Kapal
Sierra Madre yang dikaramkan di Karang Seond Thomas oleh Pemerintah
Filipina tahun 1990-an – satu detasemen marinir filipina di tempatkan
pada badan kapal berkarat ini (Tomas Etzler / CNN)
Saat pertama kali melihat, kapal itu tampak seperti kapal hantu yang
berlabuh di tengah laut, berkarat dan dipenuhi tikus. Kapal perang eks
Angkatan Laut AS itu, benar-benar di garis depan dari ketegangan antara
Filipina dan China yang terus meningkat di Laut China Selatan.
Kapal itu sengaja dikaramkan Filipina pada karang kecil di Laut China
Selatan, bagian dari gugusan pulau yang diklaim oleh kedua negara.
Kapal Sierra Madre sepertinya bukan tempat untuk detasemen marinir
Filipina yang berjaga-jaga di sekitar atol, menjaga perairan yang biru
dari kapal China.
Untuk mencapai “landmark” yang tidak biasa itu (Siera Madre), yang
terletak 194 kilometer dari provinsi Palawan di Filipina barat, tetaplah
pengalaman yang membuat saraf sangat tegang.
Kami menghampiri karang kecil itu menggunakan perahu kayu tua milik
nelayan dengan kecepatan tinggi -11 knot per jam. Dari utara, sebuah
kapal penjaga pantai modern China, berlayar mendekat dengan kecepatan
setidaknya dua kali lebih cepat, dengan tujuan menghalangi jalan kami.
Sebuah kapal China yang kedua dengan cepat mendekat dari selatan dengan
maksud yang sama.
Tapi mereka tidak berhasil menghalangi kami. Setelah beberapa menit
yang penuh ketegangan, kami memasuki kawasan karang yang terlalu dangkal
untuk kapal China yang besar. Beberapa nelayan di perahu kami berdoa
lega – tidak selalu terjadi seperti ini.
Mungkin bisa dikatakan, tidak banyak orang tahu tentang Second Thomas
Shoal, yang dikenal sebagai Ayungin di Filipina dan Ren’ai Jiao di
China. Karang berbentuk air mati ini adalah bagian dari Kepulauan
Spratly, kepulauan yang sebagian besar tidak berpenghuni, di
tengah-tengah antara Filipina dan Vietnam, yang diklaim sepenuhnya oleh
China dan diklaim sebagiannya oleh Filipina, Brunei, Malaysia, Taiwan
dan Vietnam.
Masalah semakin rumit, setelah konflik ini menarik keterlibatan
Amerika Serikat, yang memiliki perjanjian pertahanan bersama dengan
Filipina. Hal ini juga mendorong hubungan keamanan yang lebih erat
antara Filipina dan Jepang, yang Jepang sendiri berselisih dengan China
atas pulau-pulau di Laut China Timur.
Sengketa di sini, terfokus pada kepemilikan batu karang kecil yang
tak berpenghuni. Namun dampak dari perselisihan teritorial ini memiliki
potensi untuk mempengaruhi keseimbangan kekuatan di seluruh wilayah.
Nilai dari wilayah ini benar-benar terletak di bawah dasar laut berupa
kantong gas alam dan minyak – seperti yang kita lihat baru-baru ini
dengan penyebaran rig eksplorasi minyak oleh China di Kepulauan Paracel
-wilayah lain yang disengketakan di Laut China Selatan.
Awal perjalanan yang sulit
Untuk bisa pergi ke Karang Second Thomas membutuhkan negosiasi berbulan
bulan dengan pemerintah Filipina -karena kekhawatiran logistik dan
keamanan -dan dibutuhkan tujuh hari perjalanan dengan perahu.
Saya mulai pengembaraan pada bulan April tahun 2014 di Puerto
Princesa, ibukota provinsi Palawan. Saya bepergian dengan Eugenio
Bito-Onon Jr, walikota Kalayaan, Kota terkecil dan salah satu kota
termiskin di Filipina. Kota itu terdiri dari 10 pulau kecil dan terumbu
karang yang terletak di ujung utara Spratly.
Kami menuju Pag-asa terlebih dulu, satu-satunya pulau di daerah ini
yang memiliki penduduk sipil. Pulau itu pun hanya titik penghubung untuk
mencapai Kapal Sierra Madre. Biasanya kapal Bito-Onon yang berbasis di
Puerto Princesa, hanya melakukan perjalanan ke Pag-asa sekali setahun.
Kami berhenti di beberapa pulau kecil dalam perjalanan ini. Ada beberapa
rumah untuk unit kecil detasemen marinir Filipina -pertahanan terakhir
terhadap perambahan pihak asing.
