Pages

Saturday, 2 August 2014

Sierra Madre dan Konflik Laut China Selatan

 
Kapal Sierra Madre yang dikaramkan di Karang Seond Thomas oleh Pemerintah Filipina tahun 1990-an   - satu detasemen marinir filipina di tempatkan pada badan kapal berkarat ini (Tomas Etzler / CNN)
Kapal Sierra Madre yang dikaramkan di Karang Seond Thomas oleh Pemerintah Filipina tahun 1990-an – satu detasemen marinir filipina di tempatkan pada badan kapal berkarat ini (Tomas Etzler / CNN)
Saat pertama kali melihat, kapal itu tampak seperti kapal hantu yang berlabuh di tengah laut, berkarat dan dipenuhi tikus. Kapal perang eks Angkatan Laut AS itu, benar-benar di garis depan dari ketegangan antara Filipina dan China yang terus meningkat di Laut China Selatan.
Kapal itu sengaja dikaramkan Filipina pada karang kecil di Laut China Selatan, bagian dari gugusan pulau yang diklaim oleh kedua negara. Kapal Sierra Madre sepertinya bukan tempat untuk detasemen marinir Filipina yang berjaga-jaga di sekitar atol, menjaga perairan yang biru dari kapal China.
Untuk mencapai “landmark” yang tidak biasa itu (Siera Madre), yang terletak 194 kilometer dari provinsi Palawan di Filipina barat, tetaplah pengalaman yang membuat saraf sangat tegang.
Kami menghampiri karang kecil itu menggunakan perahu kayu tua milik nelayan dengan kecepatan tinggi -11 knot per jam. Dari utara, sebuah kapal penjaga pantai modern China, berlayar mendekat dengan kecepatan setidaknya dua kali lebih cepat, dengan tujuan menghalangi jalan kami. Sebuah kapal China yang kedua dengan cepat mendekat dari selatan dengan maksud yang sama.
Tapi mereka tidak berhasil menghalangi kami. Setelah beberapa menit yang penuh ketegangan, kami memasuki kawasan karang yang terlalu dangkal untuk kapal China yang besar. Beberapa nelayan di perahu kami berdoa lega – tidak selalu terjadi seperti ini.
Mungkin bisa dikatakan, tidak banyak orang tahu tentang Second Thomas Shoal, yang dikenal sebagai Ayungin di Filipina dan Ren’ai Jiao di China. Karang berbentuk air mati ini adalah bagian dari Kepulauan Spratly, kepulauan yang sebagian besar tidak berpenghuni, di tengah-tengah antara Filipina dan Vietnam, yang diklaim sepenuhnya oleh China dan diklaim sebagiannya oleh Filipina, Brunei, Malaysia, Taiwan dan Vietnam.
Masalah semakin rumit, setelah konflik ini menarik keterlibatan Amerika Serikat, yang memiliki perjanjian pertahanan bersama dengan Filipina. Hal ini juga mendorong hubungan keamanan yang lebih erat antara Filipina dan Jepang, yang Jepang sendiri berselisih dengan China atas pulau-pulau di Laut China Timur.
Sengketa di sini, terfokus pada kepemilikan batu karang kecil yang tak berpenghuni. Namun dampak dari perselisihan teritorial ini memiliki potensi untuk mempengaruhi keseimbangan kekuatan di seluruh wilayah. Nilai dari wilayah ini benar-benar terletak di bawah dasar laut berupa kantong gas alam dan minyak – seperti yang kita lihat baru-baru ini dengan penyebaran rig eksplorasi minyak oleh China di Kepulauan Paracel -wilayah lain yang disengketakan di Laut China Selatan.
Awal perjalanan yang sulit
Untuk bisa pergi ke Karang Second Thomas membutuhkan negosiasi berbulan bulan dengan pemerintah Filipina -karena kekhawatiran logistik dan keamanan -dan dibutuhkan tujuh hari perjalanan dengan perahu.
Saya mulai pengembaraan pada bulan April tahun 2014 di Puerto Princesa, ibukota provinsi Palawan. Saya bepergian dengan Eugenio Bito-Onon Jr, walikota Kalayaan, Kota terkecil dan salah satu kota termiskin di Filipina. Kota itu terdiri dari 10 pulau kecil dan terumbu karang yang terletak di ujung utara Spratly.
Kami menuju Pag-asa terlebih dulu, satu-satunya pulau di daerah ini yang memiliki penduduk sipil. Pulau itu pun hanya titik penghubung untuk mencapai Kapal Sierra Madre. Biasanya kapal Bito-Onon yang berbasis di Puerto Princesa, hanya melakukan perjalanan ke Pag-asa sekali setahun. Kami berhenti di beberapa pulau kecil dalam perjalanan ini. Ada beberapa rumah untuk unit kecil detasemen marinir Filipina -pertahanan terakhir  terhadap perambahan pihak  asing.

