Pages

Monday, 28 July 2014

Berharap Ada Perwira Indonesia Tampil di Jalur Gaza


ORANG PENTING: Rais Abin di kantor pusat LVRI, lantai 11 Plaza Semanggi, Jakarta. Foto: Bayu Putra/Jawa Pos
ORANG PENTING: Rais Abin di kantor pusat LVRI, lantai 11 Plaza Semanggi, Jakarta. Foto: Bayu Putra/Jawa Pos


KONFLIK di Jalur Gaza antara Palestina dan Israel mengingatkan Letjen (pur) Rais Abin pada peristiwa 36 tahun silam. Saat itu dia dipercaya sebagai panglima pasukan perdamaian PBB. Kiprahnya ikut mendamaikan Mesir dan Israel membuahkan Perjanjian Camp David.
--------------------------
Laporan Bayu Putra, Jakarta
--------------------------
PERISTIWA penandatanganan Perjanjian Camp David itu tidak bisa dilupakan Rais Abin. Perjanjian tersebut telah meredakan konflik antara Mesir dan Israel yang menduduki wilayah Gurun Sinai.
Perjanjian Camp David juga nyaris berdampak kepada perdamaian Israel-Palestina kalau saja presiden Mesir kala itu, Anwar Sadat, tidak terbunuh.
Saat ditemui di kantor pusat Legiun Veteran Republik Indonesia (LVRI) di kawasan Semanggi, Jakarta, Selasa lalu (22/7), wajah Rais tampak berseri-seri. Dia selalu bersemangat setiap kali diminta bercerita tentang memori ketika memimpin pasukan perdamaian PBB di Gurun Sinai, Mesir.
Hingga saat ini Rais tercatat sebagai satu-satunya perwira militer Indonesia yang pernah memimpin pasukan perdamaian PBB. Apalagi, misi yang diemban sangat penting: mengawal perdamaian Mesir-Israel.
Ruang kerja Rais di lantai 11 Plaza Semanggi cukup lapang dan tidak banyak berisi perabotan. Selain meja kerja, tampak rak kayu untuk menyimpan kenang-kenangan penghargaan yang pernah diraihnya. Ada pula bendera LVRI, meja rapat, dan sofa untuk menerima tamu.
Saat ini Rais menjabat ketua umum Dewan Pimpinan Pusat LVRI. Di usianya yang tahun ini akan mencapai 88 tahun, Rais masih terlihat prima. Hanya keriput di wajah dan tangannya yang tidak bisa ditutupi bahwa pejuang kelahiran Bukittinggi, Sumatera Barat, itu sudah lanjut usia.
Rais mengharumkan nama Indonesia di kancah politik keamanan internasional saat terlibat dalam pasukan perdamaian PBB di Gurun Sinai pada 1976–1979. Dia dipercaya PBB sebagai panglima pasukan perdamaian yang mengomandoi 6.000 tentara dari tujuh negara perwakilan lima benua.
Selain tentara Indonesia, ada yang dari Polandia, Swedia, Finlandia, Kanada, Australia, dan dua negara Afrika (Senegal dan Ghana). Kiprah Rais dalam pasukan perdamaian itu dimulai saat dia bermain tenis dengan koleganya, Pangdam Siliwangi Mayjen Himawan Soetanto. Kala itu Rais masih menjabat wakil komandan Seskoad berpangkat brigjen.
Rais menuturkan, di tengah permainan itu mendadak Himawan harus menerima telepon dari Mabes ABRI (kini TNI). Tidak lama kemudian, telepon diberikan ke Rais. Rupanya, yang menelepon adalah Asisten Pembinaan Personel ABRI Susilo Sudarman. ”Saya diminta menjadi kepala staf UNEF (United Nation Emergency Force) di Gurun Sinai,” tuturnya.
Alumnus Seskoad Bandung dan Australia itu pun tidak kuasa menolak perintah tersebut karena penunjukan itu tidak bernada perintah, melainkan meminta tolong. Usut punya usut, ternyata Himawan yang merekomendasikan Rais kepada Susilo Sudarman saat menerima telepon. ”Kalau diingat itu kayak joke saja,” ujarnya seraya tertawa.