The journey:: Wartawan Tomas Etzler membuat perjalanan panjang ke
Pag-asa di wilayah Kepulauan Spratly yang diklaim oleh Filipina dan
China.
Pada akhir hari ketiga perjalanan, kam tiba di Pag-asa, pulau
terbesar kedua di Spratly. Sebelumnya pulau ini murni sebuah pangkalan
militer. Pemerintah Filipina mendorong warga sipil untuk pindah ke sini
pada tahun 2002. Lebih dari 12 tahun kemudian, sekarang ada 120 orang
hidup berdampingan dengan unit kecil angkatan udara Filipina, angkatan
laut dan marinir yang masih ditempatkan di sini.
Jacqueline Morales, 28 tahun, pindah ke pulau ini dari Palawan
bersama suami dan dua anak mereka. Dia ingin melayani negaranya karena
mendengar Pulau Pag-asa sangat membutuhkan guru. Biaya hidup warga di
sini sebagian disubsidi oleh pemerintah pusat, namun dia mengakui
“faktor China” adalah yang menjadi kekhawatiran yang paling nyata.
“Saya menonton televisi. Kita tahu China tertarik pada pulau ini,”
katanya. “Kami mempersiapkan diri di sini, mengantisipasi jika China
menyerang kita. Sekolah ditugaskan sebagai pusat evakuasi. Saya gugup
karena hal itu mungkin terjadi. Apa akibatnya pada kami?”
Antisipasi blokade oleh China
Seperti yang kami rencanakan dari awal, bagian akhir dari perjalanan
kami -pergi ke Kapal Sierra Madre- ada kemungkinan harus menghadapi
kapal penjaga pantai China versus awak kapal nelayan tradisional yang
kami sewa untuk perjalanan. Kami telah diberitahu dari awal bahwa kapal
China akan menghentikan atau mencoba menghentikan kapal- kapal yang
mencoba memasuki shoal tempat Kapal Sierra Madre dikaramkan.
Kami sepakat strateginya adalah selama kapal China itu tidak hendak
menabrak kapal mereka –beberapa kali terjadi di wilayah sengketa
teritorial di wilayah ini –sang kapten kapal akan mencoba mengatasi
manuver kapal China demi mencapai tujuan
Kapal Sierra Madre dibangun oleh Amerika Serikat pada tahun 1944
untuk bertugas di Pasifik sebagai kapal transportasi selama Perang Dunia
II. Kapal itu berpindah tangan dua kali setelah perang.
Pertama dipindahkan ke Angkatan Laut Vietnam Selatan selama Perang
Vietnam, kemudian ke Filipina setelah jatuhnya Saigon, sekarang dikenal
sebagai Kota Ho Chi Minh. Pada tahun 1999, Filipina sengaja mengaramkan
Sierra Madre di Karang Second Thomas.
Menteri Pertahanan saat itu, Orlando Mercado Sanchez, mengambil
tindakan itu sebagai reaksi terhadap keputusan China pada tahun 1994
untuk mengambil kontrol dari Karang Mischief , yang 13 mil laut
sebelah barat laut dari Second Thomas Shoal.
“Kami dipaksa, dan kami tidak punya pilihan lain selain mencari
sarana yang kita dapat untuk mempertahankan kehadiran kami,” jelasnya.
“Dan selama pengamatan kami, kami memutuskan bahwa yang terbaik yang
bisa kami lakukan adalah menambatkan kapak ke shoal itu dan
mempertahankan pasukan kami di sana. Mereka telah di sana, selama ini.”
Manila mengklaim lokasi sengketa berada dalam zona ekonomi eksklusif 200-mil laut Filipiana.
China, mengacu wilayah Spratly sebagai Kepulauan Nansha, yang pertama
kali ditemukan dan dijalankan kedaulatannya atas pulau-pulau itu oleh
Kerajaan Tiongkok Kuno.
China bahkan menyatakan hak mereka atas pulau-pulau itu telah
dicurangi dunia internasional, seperti Potsdam Proklamasi, yang mengatur
wilayah Jepang pasca menyerah setelah menduduki sebagian besar wilayah
di laut China selama Perang Dunia II. Pulau-pulau itu adalah bagian dari
petak besar Laut China Selatan dan masuk ke dalam apa yang disebut
Beijing sebagai “garis sembilan putus-putus,” sebuah garis berbentuk
U yang menandai klaim wilayah China atas kedaulatan mereka.
Satu detasemen marinir Filipina ditempatkan pada kapal berkarat Sierra Madre, untuk mencegah perambahan China.
Sebagian besar kapal mendekati Second Thomas Shoal datang dari
Palawan, dari tenggara. Kami datang dari barat laut, dimana kapal
patroli China tidak akan mengantisipasi, ujar kapten kami beralasan.
