini bisa diremehkan.