Kapal Perang Republik Indonesia (KRI) Hasanuddin 366 yang tergabung
dalam Satgas Maritim Konga XXVII-D/UNIFIL berangkat menuju Lebanon di
Kolinlamil, Tanjung Priok, Jakarta Utara, Rabu (16/5). KRI Hasanuddin
akan bertugas selama 6 bulan menggantikan KRI Sultan Iskandar Muda 367
yang telah selesai melaksanakan tugas misi perdamaian PBB di Lebanon.
(Foto: ANTARA/Zabur Karuru/Spt/12)
5 Juni 2012, Jakarta: TNI Angkatan Laut kewalahan mengatasi pencurian
ikan yang melibatkan kapal berbendera asing. Selain karena minimnya
armada patroli, hal itu juga karena maraknya penyalahgunaan izin untuk
kapal asing. Apalagi, tingkat kesiapan operasional tidak selalu 100
persen.
Kepala Dinas Penerangan TNI AL Laksamana Pertama Untung Suropati di
Jembrana, Bali, Senin (4/6/2012), menerangkan, saat ini baru ada sekitar
150 kapal perang TNI AL untuk mengamankan wilayah perairan Nusantara.
”Kita kekurangan sarana kapal untuk mengamankan wilayah seluas 5,9 juta
kilometer persegi,” kata Untung.
Menurut Untung, jumlah tersebut juga jauh dari memadai. Apalagi, tingkat
kesiapan operasional tidak semuanya dalam kondisi 100 persen. ”Adanya
perhatian soal pencurian ikan merupakan kritik membangun terhadap
pengambil kebijakan, terutama menyangkut alat utama sistem persenjataan
TNI AL,” ujar Untung.
Komandan Gugus Keamanan Laut Komando Armada RI Kawasan Barat Laksamana
Pertama Pranyoto mencontohkan, kapal patroli TNI AL butuh minimal 5 ton
solar untuk patroli sehari. Laut Natuna yang berhadapan langsung dengan
Laut China Selatan hanya dijaga rutin empat kapal. Akibatnya, terus
terjadi pencurian ikan di area lebih dari 250.000 kilometer persegi itu.
”Kami harus memastikan benar setiap informasi sebelum mengerahkan KRI.
Kalau ternyata tidak benar, hanya menghabiskan BBM yang terbatas,” ujar
Pranyoto.
Keterbatasan armada juga dialami aparat di Aceh. Dengan luas perairan
mencapai 295.370 kilometer persegi dan panjang garis pantai 1.660
kilometer (terpanjang di Sumatera), kepolisian di Aceh hanya dilengkapi
satu kapal yang hanya mampu berlayar hingga 12 mil laut (sekitar 21,6
kilometer).
”Padahal, kapal-kapal Thailand yang mencuri ikan di perairan Aceh
umumnya berada di 12 mil laut ke atas. Kapal tak mampu mengejarnya,”
kata Kepala Bagian Bina Operasi Direktorat Airud Polda Aceh Ajun
Komisaris Besar Nawan.
Menurut Nawan, dibutuhkan tiga kapal besar untuk patroli perairan di
Aceh yang berada di pertemuan Samudra Hindia, Laut Andaman, dan Selat
Malaka.
Abdus Syukur dari Dinas Kelautan dan Perikanan Aceh mengatakan,
pencurian ikan di wilayah perairan Aceh biasanya dilakukan pada waktu
malam hari dengan radius 12 mil laut dari pantai Aceh.
Pencurian ikan oleh kapal asing di Aceh dalam semalam mencapai 10.000 ton. Artinya, dalam setahun setara 4 juta ton.
Penyalahgunaan Izin
Mantan Direktur Jenderal Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan,
Kementerian Kelautan dan Perikanan, Aji Sularso mengungkapkan, pemilik
kapal ikan asing kerap menggunakan jasa pengusaha kapal ikan Indonesia
sebagai perantara untuk memfasilitasi ”izin” kapal berbendera ganda.
Modusnya, kapal berbendera asing tersebut diubah menjadi kapal
berbendera Indonesia agar bisa leluasa beroperasi mencuri ikan di
perairan Indonesia. ”Pemilik kapal asing bekerja sama dengan pengusaha
kapal ikan di Indonesia mengubah status kapal asing menjadi kapal eks
asing berbendera Indonesia. Namun, pengalihan kapal asing menjadi kapal
Indonesia itu hanya formalitas belaka,” ujar Aji.