Perahu kami mencoba menghindari mereka.
Dari kejauhan, Sierra Madre tampak seperti kapal besar lainnya. Hanya
ketika Anda lebih dekat Anda menyadari sesuatu yang tidak beres.
Badan kapal yang menjulang terbakar oleh matahari di atas perairan
yang biru berkilauan, layaknya bagian dari film untuk sekuel epik
postapocalyptic seperti “Mad Max” atau “Waterworld.” Menara jembatan
begitu berkarat dan seperti bisa runtuh setiap saat, sedangkan lambung
kapal, penuh bopeng dengan besar, lubang berkarat.
Seorang Marinir Filipina dengan tombak ikan darurat untuk makan malam berada di bayangan Sierra Madre.
Di sekitar perairan, aku melihat beberapa orang berenang dengan
snorkel saat kami mendekat. Mereka adalah beberapa dari marinir Filipina
yang sedang memancing dan ditempatkan di sini. Kedua kapal China yang
awalnya mengejar kami, sekarang memantau dari luar shoal, hanya beberapa
ratus meter jauhnya. Peristiwa ini seakan tidak nyata dan absurd.
Setelah mendaki di dek melalui tangga darurat yang mengkhawatirkan,
kami disambut oleh Sang Komandan Letnan Earl Pama, Komandan. Marinir
berusia 29 tahun ini telah berada di sini sejak 30 Maret. Seperti
pulau-pulau lain di daerah ini, marinir ini dirotasi datang dan pergi
setiap tiga bulan. Ini bukan penempatan yang mudah; Unit Marinir ini
berhasil ke kapal Sierra Madre pada usaha kedua. Percobaan pertama,
mereka diblokir oleh kapal penjaga pantai China.
Kapal China seperti hiu predator
Menjelang sore pada hari pertama kami di sana, tiga kapal China tiba di
sekitar Sierra Madre. Dan kini Sierra Madre dikelilingi oleh lima kapal,
yang perlahan-lahan mengitari kawasan seperti hiu pemangsa. Saat aku
mengintip melalui teropong, saya melihat beberapa pelaut China sedang
berada di pingggir kapal mengambil gambar menggunakan kamera lensa tele.
Seorang marinir mengamati mengamati perairan atol yang biru cerah dari dek Sierra Madre yang berkarat.
Saat matahari menghilang dari cakrawala dan cahaya memudar, saya
diperkenalkan ke penduduk: kecoak besar dan tikus. “Saya memperkirakan
ada 5-600 tikus dan jutaan kecoak,” ujar seorang marinir sambil tertawa.
Saya ditawari kabin -basah, ruang yang penuh nyamuk lengkap dengan
kasur kotor di tengah- tapi dengan kehadiran sebagai tamu, mendorong
saya untuk menggunakannya sebagai tempat menyimpanan peralatan saya
dan saya memilih untuk menghabiskan malam di atap perahu nelayan kami.
Marinir bertahan dalam kondisi sulit di sini.
Mereka menghadapi matahari yang tanpa ampun dengan suhu yang membakar.
Selama hujan atau angin topan, ruangan radio, adalah satu satunya kontak
mereka dengan atasan di Palawan, dan satu-satu ruangan di kapal yang
tidak bocor. Para prajurit terputus dari dunia luar, untuk sebagian
besar waktu mereka.
“Hidup kita di sini kadang-kadang sulit karena kita jauh dari
keluarga,” kata Hilbert Bigania, seorang sersan 30 tahun. “Kita tidak
bisa berkomunikasi dengan mereka, dan kita berada di tengah laut. Itulah
hidup kita sehari-hari di sini. Kita tidak bisa berbuat apa-apa.” Hal
ini menjadi perjuangan untuk bertahan hidup.
Marinir mengklaim bahwa pada tahun 2012, kapal-kapal China menjadi
lebih agresif dan mulai melecehkan kapal angkatan laut Filipina yang
membawa pasukan untuk rotasi dan logistik. “Apa yang mereka lakukan
adalah memblokir barang-barang yang akan disampaikan kapal kepada kami,
sehingga kami tidak memiliki makanan untuk dimakan dan kita tidak
memiliki persediaan, bahkan air,” kata Pama.
Khawatir terjadi konflik terbuka dengan China, angkatan laut Filipina
mulai menggunakan airdrops atau kapal nelayan sipil untuk membawa
persediaan. Pada hari kedua saya di Sierra Madre, dua pesawat kecil
angkatan laut menjatuhkan dua kotak persediaan. Satu mendarat di kapal,
yang kedua di dalam air. Pesawat-pesawat Filipina tampaknya dibayangi
oleh pesawat lain – pesawat mata-mata China, ujar marinir mengklaim.