Rais pun berangkat ke Sinai pada 28 Desember 1975 dan memulai tugas awal Januari 1976 pada misi UNEF II. Karena kiprahnya yang dinilai baik dan mendapat persetujuan dari seluruh anggota Dewan Keamanan PBB, setahun kemudian Rais ditunjuk sebagai panglima UNEF II dengan pangkat mayjen atau bintang dua.
Dia menggantikan Letjen Bengt Liljenstrand asal Swedia yang mengundurkan diri pada 1 Desember 1976. Penunjukan Rais dilakukan lewat surat kawat pribadi dari Sekjen PBB kala itu, Kurt Waldheim. Tugas Rais adalah mendamaikan Mesir dan Israel yang bertikai gara-gara pendudukan Israel atas Gurun Sinai yang merupakan bagian teritori Mesir.
Bukan hal mudah untuk mendamaikan kedua negara yang sama-sama mengklaim Sinai sebagai bagian wilayahnya. Apalagi, posisi Rais saat itu tergolong sulit. Sebab, dia adalah warga negara Indonesia, dan Indonesia tidak memiliki hubungan diplomatik dengan Israel.
Dengan susah payah, akhirnya Rais berhasil menemui Menteri Pertahanan Israel Shimon Peres. Peres kemudian menjadi presiden Israel hingga Kamis lalu (24/7) mengundurkan diri dari jabatannya itu di usia 90 tahun.
Persoalan belum berhenti sampai di situ. Menurut purnawirawan kelahiran 15 Agustus 1926 tersebut, meyakinkan pihak Mesir juga sulit. Blokade-blokade oleh tentara Mesir membuat dia dan pasukannya tidak bisa leluasa bergerak.
Mantan Dubes RI di Malaysia dan Singapura itu akhirnya menemui panglima militer Mesir untuk meminta keleluasaan bergerak. Rais mengancam akan mundur dari Sinai jika aktivitas pasukannya dipersulit.
Setelah blokade-blokade dibuka, Rais pun berkali-kali mengundang kedua pihak untuk berunding di markas UNEF di Sinai. ”Tiap dua minggu sekali saya adakan rapat dan selalu di situ (Sinai) karena Sinai merupakan wilayah PBB,” tutur bapak 3 putra, kakek 7 cucu, dan buyut 3 cicit itu.
Setelah Rais beberapa kali memfasilitasi pertemuan antara kedua pihak, tanda-tanda perdamaian mulai muncul. Lalu, dibuatlah konsep perjanjian damai yang akhirnya dinamai Camp David. Perjanjian tersebut sebenarnya memiliki benang merah dengan Palestina.
Ada dua kerangka perjanjian yang disusun. Kerangka pertama berkaitan dengan perdamaian di Timur Tengah, dalam hal ini penarikan mundur pasukan Israel dari Gaza dan Tepi Barat serta melarang pendirian permukiman baru Yahudi. Kerangka kedua berhubungan dengan perdamaian antara Mesir dan Israel. Pada akhirnya, hanya kerangka kedua yang ditandatangani.
Menjadi panglima pasukan perdamaian PBB membuat Rais dikenal banyak pemimpin dunia. Dia cukup akrab dengan Anwar Sadat dan pemimpin PLO Palestina Yasser Arafat.
Sebagai pejabat teras di PBB, dia bisa berkomunikasi langsung dengan Kurt Waldheim yang menjadi Sekjen PBB saat itu. Selama masa perundingan Mesir dan Israel, Gurun Sinai menjadi wilayah kekuasaan Rais.
Suami Dewi Asiah itu menuturkan, pada 1981 Anwar Sadat tewas karena dibunuh rakyatnya yang tidak setuju atas kunjungan Sadat ke Jerusalem. Itulah hal yang sangat disayangkan Rais. ”Sadat saat itu sedang berupaya untuk mengembalikan kedaulatan Palestina sesuai Resolusi PBB No 242 Tahun 1967,” tuturnya.
