Keberadaan Detasemen Khusus 88 Mabes Polri mulai dipertanyakan.
Anggota Detasemen Khusus 88 Polri
VIVAnews - Keberadaan Detasemen Khusus 88 Antiteror
Mabes Polri dipertanyakan. Alih-alih memberantas kejahatan terorisme,
justru dalam melaksanakan tugasnya, Densus 88 dinilai banyak melanggar
hak asasi manusia (HAM).
Tindakan yang dilakukan anggota Densus
88 saat mencurigai pihak-pihak yang diduga pelaku teror, lebih banyak
berujung kematian. Aksi serampangan ini yang dinilai sebagai pelanggaran
HAM.
Oleh karena itu, sejumlah organisasi Islam yang tergabung
dalam naungan Majelis Ulama Indonesia (MUI) menuntut evaluasi dan
reformasi lembaga milik Polri itu. Bahkan, bila perlu, Densus 88
dibubarkan.
"Kalau dari sudut MUI, kami sepakat Densus 88
dievaluasi. Bila perlu dibubarkan, diganti dengan sebuah lembaga dan
pendekatan baru yang bersama-sama memberantas terorisme, karena
terorisme merupakan musuh bersama," kata Wakil Ketua MUI, Din Syamsuddin
di Mabes Polri, Jakarta, Kamis 28 Februari 2013.
Din menegaskan,
semua pihak pasti setuju dan mendukung pemberantasan terorisme. Karena
terorisme tidak diajarkan dalam agama apapun, dan terorisme adalah musuh
bersama. "Tetapi penanganannya jangan sampai melanggar HAM dan apalagi
menyentuh, merusak nilai-nilai agama."
Bagaimana cara mereformasi
atau bahkan membubarkan satuan yang dibentuk 26 Agustus 2004 itu, MUI
menyerahkannya ke Polri dan pemerintah. Mengenai tercantumnya
pembentukan lembaga Densus 88 di dalam undang-undang, ia menilai, bila
perlu UU tersebut perlu diamandemen. "Itu juga bagus. Kita lihatlah,
kami serahkan ke kawan-kawan di DPR," kata dia.
Densus 88
dibentuk untuk melaksanakan Undang-undang No. 15 Tahun 2003 tentang
penetapan Perpu No. 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Terorisme, yaitu dengan kewenangan melakukan penangkapan dengan bukti
awal yang dapat berasal dari laporan intelijen manapun selama 7 x 24
jam.
Dengan adanya reformasi atau bahkan pembubaran Densus dan
menggantinya dengan lembaga yang lebih baik, diharapkan stigmatisasi
terorisme yang selama ini diidentikkan dengan Islam bisa dihilangkan.
"Yang paling jadi konsen kami bahwa pemberantasan terorisme itu
dikaitkan dengan agama, ini stigmatisasi terhadap Islam," tuturnya.
Din
menuturkan, setelah terjadinya stigmatisasi, Islam menjadi buruk.
Selain itu, bangunan dakwah yang sudah dibangun para ulama roboh. "Ini
kerugian besar bagi umat Islam yang tak bisa kami bayar," ucapnya.
"Kami pesankan sekali pendekatan Densus 88 jangan
over acting, apalagi melakukan pelanggaran HAM. Tidak mungkin penegak hukum dilakukan dengan melanggar hukum itu sendiri," kata Din.
Ketua
Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), Said Aqil Siroj sebelumnya
juga mendesak agar dalam menangani kasus dugaan terorisme di Tanah Air,
Densus 88 menghindari sikap represif.
"Densus 88 harus bisa lebih
profesional. Penanganan terorisme tidak bisa dengan cara-cara represif
saja," ujar Said Aqil, Selasa 8 Januari 2013.
Dia menyatakan, NU
sangat mendukung pemberantasan terorisme, namun harus dengan cara-cara
yang baik. "Saya tegaskan terorisme harus ditindak tegas, tapi jangan
sampai cara-caranya justru menimbulkan trauma bagi masyarakat yang tidak
bersalah," katanya.
Usulan evaluasi bahkan pembubaran Densus 88
oleh MUI dan sejumlah ormas Islam ini enggan ditanggapi Polri. Polri
belum menerima usulan itu secara langsung.
"Kami belum dengar
usulan yang sifatnya seperti itu," kata Kepala Biro Penerangan Umum
Mabes Polri Brigadir Jenderal Polisi Boy Rafli Amar, Kamis 28 Februari
2013.
Boy membantah selama ini Densus 88 tidak taat hukum saat
melakukan penangkapan tersangka teroris. Menurutnya, selama ini,
penangkapan terhadap tersangka teroris sudah melalui proses yang
panjang. "Bukan asal tangkap. Itu hasil penyelidikan panjang," katanya.
Meski
begitu, dugaan-dugaan itu dianggapnya sebagai koreksi untuk institusi
Polri agar dalam menjalankan tugas profesionalnya, selalu mengedepankan
aturan. "Bagi kami yang penting jalankan SOP (Standar Operasional
Prosedur), bekerja sesuai SOP, ini yang harus dijaga," tuturnya.
Menurut
Boy, masalah pelanggaran HAM yang dilakukan anggota Densus 88 akan
diselesaikan dalam lingkup internal. Pada proses itu pun, juga
melibatkan perwakilan ormas. "Akan disampaikan bagaimana langkah
hukumnya, atau bahkan diikutkan sidang," ucapnya.
