ORANG PENTING: Rais Abin di kantor pusat LVRI, lantai 11 Plaza Semanggi, Jakarta. Foto: Bayu Putra/Jawa Pos
KONFLIK di Jalur
Gaza antara Palestina dan Israel mengingatkan Letjen (pur) Rais Abin
pada peristiwa 36 tahun silam. Saat itu dia dipercaya sebagai panglima
pasukan perdamaian PBB. Kiprahnya ikut mendamaikan Mesir dan Israel
membuahkan Perjanjian Camp David.
--------------------------
Laporan Bayu Putra, Jakarta
--------------------------
PERISTIWA penandatanganan Perjanjian Camp David itu tidak bisa dilupakan Rais Abin. Perjanjian tersebut telah meredakan konflik antara Mesir dan Israel yang menduduki wilayah Gurun Sinai.
--------------------------
Laporan Bayu Putra, Jakarta
--------------------------
PERISTIWA penandatanganan Perjanjian Camp David itu tidak bisa dilupakan Rais Abin. Perjanjian tersebut telah meredakan konflik antara Mesir dan Israel yang menduduki wilayah Gurun Sinai.
Perjanjian Camp David juga nyaris
berdampak kepada perdamaian Israel-Palestina kalau saja presiden Mesir
kala itu, Anwar Sadat, tidak terbunuh.
Saat ditemui di kantor pusat Legiun
Veteran Republik Indonesia (LVRI) di kawasan Semanggi, Jakarta, Selasa
lalu (22/7), wajah Rais tampak berseri-seri. Dia selalu bersemangat
setiap kali diminta bercerita tentang memori ketika memimpin pasukan
perdamaian PBB di Gurun Sinai, Mesir.
Hingga saat ini Rais tercatat sebagai
satu-satunya perwira militer Indonesia yang pernah memimpin pasukan
perdamaian PBB. Apalagi, misi yang diemban sangat penting: mengawal
perdamaian Mesir-Israel.
Ruang kerja Rais di lantai 11 Plaza
Semanggi cukup lapang dan tidak banyak berisi perabotan. Selain meja
kerja, tampak rak kayu untuk menyimpan kenang-kenangan penghargaan yang
pernah diraihnya. Ada pula bendera LVRI, meja rapat, dan sofa untuk
menerima tamu.
Saat ini Rais menjabat ketua umum Dewan
Pimpinan Pusat LVRI. Di usianya yang tahun ini akan mencapai 88 tahun,
Rais masih terlihat prima. Hanya keriput di wajah dan tangannya yang
tidak bisa ditutupi bahwa pejuang kelahiran Bukittinggi, Sumatera Barat,
itu sudah lanjut usia.
Rais mengharumkan nama Indonesia di
kancah politik keamanan internasional saat terlibat dalam pasukan
perdamaian PBB di Gurun Sinai pada 1976–1979. Dia dipercaya PBB sebagai
panglima pasukan perdamaian yang mengomandoi 6.000 tentara dari tujuh
negara perwakilan lima benua.
Selain tentara Indonesia, ada yang dari
Polandia, Swedia, Finlandia, Kanada, Australia, dan dua negara Afrika
(Senegal dan Ghana). Kiprah Rais dalam pasukan perdamaian itu dimulai
saat dia bermain tenis dengan koleganya, Pangdam Siliwangi Mayjen
Himawan Soetanto. Kala itu Rais masih menjabat wakil komandan Seskoad
berpangkat brigjen.
Rais menuturkan, di tengah permainan itu
mendadak Himawan harus menerima telepon dari Mabes ABRI (kini TNI).
Tidak lama kemudian, telepon diberikan ke Rais. Rupanya, yang menelepon
adalah Asisten Pembinaan Personel ABRI Susilo Sudarman. ”Saya diminta
menjadi kepala staf UNEF (United Nation Emergency Force) di Gurun
Sinai,” tuturnya.
Alumnus Seskoad Bandung dan Australia
itu pun tidak kuasa menolak perintah tersebut karena penunjukan itu
tidak bernada perintah, melainkan meminta tolong. Usut punya usut,
ternyata Himawan yang merekomendasikan Rais kepada Susilo Sudarman saat
menerima telepon. ”Kalau diingat itu kayak joke saja,” ujarnya seraya
tertawa.
