Pages

Monday, 25 February 2013

Penetapan Batas Maritim Indonesia Sering Bermasalah


SAMPAI saat ini, penetapan batas maritim Indonesia dengan negara-negara tetangga belum selesai secara keseluruhan dan masih dalam proses perundingan. Belum tuntasnya masalah batas maritim seringkali menimbulkan berbagai permasalahan dalam upaya penegakan kedaulatan dan hukum di wilayah laut yuridiksi nasional Indonesia maupun pengelolaan sumber dayanya.

Demikian dikatakan Wakil Kepala Staf Angkatan Laut (Wakil KSAL), Laksamana Madya TNI Hari Bowo, mewakili KSAL, Laksamana TNI Marsetio, ketika membuka Seminar dengan tema “Sosialisasi Batas Maritim NKRI dengan Negara Tetangga kepada Instansi Terkait dengan Tugas Keselamatan, Keamanan, dan Penegakan Hukum” di Wisma Elang Laut, Jakarta, Senin (25/2).

Dalam sambutan tertulisnya, Laksamana TNI Marsetio mengatakan, sebagai Negara Kepulauan, laut mempunyai makna penting bagi bangsa Indonesia. Dari segi politik, laut melahirkan konsepsi tentang persatuan yang tidak hanya ke dalam, melainkan juga ke luar sebagaimana telah diakui oleh UNCLOS ‘82.

Laut juga menjadi media perhubungan, termasuk perdagangan yang sangat vital. Dalam implementasinya diperlukan pengelolaan terhadap batas maritim, mencakup batas maritim yang langsung berbatasan dengan negara tetangga dan batas maritim dengan laut bebas,” katanya.

Oleh karena itu, lanjut Marsetio, perlu upaya sosialisasi batas maritim Republik Indonesia dengan negara tetangga kepada instansi yang bertugas menjaga keselamatan, keamanan dan penegakan hukum di laut. Terutama instansi yang terkait langsung dengan perkembangan batas-batas maritim, baik yang sudah ada kesepakatan maupun sedang dalam proses perundingan, serta klaim sepihak (unilateral) yang dilakukan oleh Indonesia.

Hal ini penting guna terwujudnya kesamaan persepsi dan tindakan yang diambil oleh lembaga yang terlibat pengelolaan keamanan laut dalam beroperasi dan patroli di perairan perbatasan NKRI.

Sosialisasi yang digelar Dishidros ini bertujuan untuk menyamakan persepsi, pola pikir, dan pola tindak yang diambil oleh instansi yang bertugas menjaga keselamatan, keamanan dan penegakan hukum di laut yang beroperasi dan patroli di perairan perbatasan NKR, antara lain Kementerian Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan (Kemenko Polhukam), TNI, Kementerian Perhubungan, Kementerian Hukum dan HAM, Kementerian Kelautan dan Perikanan, Kementerian Lingkungan Hidup, Kementerian Pertahanan, Kementerian Keuangan, serta Polri.

Penetapan batas-batas maritim berdasarkan ketentuan United Nations of Convension on the Law of the Sea 1982 (UNCLOS ‘82) yang telah diratifikasi oleh Pemerintah RI melalui UU Nomor 17 tahun 1985. Konsekuensi dari aturan tersebut, menurut Marsetio, wilayah yurisdiksi nasional Indonesia harus dipandang sebagai satu kesatuan wilayah baik ruang darat, laut, dan udara yang bulat dan utuh.

Sebagai negara kepulauan, laut mempunyai makna penting bagi bangsa Indonesia. Secara politik, laut melahirkan konsepsi tentang persatuan tidak hanya ke dalam, tetapi juga keluar sebagaimana telah diakui UNCLOS ‘82.

Secara teknis, penentuan batas maritim diatur dalam a Manual on Technical Aspects United Nations of Convension on the Law of the Sea (TALOS) edisi keempat 2006 yang dikeluarkan oleh International Hydrographic Organization (IHO). Dengan demikian maka Dishidros sebagai salah satu Badan Pelaksana Pusat di Tingkat Mabesal sekaligus sebagai Lembaga Hidrografi Nasional sesuai Keppres No. 164 Tahun 1960, ditunjuk sebagai anggota IHO mewakili Pemerintah RI.

Dishidros ikut terlibat menjadi anggota delegasi dalam setiap perundingan perbatasan laut dengan negara tetangga.

Sumber : Jurnas