Asad Said Ali.
Beberapa
waktu lalu sempat mencuat kembali konflik soal Laut China Selatan.
Indonesia merupakan salah satu negara yang terancam dirugikan karena
aksi China menggambar garis putus-putus sembilan titik wilayah baru di
Kepulauan Natuna, Provinsi Kepulauan Riau.
Jika dilihat sekilas,
perairan kaya gas itu terkesan masuk wilayah kedaulatan China. Menurut
Kementerian Luar Negeri, klaim China melanggar Zona Ekonomi Eksklusif
milik RI. Klaim China itu juga mengundang reaksi keras dari Presiden
Joko Widodo.
Andai
benar China mencaplok Natuna, apa yang akan terjadi? Berikut ini
pendapat Mantan Wakil Kepala BIN Asad Said Ali dalam kesempatan
wawancara khusus dengan Arbi Sumandoyo dari merdeka.com, Kamis (03/04).
Soal campur tangan asing, negara mana yang perlu diwaspadai oleh Pemerintah Indonesia?Jadi
sekarang ini, aktor politik bukannya negara. Sekarang misalnya Amerika,
kalau Indonesia bersatu, makmur, kan dia untung. Australia sama saja
begitu. Cuma persoalannya kadang-kadang konflik antar perusahaan, ada
persaingan, nah di situ. Itu kadang-kadang menjadi persoalan sendiri,
misalnya tambang emas di Banyuwangi, itu sebenarnya konflik antar
negara. Akhirnya enggak jadi dan akhirnya yang muncul perusahaan
nasional dan dua kekuatan yang berantem. Seperti itu.
Misalnya
perusahaan A dengan B, perusahaan B mendorong untuk mendemo perusahaan
A. Taruh lah Newmont, yang nyuruh lawannya Newmont. Yang nyuruh, yang
mana saya tidak mengerti. Kira-kira begitu. Jadi itu namanya perang
asimetris, yang perang bukannya negara, tapi kalau negaranya sudah jelas
kok, Amerika enggak bisa. Kecuali kepentingan mereka terganggu,
kepentingan kita terganggu.
Menurut saya kalau mereka (Amerika)
bikin isu di luar itu, itu untuk bargaining dia. Kepentingan dia
semaksimal mungkin dipenuhi dong, tapi kalau memecah benar, ngitungnya
luar biasa. Ngitungnya berkali-kali. Untung enggak kalau memecah papua
dengan pasar kita yang 250 juta jiwa. Mana yang lebih untung. Kita juga
dengan jumlah penduduk banyak. Pasar dunia di sinikan. Amerika punya,
Australia punya, jadi enggak bisa. Saya tidak pernah takut itu, yang
saya takutkan itu tadi aktor-aktor non-goverment itu tadi.
Artinya negara asing sangat sulit intervensi Indonesia?Ngitungnya
panjang dia. Yang paling banyak itu, untuk kepentingan masing-masing.
Kepentingan politik berkuasa, isunya ini. Kepentingan politik, partainya
ini berkuasa, isunya ini. Misalnya pembunuhan orang Papua oleh TNI,
langsung satu negara Australia dan Amerika langsung statement
dulu-duluan, itu kan supaya pembunuhan ini tidak dilakukan oleh oposisi
di sana. Itu sebenarnya yang terjadi. Nah kalau dari segi itu, saya
tidak yakin mereka ingin memecah. Timor-timur kasusnya lain, itu
kesepakatan mereka kampanye harus besar gitu lho. Karena kita jangan
agresi, kira-kira begitu lah.
Ada yang mengatakan itu juga karena kepentingan minyak di Timor-timur?Ya
sekarang kan Xanana lebih senang ke Indonesia kan, jadi bukan karena
minyak itu sebenarnya. Ada kepentingan lain lebih besar, tidak boleh
agresi. Seperti kita dulu sama Malaysia lah, diingetin kamu tidak boleh
agresi lagi. Itu kan berbahaya, kalau kita lebih besar dan kuat mereka
tidak ingin kalau kita kuat bisa terjadi agresi lagi.