Rais pun berangkat ke Sinai pada 28
Desember 1975 dan memulai tugas awal Januari 1976 pada misi UNEF II.
Karena kiprahnya yang dinilai baik dan mendapat persetujuan dari seluruh
anggota Dewan Keamanan PBB, setahun kemudian Rais ditunjuk sebagai
panglima UNEF II dengan pangkat mayjen atau bintang dua.
Dia menggantikan Letjen Bengt
Liljenstrand asal Swedia yang mengundurkan diri pada 1 Desember 1976.
Penunjukan Rais dilakukan lewat surat kawat pribadi dari Sekjen PBB kala
itu, Kurt Waldheim. Tugas Rais adalah mendamaikan Mesir dan Israel yang
bertikai gara-gara pendudukan Israel atas Gurun Sinai yang merupakan
bagian teritori Mesir.
Bukan hal mudah untuk mendamaikan kedua
negara yang sama-sama mengklaim Sinai sebagai bagian wilayahnya.
Apalagi, posisi Rais saat itu tergolong sulit. Sebab, dia adalah warga
negara Indonesia, dan Indonesia tidak memiliki hubungan diplomatik
dengan Israel.
Dengan susah payah, akhirnya Rais
berhasil menemui Menteri Pertahanan Israel Shimon Peres. Peres kemudian
menjadi presiden Israel hingga Kamis lalu (24/7) mengundurkan diri dari
jabatannya itu di usia 90 tahun.
Persoalan belum berhenti sampai di situ.
Menurut purnawirawan kelahiran 15 Agustus 1926 tersebut, meyakinkan
pihak Mesir juga sulit. Blokade-blokade oleh tentara Mesir membuat dia
dan pasukannya tidak bisa leluasa bergerak.
Mantan Dubes RI di Malaysia dan
Singapura itu akhirnya menemui panglima militer Mesir untuk meminta
keleluasaan bergerak. Rais mengancam akan mundur dari Sinai jika
aktivitas pasukannya dipersulit.
Setelah blokade-blokade dibuka, Rais pun
berkali-kali mengundang kedua pihak untuk berunding di markas UNEF di
Sinai. ”Tiap dua minggu sekali saya adakan rapat dan selalu di situ
(Sinai) karena Sinai merupakan wilayah PBB,” tutur bapak 3 putra, kakek 7
cucu, dan buyut 3 cicit itu.
Setelah Rais beberapa kali memfasilitasi
pertemuan antara kedua pihak, tanda-tanda perdamaian mulai muncul.
Lalu, dibuatlah konsep perjanjian damai yang akhirnya dinamai Camp
David. Perjanjian tersebut sebenarnya memiliki benang merah dengan
Palestina.
Ada dua kerangka perjanjian yang
disusun. Kerangka pertama berkaitan dengan perdamaian di Timur Tengah,
dalam hal ini penarikan mundur pasukan Israel dari Gaza dan Tepi Barat
serta melarang pendirian permukiman baru Yahudi. Kerangka kedua
berhubungan dengan perdamaian antara Mesir dan Israel. Pada akhirnya,
hanya kerangka kedua yang ditandatangani.
Menjadi panglima pasukan perdamaian PBB
membuat Rais dikenal banyak pemimpin dunia. Dia cukup akrab dengan Anwar
Sadat dan pemimpin PLO Palestina Yasser Arafat.
Sebagai pejabat teras di PBB, dia bisa
berkomunikasi langsung dengan Kurt Waldheim yang menjadi Sekjen PBB saat
itu. Selama masa perundingan Mesir dan Israel, Gurun Sinai menjadi
wilayah kekuasaan Rais.
Suami Dewi Asiah itu menuturkan, pada
1981 Anwar Sadat tewas karena dibunuh rakyatnya yang tidak setuju atas
kunjungan Sadat ke Jerusalem. Itulah hal yang sangat disayangkan Rais.