Sejak dulu, kata Boy, Polri selalu memiliki semangat keterbukaan terhadap kasus-kasus hukum yang melibatkan anggotanya.
Video pelanggaran HAM
Organisasi Islam di bawah naungan MUI juga menemui Kapolri Jenderal
Timur Pradopo untuk melaporkan dugaan pelanggaran HAM berat yang
dilakukan anggota Densus 88, Kamis 28 Februari 2013.
Wakil Ketua
Umum MUI, Din Syamsuddin mengatakan dalam pertemuan yang berlangsung
sekitar 1,5 jam itu, pihaknya menyerahkan rekaman video kekerasan
terhadap teroris.
"Kami datang melaporkan ada bukti berupa video
yang mengandung gambar tentang pemberantasan terorisme. Kami tidak tahu
di mana dan kapan tetapi sangat jelas mengindikasikan pelanggaran HAM
berat. Oleh karena itu kami minta ditindaklanjuti," kata Din.
Din menceritakan, dalam video itu menampilkan penyiksaan yang dilakukan anggota Densus 88 terhadap orang yang disangka teroris.
"Luar
biasa penindasan itu, diikat kaki dan tangannya, ditembak,
diinjak-injak. Dan ada yang bernada nuansa keagamaan 'Anda kan mau mati,
beristighfar lah'. Itu ajaran agama mana? Mengajak orang istighfar tapi
tak diselamatkan?" ujarnya.
Dia yakin, video kekerasan Densus 88
terhadap orang yang disangka teroris itu sudah banyak beredar. "Bahkan
sudah banyak yang sampaikan kepada saya bahwa sudah sampai juga ke
tangan DPR, Komnas HAM bahkan di media. Tapi bagi saya barang bukti tak
terlalu penting, tapi bagaimana respon Kapolri. Kami datang baik-baik
dan dapat perhatian sewajarnya," ujarnya.
Kepala Biro Penerangan
Umum Mabes Polri Brigadir Jenderal Polisi, Boy Rafli Amar mengatakan,
untuk memastikan gambar dalam video itu, terlebih dulu akan dilakukan
penelitian.
"Tadi pak Kabareskrim juga ikut dalam pertemuan.
Dalam pertemuan itu Kapolri mengarahkan ke Kabareskrim untuk menelusuri
lebih lanjut," kata Boy.
Ia menuturkan, video itu mudah diteliti
dan pelaku mudah ditelusuri karena tampak jelas terlihat mereka
berpakaian seragam. "Memang (video) tidak fokus pada wajah anggota ya,
tapi lebih pada mereka yang diamankan," tuturnya.
Polri, kata
Boy, melihat adanya kemungkinan bahwa video ini berkaitan dengan kasus
pelanggaran HAM di Palu, Sulawesi Tengah. Namun kasus ini sebelumnya
pernah dilaporkan Komnas HAM ke Kapolri. "Diduga video itu diambil di
tempat yang ada kemiripan seperti yang terjadi di Palu."
Apabila
benar video itu terkait dengan kasus pelanggaran HAM oleh anggota Polri
di Palu itu, menurut Boy, Polri sudah mengambil langkah hukum. Para
anggota Polri yang jadi tersangka akan disidangkan pada awal Maret 2013.
"Setelah
terjadi penembakan Brimob saat ini sudah dilakukan pemeriksaan terhadap
18 anggota Polri, 9 masyarakat sudah diambil keterangan, masih ada 5
masyarakat diharapkan memberikan keterangan tapi belum datang ke
Propam," jelasnya.
Boy pun membantah pernyataan MUI soal
penembakan dan perilaku keji anggota Densus 88 terhadap tersangka
teroris dalam rekaman video itu. Menurutnya, dalam video berdurasi lima
menit tersebut hanya tampak adegan pemukulan.
"Saya lihat
dipukul, saya tidak lihat ditembak atau diinjak. Tidak fokus videonya,
dalam gambar ada sekitar 3-4 orang. Kelihatan ada dua korban, hanya 1
yang difokuskan," kata Boy.
Meski begitu, Boy mengapresiasi
laporan dan masukan yang diberikan MUI dan ormas-ormas Islam kepada
Polri terkait proses penegakan hukum yang harus menghindari pelanggaran
HAM.
Selama tahun 2012, Densus 88 berhasil menangani 14 kasus
tindak pidana terorisme. Sekitar 10 orang di antaranya tewas saat proses
penangkapan, 68 orang diproses hukum.
Sementara, di awal tahun
2013, Densus 88 menembak mati tujuh orang terduga teroris di Sulawesi
Selatan dan Nusa Tenggara Barat. Dua terduga teroris yakni Hasan alias
Kholik dan Syamsuddin alias Asmar alias Buswah tewas di Makassar pada
Jumat 4 Januari 2013.
Kemudian, penangkapan terduga teroris di
Bima, tepatnya perbatasan antara Dompu dan Bima, dilakukan terhadap dua
orang, yaitu Roy yang merupakan warga Makassar, dan Bachtiar yang
merupakan warga Bima. Keduanya ditembak mati karena melawan saat
ditangkap.
Sementara di Dompu, tepatnya Dusun Kandai Gintei Kecamatan Woja
Kabupaten Dompu, polisi menembak mati tiga terduga teroris lainnya. [Baca: Setelah 7 Terduga Teroris Tewas Ditembak] (eh)