Batu nisan idola Kopassus itu masih tertambat di luar negeri karena kesulitan keuangan untuk memulangkannya.
Panglima TNI Jenderal TNI Moeldoko (tengah) didampingi Kepala Staf
Angkatan Darat Jenderal TNI Gatot Nurmantyo (kiri) dan Komandan Jenderal
(Danjen) Kopassus Mayjen TNI Doni Monardo (kanan) menari bersama tarian
adat suku Kamoro Papua saat acara syukuran HUT ke-63 Kopassus di
Cijantung, Jakarta, Rabu (29/4). Syukuran dan silaturahmi tersebut
dihadiri para eks Danjen, para purnawirawan Kopassus, tokoh eks Gerakan
Aceh Merdeka (GAM), Organisasi Papua Merdeka (OPM) dan para tokoh
Timor-timur.
Kisah heroik Prada Satu (Pratu) Suparlan menjadi salah satu
kebanggaan bagi Komando Pasukan Khusus (Kopassus) saat ini. Kehebatannya
membunuh puluhan pasukan Fretelin, Timor Timur melegenda di kalangan
prajurit.
Namanya terpahat di atas batu granit hitam
Monumen Seroja, Kompleks Markas Besar (Mabes) TNI Cilangkap. Namanya
juga diabadikan menjadi lapangan udara di Kecamatan Batujajar, Kabupaten
Bandung, Jawa Barat. Lapangan Udara Batujajar.
Adiknya,
Suharjono (50), begitu bangga dengan kisah Suparlan itu. Sejak gugur di
medan perang pada 1980, keluarga hanya sekali berziarah ke makam
Suparlan. Itu pun diwakili ayahnya Sudarmo.
Pahlawan
korps baret merah ini dikebumikan di Timor-Timur. “Ayah baru satu kali
ziarah, kalau tidak salah pada 1984 atau 1985. Saya lupa. Keluarga ignin
makam Suparlan dipindahkan ke kampung halaman di pemakaman
Kusumanegara, Yogyakarta,” tutur Suharjono saat HUT ke-63 Kopassus di
Mako Kopassus, Cijantung, Jakarta Timur, Rabu (29/4) lalu.
Permintaan
Suharjono itu menjadi kerinduan terpendam selama puluhan tahun.
Keluarga besar tak pernah bertemu dengan nisan Suparlan. Keterbatasan
keuangan membuat keluarga besar tidak mungkin memboyong Suparlan terbang
kembali ke Yogyakarta.
Bahkan, sekadar untuk
berziarah selalu terkendala uang. Padahal, anak kedua dari pasangan
Sawire dan Sudarmo itu menjadi pujaan dikalangan prajurit Kopassus.
“Ingin setahun sekali ziarah ke makam kakak saya. Tapi, dari mana
biayanya,” ucapnya.
Suharjono sudah dua kali diundang
dalam perayaan HUT Kopassus, pada 1987 dan 2015. Kali pertama, ia datang
bersama ayahnya. Kini, saat ayahnya sakit, ia datang bersama ibunya.
Dulu
Suparlan menjadi kebanggaan keluarga. Namun, ia hanya meninggalkan uang
pensiunan yang tidak pernah cukup untuk kebutuhan keluarganya.
Anak
Suharjono sangat takjub dan takzim mendengar cerita paman mereka itu.
Seorang di antaranya kini menjadi taruna TNI dan sangat mengidolakan
Suparlan, yang hanya diketahuinya dari berbagai cerita orang tuanya.
“Dia sangat senang dengar cerita pamannya,” katanya.
Anak Pendiam
Ibunda
Suparlan, Sawire, mengatakan anaknya sejak kecil dikenal sebagai
pemberani dan berkepribadian tangguh. Ia tak ingin merepotkan kedua
orang tuanya, mandiri, dan agak pendiam. “Suparlan anak kedua dari lima
anak saya. Anaknya rajin. Pandai bela diri,” cerita Sawire.
Ayahnya,
yang juga pensiunan militer, banyak memengaruhi Suparlan untuk menjadi
anggota TNI yang hebat. Karena itu, setelah lulus sekolah menengah atas
(SMA), keinginan Suparlan hanya masuk akademi militer. Niatnya yang kuat
membuatnya lulus dengan sangat baik.