”Sadat saat itu sedang berupaya untuk mengembalikan kedaulatan Palestina
sesuai Resolusi PBB No 242 Tahun 1967,” tuturnya.
Kala itu Sadat merupakan satu-satunya
pemimpin negara di Timur Tengah yang suaranya didengar Israel dan
Amerika Serikat. Munculnya Resolusi 242 yang mewajibkan penarikan
pasukan Israel dan mengatur batas antara Israel-Palestina juga tidak
lepas dari lobi yang dilakukan Sadat.
Penerus Sadat, Husni Mubarak, ternyata
tidak bisa tegas memperjuangkan resolusi tersebut. Penjajahan atas
Palestina pun terus berlangsung sampai sekarang dengan kekuatan yang
tidak sebanding. Menurut Rais, sebenarnya roket-roket pejuang Palestina
tidak memberikan dampak apa pun kepada Israel selain perasaan risi.
Keberadaan Hamas dengan pasukannya,
Brigade Izzudin Al Qassam, juga tidak lepas dari perang enam hari pada
1967. Gaza saat itu adalah tempat penampungan yang disediakan PBB bagi
para pengungsi palestina yang terusir dari tanah airnya. Maka, tidak
heran jika saat ini Hamas sangat membenci Israel.
Bagi Rais, untuk mengembalikan kedamaian
di bumi Palestina, hanya ada satu solusi. ”Kembalikan batas negara
sesuai Resolusi 242. Kalau tidak, konflik ini tidak akan pernah
berakhir,” ucapnya. Resolusi 242 mengatur batas kedua negara, Israel di
utara dan Palestina di selatan.
Karena itu, dia mengharapkan presiden
Indonesia punya keberanian untuk mengungkit kembali resolusi tersebut di
hadapan Sekjen PBB Ban Ki-moon. Perhatian Indonesia ke Palestina saat
ini sudah cukup baik, namun akan lebih signifikan dampaknya jika bisa
membuat PBB membahas lagi Resolusi 242.
Di luar kiprahnya sebagai panglima
pasukan perdamaian, Rais punya peran penting di masa-masa awal
kemerdekaan Indonesia. Kala itu Rais muda menjadi bagian Tentara
Keamanan Rakyat yang menghadapi upaya agresi Belanda. Dia dan beberapa
rekannya ditugasi menyuplai senjata untuk tentara maupun pejuang rakyat.
Dia diminta untuk menyelundupkan senjata
dari Tumasek (Singapura). Untuk menyelundupkan senjata tersebut tanpa
ketahuan Belanda, Rais dkk mengambil jalur laut. ”Kami berangkat dari
Tegal (Jateng) menggunakan perahu yang panjangnya hanya 5 meter,”
kenangnya.
Pilihan itu terpaksa diambil demi
keselamatan. Saat itu Laut Jawa dikuasai armada AL Belanda. Jika nekat
menggunakan kapal besar, sudah pasti mereka akan diserang. Upaya mereka
tidak sia-sia karena berhasil menuntaskan misi tersebut.
Di usianya yang hampir satu abad, Rais
kini menikmati kesibukannya di LVRI. Saat ditanya apa kunci
kebugarannya, dia menjawab kesehatan fisik dan pikiran. ”Saya tidak
punya ambisi, tidak ingin tenar,” ujarnya.
Bahkan, Rais mengaku tidak memiliki
rumah di Indonesia. Ya, rumah yang saat ini ditempati Rais di Kebayoran
Baru, Jakarta Selatan, adalah rumah milik istrinya. Rumah tersebut
merupakan warisan mertua Rais. Satu-satunya rumah milik Rais berada di
Sinai. Rumah tersebut merupakan pemberian PBB sebagai fasilitas
jabatannya menjadi panglima pasukan perdamaian.
Satu hal yang masih menjadi keinginan
Rais adalah melihat perwira TNI generasi sekarang menjabat panglima
pasukan perdamaian PBB seperti dirinya. ”Kita punya banyak perwira
hebat, saya yakin kita bisa punya peran yang lebih besar dalam
perdamaian,” tandasnya. (*/c10/ari)