Mereka
menjadikan kekuatan kita sebagai financing, padahal saya pikir ya
siapapun Indonesia tidak mau menjadi agresor karena dalam sejarahnya
tidak pernah. Timor-timur memang provokasi asing waktu kita masuk itu,
kondisinya kosong kekuasaan. Ada provokasi. Kalau tahap-tahap terakhir,
waktu itu belum ada rencana Indonesia menyerbu sana. Hanya pilihan sulit
terpaksa itu, karena tidak ada dan yang muncul komunis, di belahan sana
ada Angola. Sejak muncul itu kan menjadi kekhawatiran, jadi bukan
sesuatu yang by design. Menurut saya gitu.
Jadi pola-pola konflik di Indonesia berubah, bukan ditunggangi negara asing tapi justru kepentingan perusahaan asing?Iya
lah. Dengan perusahaan melakukan kepentingan kelompok di luar itu tadi.
Kan ada politik juga kan. Untuk masalah dalam negeri. Kadang-kadang
juga untuk kepentingan pemberitaan, misalnya soal HAM. Suatu saat di
bawah tahun 2010, tiba-tiba menjelang 17 Agustus ada pos TNI di
perbatasan Papua diserang. Diserang dengan senjata panah kan mati, ya
kan? Hanya didorong supaya diprovokasi, kelompok OPM katakan lah,
bersenjata itu menyerang pos TNI. Hanya supaya ada
berita. Pegiat HAM di sana dapat dana. Kuitansinya saya ada, siapa yang mesan saya tahu.
Kalau melihat pola seperti itu bukan kah ingin memecah belah Indonesia?Ya
otomatis terganggu lah. Intinya kita (Indonesia) enggak boleh cepat
kaya, cepat hebat, gitu aja lah. Kalau mau memecah belah negeri ini, ada
250 juta penduduknya, bukan main-main. Dulu kan rumornya menjelang
reformasi Indonesia akan dipecah menjadi 12 kan, tapi mana, enggak ada.
Indonesia enggak bisa dipecah. Wong kita kesadaran sebagai bangsa ada
sebelum Indonesia merdeka.
Dari konsep politiknya saja baru lahir menjelang kemerdekaan.
Kesadaran sebagai bangsa sudah ada. Karena apa? Waktu zaman portugis
dulu, itu dari Makassar, Aceh membantu ikut menyerang, walaupun tidak
satu kerajaan. Jadi kesadaran sebagai bangsa sudah ada dari dulu. Tapi
konsep politiknya lahir setelah gerakan kebangsaan.
Anda masih melihat Indonesia jadi primadona bagi bangsa asing?Woo..,jelas
lah. Kekayaannya luar biasa, marketnya luar biasa dan Indonesia kan
luar biasa. Kekayaan Indonesia luar biasa, emas, tambang-tambang nikel,
di luar masih banyak kan yang belum di eksplorasi. Bulan Januari kemarin
saya lihat turis yang paling banyak datang ke sini dari China daratan.
Itu kan artinya kita menjadi kekuatan ekonomi, setelah itu menjadi
kemakmuran. Salah satu pusat kemakmuran dunia. Semakin makmur kita,
banyak yang datang.
Saya positive thinking ya di situ. Bahwa
Indonesia makmur lebih dihargai daripada tidak makmur. Contoh begini,
Amerika berkepentingan juga. Coba lihat, dia kan musuhnya China, artinya
dia ingin kita mampu, katakanlah dijadikan temen agar bisa bersaing
dengan China. Dia ingin kita kuat. Di samping ingin dapat pasaran dari
produk mereka. Kita kan besar. Maupun impor dari kita juga besar juga.