Dalam usia 22
tahun, ia bertugas di Komando Pasukan Sandi Yudha (Kopassandha) yang
merupakan cikal bakal Kopassus. Dua tahun kemudian, ia ditugaskan
meredam konflik di Timor-Timur. Namun, di Timor Timur itulah ia
menunjukkan kehebatannya sebagai prajurit. Ia berperang dengan pasukan
Fretelin dan menunjukkan kehebatannya sebagai prajurit, hingga nyawanya
kembali ke pangkuan Ilahi.
Banyak rekannya
menceritakan kehebatannya. Cerita-cerita itu telah benyak menginspirasi
Kopassus. Bagai kisah Rambo, Suparlan menaklukkan puluhan musuh hanya
seorang diri, seperti cerita film Lone Survivor.
Laman
situs resmi Kopassus juga mengisahkan kehebatan Suparlan; bermula saat
satu unit gabungan berjumlah sembilan orang, terdiri atas empat personel
Kopassus dan lima personel Kostrad.
Pasukan ini
dipimpin Letnan Poniman Dasuki untuk melaksanakan Patroli di Zona Z di
pedalaman Timor. Daerah ini adalah daerah yang sangat rawan. Di sana ada
tokoh Fretelin seperti Lobato, Lere, dan David. Saat itu Xanana Gusmao
belum muncul.
Saat patroli itulah mereka bertemu
Fretelin yang berkekuatan sekitar 300 orang dengan senjata lengkap.
Bahkan, anggota Fretelin tersebut berpengalaman perang di Angola,
Mozambik, hasil didikan Tropaz Portugis.
Suparlan
berhasil menyergap pos pengamatan Fretelin. Sayang, aksinya kemudian
diketahui dan memancing pertempuran dengan jumlah pasukan besar.
Suparan
dikepung Fretelin dari berbagai sisi. Ia berperang seorang diri setelah
semua rekan-rekannya roboh ditembak pasukan Fretelin. Ia melawan
komando pemimpinnya untuk mundur demi menyelamatkan rekan-rekannya yang
lain.
Bagi Kopassus, Suparlan lebih dari sebuah kisah
heroik prajurit. Suparlan adalah kehormatan sebagai prajurit, negara,
laki-laki perkasa dengan harga diri tinggi.
Kisah ia
dihujani banyak peluru oleh musuhnya, berlari menyambut lawan dengan
berani, akan selalu digunakan Kopassus untuk menyemangati pasukan muda.
Suparlan banyak dirindukan rekan-rekannya yang masih hidup, ketika
mengingat jatuh bangun berupaya menghindar peluru sambil terus menembak
mendekati musuh. Tak terhitung berapa banyak peluru yang bersarang di
tubuhnya, tetapi ia tetap buas menembak lawan dengan senjata milik
rekannya yang sudah roboh.
Kehabisan Amunisi
Konon,
Suparlan roboh bukan karena terkena timah panas. Saat semua amunisi
senjatanya habis, Suparlan beradu fisik dengan anggota Fretelin
menggunakan pisau. Enam anggota Fretelin tewas dengan pisaunya itu.
Jelang
akhir hayatnya, ia masih sempat meledakan granat yang ada di sakunya,
saat puluhan anggota Fretelin berkumpul mengelilinginya. Setidaknya,
nyawa tujuh anggota TNI pimpinan Suparlan dibalas dengan 83 anggota
pasukan Fretelin. Namun, dari pengakuan sejumlah anggota Fretelin yang
ditangkap pasukan TNI di kemudian hari, dalam perang seharian itu,
Suparlan hanya berperang seorang diri. Enam anggota TNI lainnya lebih
dahulu tewas di tangan Fretelin.
Tak banyak yang
mengenal Suparlan, pahlawan yang raganya masih tertambat di Timor Timur,
negara pecahan Indonesia. Tidak banyak orang peduli akan dirinya.
Hanya
keluarga dan Kopassus yang mengenangnya. Sedikit penghargaan untuk
pemuda itu, tetapi amat dirindukan Kopassus akan sosoknya yang berani
bertarung seorang diri. Namun, batu nisan pahlawan Kopassus itu tak bisa
dipulangkan ke tanah leluhurnya karena kesulitan ekonomi keluarganya.(sinarharapan)