Detasemen marinir menghabiskan tiga bulan ditempatkan di Sierra Madre, dengan kondisi yang sangat sulit.
Bungkusan yang dijatuhkan Berisi persediaan sembako, minuman ringan,
sandal jepit dan handuk. Tapi apa yang membuat Marinir bersorak adalah
surat dari anak mereka serta kotak makanan cepat saji yang diisi ayam
goreng, nasi dan kentang goreng. Itu adalah pesta langka, karena hanya
ada satu atau dua dropping seperti ini selama setiap penempatan pasukan
di sini.
Sebagian besar makanan mereka terdiri dari ikan yang mereka tangkap.
Menggunakan senjata tombak buatan atau batang kayu, mereka mencari ikan
dua kali sehari. Perairan di sekitar perahu memiliki kedalaman dangkal 5
kaki (1,5 meter) dan penuh dengan kehidupan laut. Para prajurit
bergerak di sekitar shoal (karang) dengan perahu karet buatan dan
menggunakan strip kayu dengan tali karet sebagai sirip untuk mendorong
diri mereka di sekitar air. Tangkapan tersebut kemudian dikeringkan dan
dipanggang di dek kapal.
Memancing juga membantu mereka untuk membunuh waktu; tidak banyak
yang bisa dilakukan di kapal. Bahkan berjalan di geladak juga berbahaya.
Kapal Sierra Madre sangat lapuk dan penuh dengan lubang. Ketika tidak
memancing, marinir memantau kapal China yang membayangi mereka,
membersihkan senjata, latihan Fisik menggunakan bagian logam dari kapal
sebagai beban atau bersantai di tempat tidur gantung, atau mendengarkan
musik pop Filipina.
Tapi sebagian besar waktu bagi mereka adalah permainan menunggu yang
tak berujung, bertanya-tanya akankah kapal saingan teritorial mereka
China, akan mengitari mereka dan melakukan pergerakan.
China tidak memiliki alasan untuk menyerang shoal/ karang. China
telah menjadi semakin tegas dalam klaim teritorial mereka di Laut China
Selatan dalam beberapa tahun terakhir, tetapi mereka tampaknya tidak
terburu-buru. Yang mereka butuhkan adalah kesabaran – itu hanya masalah
waktu sebelum kapal Sierra Madre rusak dan orang di dalamnya harus pergi
meninggalkan. Kapal-kapal China akan dapat bergerak ke shoal tanpa
harus mengeluarkan tembakan.
Awal tahun ini, Filipina mengajukan kasus ke PBB atas perilaku China
di Laut China Selatan, termasuk pengepungan Shoal Second Thomas. China
mengatakan tidak akan menerima arbitrase internasional, dan mengatakan
satu-satunya cara untuk menyelesaikan sengketa tersebut melalui
negosiasi bilateral.
“Terlepas dari bagaimana cara Filipina mengajukan paket gugatannya,
penyebab langsung dari sengketa antara China dan Filipina adalah
pendudukan ilegal Filipina di bagian pulau-pulau di Laut China Selatan,”
kata juru bicara Kementerian Luar Negeri China, Hong Lei dalam sebuah
pernyataan bulan Maret lalu.
Pejabat pemerintah Filipna yang sempat saya temui di Manila
mengatakan jika kasus itu dibahas di PBB, yang diharapkan awal tahun
depan, dan bertentangan dengan China, maka keputusannya tidak akan
banyak berubah. Tidak ada mekanisme untuk menegakkan putusan – China
punya hak Veto di PBB. Kebuntuan antara kedua negara kemungkinan akan
terus selama bertahun-tahun.
“Kami akan menyerahkan nyawa kita’
Selama malam kedua dan pagi terakhir di perahu, saya bergabung dengan
Letnan Pama saat ia duduk sendirian di geladak meminum Gatorade –
courtesy dari airdrop sebelumnya – menatap matahari terbenam yang indah.
Sebuah kapal China berlayar hanya beberapa ratus meter jauhnya. Aku
bertanya apakah dia pikir China akan pindah dari posisi mereka.
“Jika China mencoba masuk ke sini, kami akan mempertahankannya,”
jawabnya tanpa ragu-ragu. “Kami akan menggunakan pelatihan kami untuk
mempertahankan kapal. Kami akan menyerahkan nyawa kami untuk
mempertahankan kapal ini.”
Kami meninggalkan kapal Sierra Madre segera setelah pukul 5 pagi di
hari berikutnya. Saat itu kapal-kapal China tidak terlihat bergerak.
(CNN).
JKGR