Aji menambahkan, melalui jasa pengusaha perikanan, kapal asing itu
memperoleh izin usaha perikanan, surat izin penangkapan ikan, dan surat
izin kapal pengangkut ikan. Diperkirakan, jumlah kapal asing yang
melakukan penyimpangan itu mencapai 700 kapal.
Aji menegaskan, kapal asing berbendera ganda itu menggunakan bendera
Indonesia sewaktu menangkap ikan di perairan Indonesia. Namun, ikan
hasil tangkapan tidak pernah didaratkan di pelabuhan dan unit pengolahan
ikan di Indonesia, tetapi langsung diangkut ke negara asal kapal.
”Indikasi kapal eks asing tetap dimiliki oleh pengusaha asing sangat
jelas terlihat, yakni anak buah kapal hampir semuanya warga negara
asing,” ujar Aji.
Biaya pengurusan dokumen dan penggantian status kepemilikan kapal
ditanggung pemilik kapal asing. Untuk kelancaran pengurusan dokumen,
pengusaha ikan asing juga membayar tarif bulanan kepada pengusaha yang
menjadi perantara ”perizinan” ke aparat dan pejabat.
Berdasarkan informasi yang dihimpun Kompas, tarif yang dibayar kepada
pengusaha perantara bervariasi, antara 5.000 dollar AS dan 10.000 dollar
AS per kapal setiap bulan. Biaya itu mencakup pengamanan kapal dari
pemeriksaan aparat dan petugas patroli.
Dengan tarif sewa sebesar itu, kapal ikan asing bisa mengeruk ikan di
perairan Indonesia dengan nilai mencapai triliunan rupiah.
Untuk wilayah penangkapan ikan di Laut China Selatan, tarif sewa bulanan
oleh kapal asing kepada pengusaha perantara 5.000 dollar AS per kapal
dan Laut Sulawesi bagian utara 7.000 dollar AS per kapal. Sementara Laut
Arafura sebesar 10.000 dollar AS per kapal.
Tarif sewa kapal asing untuk beroperasi di Indonesia cenderung lebih
murah untuk wilayah Laut China Selatan karena kapal asing yang
beroperasi di kawasan itu rata-rata berukuran kecil, yakni berbobot mati
60-90 ton. Sementara kapal asing yang beroperasi di Laut Arafura
berbobot mati di atas 200 ton.
Menurut Aji, praktik pencurian ikan yang tak dilaporkan membuat industri
perikanan nasional terus terpuruk. ”Pencurian ikan membuat industri
perikanan Indonesia sulit bersaing karena kekurangan bahan baku. Yang
diuntungkan hanya broker,” ujarnya.
Ketua Umum Gabungan Asosiasi Pengusaha Perikanan Indonesia Herwindo
menilai, upaya pengawasan untuk menekan pencurian ikan dengan patroli
pengawasan selama ini tidak efektif. Pemerintah perlu melakukan
pendekatan ekonomi, yakni memperkuat kapal perikanan di perairan
perbatasan.
”Penguatan kapal ikan domestik di perairan perbatasan akan mendorong
kapal asing tidak berani beroperasi di perairan perbatasan dan zona
ekonomi eksklusif Indonesia,” ujarnya.
Mematikan Peluang
Guru Besar Perikanan dan Kelautan Institut Pertanian Bogor Rokhmin
Dahuri, di Jakarta, menduga aktivitas pencurian dilakukan oknum
pengusaha dan penguasa. Selain merugikan negara, pencurian ikan oleh
nelayan asing berarti juga mematikan peluang nelayan Indonesia untuk
mendapatkan satu juta ton ikan per tahun.
Hal itu juga mengurangi pasokan ikan segar bagi industri pengolahan
hasil perikanan nasional serta berbagai industri dan jasa yang terkait.
Mengutip data Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO), Rokhmin
menyebutkan, penangkapan ikan oleh nelayan asing di wilayah RI mencapai 1
juta ton per tahun dengan jumlah kapal 3.000.
Sumber:
the Globe Journal