Tapi
jangan sampai Indonesia itu berpihak kepada Amerika full. Makanya
pembicaraan kita kan bagus, ya ke RRC, ke Jepang, ke Amerika. Jadi kita
mengikuti konsep dahulu, non blok. Makanya ini kan Pak
Jokowi
sekarang mengadakan peringatan Konferensi Asia Afrika, ingin
menunjukkan jika kita tidak berihak, tetapi berpartisipasi untuk dunia
yang positif, lebih aktif, begitu ya. Intinya kita bersahabat dengan
siapapun dan yang kedua Indonesia seperti dulu mampu ikut berperan dalam
membangun perdamaian terutama di kawasan Asia-Afrika ini.
Kemarin China mengklaim Natuna masuk wilayahnya?Dari dulu, itu garis patah-patah. Garis patah-patah kan bukan garis lurus, tapi kan tidak sampai Pulau Natuna. Itu kan sejarah.
Tapi pernyataan Presiden Jokowi keras terhadap China?Itu
klaim politiknya tidak ada, beda dengan Vietnam dan Taiwan. Pak Jokowi
ingin dapat jaminan bahwa Natuna tidak masuk peta mereka. Dan oleh China
tentunya akan diambangkan. Tapi menurut saya potensi untuk itu tidak
akan terjadi karena kalau sampai dimasukkan dalam Peta, China akan
menghadapi seluruh negara anggota ASEAN. Ya kepentingan strategis kan
akan memecah ASEAN. Dia dengan Filipina, dengan Vietnam, Malaysia,
Brunei tapi dengan kita tidak. Itu kepentingan kita saya kira bagaimana
laut China selatan yang stabil supaya lalu lintas dunia ini berjalan dan
di sana ada Amerika, dunia menjaga itu semua.
Isu tersebut
mulai hangat tahun 1970-an, pas berakhirnya perang Vietnam. Isu sempat
tenggelam ketika muncul Al-Qaeda. Ketika Al-Qaeda meredup, isu Laut
China menguat lagi. Akhirnya muncul lagi isu seperti itu. Jadi saya
pikir, Indonesia diharapkan sebagai kekuatan balancing power. Kita bisa
menjembatani China sama Amerika. Jepang dianggapnya musuh China kan,
Indonesia berperan. Kamu lihat orang Korea Selatan berapa perusahaannya
di sini. Dia menganggap orang Indonesia sebagai mitra.
Jepang
juga tidak akan berani. Indonesia tidak akan remuk, apalagi Malaysia
ingin kita kuat. Ingin kita menjadi partner yang baik. Enggak akan
berani dia.
Artinya ini ada yang ingin membenturkan Indonesia dengan China?Ya jelas. Orang yang tidak setuju dengan China pasti begitu. Kalau saya melihat kepentingan kita dengan China itu besar.
Ini
soal krisis dunia, misalnya masalah konflik Crimea, Yaman, Suriah dan
lainnya, posisi Indonesia seperti apa. Sebab kelihatannya poros kekuatan
dua kutub sudah muncul, Russia dan Amerika?Inikan
setelah Uni Soviet jatuh menjadi 15 negara. Amerika dan Barat kemudian
berusaha menarik Ukraina. Itu kan negeri terbesar kedua setelah Rusia
tapi berbatasan langsung. Mereka bisa menarik itu ke dalam NATO, tapi
Rusia tidak mau begitu, terutama Crimea. Crimea itu kan pulau hangat,
mau diambil, Rusia lalu mempertahankan itu dong.
Menurut saya Barat memang terlalu serakah ingin menghancurkan Rusia
seperti itu. Ya kalau saya jadi Putin sikap saya sama seperti itu lah.
Kan gitu, meskipun kita tidak mendukung separatisme tapi secara strategi
itu siapapun yang jadi presidennya akan seperti itu. Karena dia kuat
secara persenjataan dan mereka tidak bisa diabaikan.
Ini juga
ada kaitannya dengan apa sih Amerika maunya? Irak dihancurkan, Taliban
dihancurkan. Sekarang Amerika juga bingung ketika Sadam dihancurkan
karena Irak menjadi tidak keruan, bisa menjadi pusat teroris di dunia.