Kala itu Sadat merupakan satu-satunya pemimpin negara di Timur Tengah yang suaranya didengar Israel dan Amerika Serikat. Munculnya Resolusi 242 yang mewajibkan penarikan pasukan Israel dan mengatur batas antara Israel-Palestina juga tidak lepas dari lobi yang dilakukan Sadat.
Penerus Sadat, Husni Mubarak, ternyata tidak bisa tegas memperjuangkan resolusi tersebut. Penjajahan atas Palestina pun terus berlangsung sampai sekarang dengan kekuatan yang tidak sebanding. Menurut Rais, sebenarnya roket-roket pejuang Palestina tidak memberikan dampak apa pun kepada Israel selain perasaan risi.
Keberadaan Hamas dengan pasukannya, Brigade Izzudin Al Qassam, juga tidak lepas dari perang enam hari pada 1967. Gaza saat itu adalah tempat penampungan yang disediakan PBB bagi para pengungsi palestina yang terusir dari tanah airnya. Maka, tidak heran jika saat ini Hamas sangat membenci Israel.
Bagi Rais, untuk mengembalikan kedamaian di bumi Palestina, hanya ada satu solusi. ”Kembalikan batas negara sesuai Resolusi 242. Kalau tidak, konflik ini tidak akan pernah berakhir,” ucapnya. Resolusi 242 mengatur batas kedua negara, Israel di utara dan Palestina di selatan.
Karena itu, dia mengharapkan presiden Indonesia punya keberanian untuk mengungkit kembali resolusi tersebut di hadapan Sekjen PBB Ban Ki-moon. Perhatian Indonesia ke Palestina saat ini sudah cukup baik, namun akan lebih signifikan dampaknya jika bisa membuat PBB membahas lagi Resolusi 242.
Di luar kiprahnya sebagai panglima pasukan perdamaian, Rais punya peran penting di masa-masa awal kemerdekaan Indonesia. Kala itu Rais muda menjadi bagian Tentara Keamanan Rakyat yang menghadapi upaya agresi Belanda. Dia dan beberapa rekannya ditugasi menyuplai senjata untuk tentara maupun pejuang rakyat.
Dia diminta untuk menyelundupkan senjata dari Tumasek (Singapura). Untuk menyelundupkan senjata tersebut tanpa ketahuan Belanda, Rais dkk mengambil jalur laut. ”Kami berangkat dari Tegal (Jateng) menggunakan perahu yang panjangnya hanya 5 meter,” kenangnya.
Pilihan itu terpaksa diambil demi keselamatan. Saat itu Laut Jawa dikuasai armada AL Belanda. Jika nekat menggunakan kapal besar, sudah pasti mereka akan diserang. Upaya mereka tidak sia-sia karena berhasil menuntaskan misi tersebut.
Di usianya yang hampir satu abad, Rais kini menikmati kesibukannya di LVRI. Saat ditanya apa kunci kebugarannya, dia menjawab kesehatan fisik dan pikiran. ”Saya tidak punya ambisi, tidak ingin tenar,” ujarnya.
Bahkan, Rais mengaku tidak memiliki rumah di Indonesia. Ya, rumah yang saat ini ditempati Rais di Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, adalah rumah milik istrinya. Rumah tersebut merupakan warisan mertua Rais. Satu-satunya rumah milik Rais berada di Sinai. Rumah tersebut merupakan pemberian PBB sebagai fasilitas jabatannya menjadi panglima pasukan perdamaian.
Satu hal yang masih menjadi keinginan Rais adalah melihat perwira TNI generasi sekarang menjabat panglima pasukan perdamaian PBB seperti dirinya. ”Kita punya banyak perwira hebat, saya yakin kita bisa punya peran yang lebih besar dalam perdamaian,” tandasnya. (*/c10/ari)

JPNN