Jakarta :
Suasana Selasa pagi itu agak tegang. Delegasi Indonesia dan China,
masih belum sepakat tentang beberapa poin dalam kerja sama industri
pertahanan.
Padahal, agenda pagi itu adalah penandatanganan kesepakatan kedua pihak
untuk memantapkan kerja sama industri pertahanan kedua negara, termasuk
percepatan alih teknologi peluru kendali C-705.
Rudal C-705 kali pertama diperkenalkan ke publik pada ajang Zhuhai
Airshow ke-7 tahun 2008. Misil itu merupakan pengembangan dari C-704,
dan bentuknya lebih menyerupai miniatur C-602.
Dibanding generasi sebelumnya, C-705 hadir dengan beberapa peningkatan,
seperti pada elemen mesin, hulu ledak, dan sistem pemandu.
Dengan desain modular dari mesin baru, membuat jangkauan rudal yang sebelumnya 75-80 km, menjadi mampu hingga 170 kilometer.
Karena kelebihan yang dimiliki rudal berhulu ledak 110 kilogram itu,
maka Kementerian Pertahanan RI dan China Precision Machinery
Import-Export Corporation (CPMEIC) sepakat untuk pembelian rudal
tersebut, disertai alih teknologi.
Tak hanya itu, kedua pihak juga sepakat untuk mendirikan pabrik pembuatan pabrik C-705 di Indonesia.
Namun, hingga kini proses alih teknologi masih belum berjalan apalagi pendirian pabriknya di Indonesia.
Padahal, keberadaan rudal yang dipasang di kapal-kapal patroli
TNI-Angkatan Laut tersebut sangat strategis bagi Indonesia, mengingat
wilayah perairan Indonesia yang sangat luas dan berbatasan dengan
sepuluh negara tetangga.
Tidak Gratis
Dirjen Potensi Pertahanan Kementerian Pertahanan Pos Hutabarat pada
pertemuan kedua kerja sama industri pertahanan Indonesia-China (DICM)
beberapa waktu lalu mengatakan, "kedua pihak masih belum sepakat soal
kapan akan diberikan dan juga fee-nya,".
Indonesia dan China memiliki landasan hukum berbeda terkait alih teknologi.
Dirjen Pos mengatakan Indonesia memiliki landasan UU Nomor 16/2012
Tentang Industri Pertahanan yang menetapkan antara lain tentang alih
teknologi,
trade off atau pembelian lisensi dalam setiap pembelian alat utama sistem senjata berteknologi madya dan tinggi.
"Sedangkan China berpatokan pada undang-undang hak kekayaan intelektual,
dimana ada fee khusus yang harus kita berikan terkait hal itu. Ini yang
kedua pihak belum sepakat persepsinya terkait alih teknologi," kata
Hutabarat.
Ia menambahkan proses pembuatan bersama peluru kendali C-705 dilakukan dalam empat tahap.
"Kami belum sepakat pada tahap mana alih teknologi akan diberikan.
Namun, dalam pertemuan tadi kedua pihak sepakat agar proses alih
teknologi dapat segera dilakukan," ungkap Pos Hutabarat.
Dalam setiap kerja sama terutama investasi di sektor industri alih
teknologi menjadi prasyarat utama termasuk yang diajukan Indonesia
kepada negara mitranya.
Namun, alih teknologi juga bukan berarti otomatis melekat pada setiap
proses pembelian atau pengadaan, ada biaya yang harus dikeluarkan khusus
untuk itu.
"Indonesia dan China masih belum sepakat soal harga, terkait industri
pertahanan terutama dalam hal alih teknologi," kata Wakil Komandan
Universitas Pertahanan Nasional China Brigjen Xu Hui.
Ia menilai kerja sama pertahanan Indonesia dan China yang dimulai sejak
2007, telah berjalan baik dan terus mengalami perluasan kerja sama mulai
dari saling kunjung pejabat militer kedua negara, pertukaran perwira
sekolah staf dan komando, latihan bersama, hingga kerja sama industri
pertahanan.
"Namun kerja sama pertahanan industri pertahanan kedua negara masih
perlu dikaji lebih dalam lagi termasuk dalam hal alih teknologi, karena
hal itu juga menyangkut biaya tersendiri, yang tidak kecil," tuturnya.
Cermat dan Mandiri
Syarat yang diajukan Indonesia terkait alih teknologi kepada negara
mitranya, difokuskan agar kedepan Indonesia bisa lebih mandiri dalam
pengadaan alat pertahanannya.
Indonesia tidak ingin hanya menjadi negara yang mengikuti perkembangan
teknologi pertahanan negara asing yang menyuplai produknya ke Tanah Air.
Namun, komitmen untuk dapat mandiri dalam industri pertahanan tidak bisa
hanya sekadar keinginan atau komitmen politik sesaat saja.
Diperlukan komitmen kuat, kerja keras, konsistensi, empati, dan kecerdasan semua pihak.
Meski bahan baku rudal tidak banyak dimiliki Indonesia, bukan berarti Indonesia tak mampu membuatnya.
Pada medio Desember 2013 misalnya, Direktorat Teknologi dan Industri
Kementerian Pertahanan berhasil meluncurkan enam roket yakni dua unit
RX-, empat unit 1.210 mm dan 1.220 mm R-han di Maluku Utara.
Seluruh roket yang diluncurkan itu memiliki fungsi arteleri TNI Angkatan Darat serta TNI Angkatan Laut.
Bahkan Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) sedang
menyiapkan pengembangan peralatan produksi Propelan, sebagai bahan baku
roket.
Lapan menargetkan pada 2015 sudah mampu mengembangkan fasilitas produksi
dan uji teknologi roket, di antaranya peralatan produksi Propelan
berdiameter besar,
filament winding dan
autoclve, dan
laboraturium combustion.
Pada 2010, Lapan membuat RX 1210, RX 3227, dan RX 420. Tahun berikutnya
ada Rhan 122 A berdaya jangkau 15 km, RX 2020 dan RX 550. Pada tahun
lalu RX 1220, sementara pada 2013 dikembangkan Rhan 122 B berdaya
jangkau 25 km, Rhan 200 untuk 35 km, RX 3240, RX 450, dan RX 550.
Pada 2014, Lapan menargetkan pengembangan Rhan 320 untuk 70 km dan roket
pertahanan 3 digit untuk daya jangkau 100 km dan 200 km. Pada 2015
hingga 2016 Lapan menargetkan mampu melakukan uji terbang RX 550.
Potensi kemandirian Indonesia telah ditunjukkan, meski keterbatasan
bahan baku rudal dan penguasaan teknologi produksi masih harus
didatangkan dari luar, serta perlu pula alih teknologi dalam penguasaan
teknologi produksi.
Untuk urusan alih teknologi Indonesia harus benar-benar cermat, agar
teknologi yang ditransfer dalam setiap kerja sama sektor industri
termasuk pertahanan, sesuai dengan perkembangan zaman.
Jika teknologi yang ditransfer ketinggalan zaman, maka Indonesia akan
terus ketinggalan dan tetap menjadi pengekor negara-negara penyuplai
produk. Dengan kata lain, Indonesia tetap tidak bisa mandiri.
Sekali lagi, kecermatan dalam setiap alih teknologi yang diberikan sangat penting jika Indonesia komitmen untuk mandiri.
Antara