Jadi saya pikir, bagaimana tidak muncul trouble area baru di berbagai
belahan dunia ini.
Yang diperebutkan apa sih sebenarnya? Cuma minyak. Energi di samping
mineral di Asia tengah. Ingin menguasai itu. Saya waktu ke Afghanistan
ketemu para perunding, Amerika minta sekian pangkalan. Inggris meminta
sekian pangkalan. Tujuannya untuk itu. Jadi konflik di Irak, Afghanistan
ujung-ujungnya adalah menguasai minyak. Kalau negeri kita enggak kuat
bisa seperti itu.
Lalu posisi Indonesia seharusnya memihak mana?Kita
jadi stabilising power. Misalnya konflik Timur Tengah, kemudian konflik
Yaman. Di Yaman ini kan Iran. Iran, Rusia memang berkepentingan, ramai.
Karena Amerika inginnya Syria jatuh kan. Yaitu namanya permainan juga.
Bagian dari itu tidak bisa terlepas semua. Kita bagaimana? Kita fokusnya
kan di sini dari dulu. Inikan sudah ditandai dari dulu, ada pasukan
kita di Afrika, kita menjadi peace making dari itu. Peranannya ke depan
kalau kita bisa membantu masalah Timur Tengah kan bagus. Kita
penengahnya.
Persoalannya kan tinggal kapan. Kalau negeri kita
tenang, kita bisa memainkan banyak hal dan diminta berperan. Contohnya
begini, kami yang NU, sekarang saja sudah ada NU di Afghanistan. Dia
ingin mencontoh peran ulama di sini bisa menyelesaikan masalah di
Afghanistan. Kalau ormas saja diminta peranannya berarti kan negara juga
dibutuhkan. Suatu saat Indonesia akan bisa memainkan peranan.
Dimana posisi kita sebagai stabilising faktor dan sebagai balancing faktor. Lincah kesana, kemari tidak memihak.
Menurut Anda saat ini Indonesia dalam posisi kuat?Saya
kira kuat. Kuat secara politik. Secara ekonomi kan kita dibutuhkan,
persoalannya kan posisi kita yang kuat ini bagaimana menjadi bermanfaat
untuk rakyat kecil. Kita kan kelemahannya kesenjangan ekonomi. Dulu
zaman Pak Harto, Ekspor 1 tahun Rp 5 miliar dolar. Sekarang sudah
berapa, sebulan 15 miliar dolar. Itu suatu kekuatan dan tergantung nanti
asal kita masih mempertahankan jati diri bangsa seperti musyawarah,
gotong royong, punya kepribadian.
Hal itu merupakan topik-topik
yang dibutuhkan kita untuk melepaskan diri dari bayang-bayang pengaruh
negara-negara besar. Sebaiknya kita muncul sebagai kekuatan mandiri.
Berdaulat di bidang politik, kemudian ekonomi dan berkepribadian dalam
bidang kebudayaan.
Misalkan benar terjadi perang dan Indonesia terseret, bagaimana kesiapan kekuatan TNI?Kalau
kita sih tidak ingin menjadi progresif. Orang boleh nyerang kita, tapi
bisa nyerang enggak bisa kembali, kan gitu. Berapa ribu pasukan buat
menguasai Indonesia, kita sepuluh kan bisa mengatasi. Kamu misalnya ke
Kalimantan, diterjunkan 100 batalyon pun musuh tidak akan mampu. Bisa
masuk tidak bisa keluar. Jadi konsep perang itu, konsep perang dalam
artian kaya dulu lagi perang yang simetris sudah tidak ada, tapi yang
asimetris tadi, gangguan itu lho.
Kalau kamu bicara Papua,
tempat lain yang rawan itu asimetris dengan perang melalui media. Perang
melalui NGO, perang melalui opini dan diplomasi statement. Perangnya ya
begitu itu. Makanya NGO-NGO ini jangan sampai ada di Indonesia menjadi
kaki tangan asing. Tidak sadar mereka ada. (Merdeka)