The journey:: Wartawan Tomas Etzler membuat perjalanan panjang ke Pag-asa di wilayah Kepulauan Spratly yang diklaim oleh Filipina dan China.
Pada akhir hari ketiga perjalanan, kam tiba di Pag-asa, pulau terbesar kedua di Spratly. Sebelumnya pulau ini murni sebuah pangkalan militer. Pemerintah Filipina mendorong warga sipil untuk pindah ke sini pada tahun 2002. Lebih dari 12 tahun kemudian, sekarang ada 120 orang hidup berdampingan dengan unit kecil angkatan udara Filipina, angkatan laut dan marinir yang  masih ditempatkan di sini.
Jacqueline Morales, 28 tahun, pindah ke pulau ini dari Palawan bersama suami dan dua anak mereka. Dia ingin melayani negaranya karena mendengar Pulau Pag-asa sangat membutuhkan guru. Biaya hidup warga di sini sebagian disubsidi oleh pemerintah pusat, namun dia mengakui “faktor China” adalah yang menjadi kekhawatiran yang paling nyata.
“Saya menonton televisi. Kita tahu China tertarik pada pulau ini,” katanya. “Kami  mempersiapkan diri di sini, mengantisipasi jika China menyerang kita. Sekolah ditugaskan sebagai pusat evakuasi. Saya gugup karena hal itu mungkin terjadi. Apa akibatnya pada kami?”
Antisipasi blokade oleh China
Seperti  yang kami rencanakan dari awal, bagian akhir dari perjalanan kami -pergi ke Kapal Sierra Madre- ada kemungkinan harus menghadapi kapal penjaga pantai China versus awak kapal nelayan tradisional yang kami sewa untuk perjalanan. Kami telah diberitahu dari awal bahwa kapal China akan menghentikan atau mencoba menghentikan kapal- kapal yang mencoba memasuki shoal tempat Kapal Sierra Madre dikaramkan.
Kami sepakat strateginya adalah selama kapal China itu tidak hendak menabrak kapal mereka  –beberapa kali terjadi di wilayah sengketa teritorial di wilayah ini –sang kapten kapal akan mencoba mengatasi manuver kapal China demi mencapai tujuan
Kapal Sierra Madre dibangun oleh Amerika Serikat pada tahun 1944 untuk bertugas di Pasifik sebagai kapal transportasi selama Perang Dunia II.  Kapal itu berpindah tangan dua kali setelah perang.
Pertama dipindahkan ke Angkatan Laut Vietnam Selatan selama Perang Vietnam, kemudian ke Filipina setelah jatuhnya Saigon, sekarang dikenal sebagai Kota Ho Chi Minh. Pada tahun 1999, Filipina sengaja mengaramkan Sierra Madre di Karang Second Thomas.
Menteri Pertahanan saat itu, Orlando Mercado Sanchez, mengambil tindakan itu sebagai reaksi terhadap keputusan China pada tahun 1994 untuk mengambil kontrol dari Karang Mischief ,  yang  13 mil laut sebelah barat laut dari Second Thomas Shoal.
“Kami dipaksa, dan kami tidak punya pilihan lain selain mencari sarana yang kita dapat untuk mempertahankan kehadiran kami,” jelasnya. “Dan selama pengamatan kami, kami memutuskan bahwa yang terbaik yang bisa kami lakukan adalah menambatkan kapak ke shoal itu dan mempertahankan pasukan kami di sana. Mereka telah  di sana, selama ini.”
Manila mengklaim lokasi sengketa berada dalam zona ekonomi eksklusif 200-mil laut Filipiana.
China, mengacu wilayah Spratly sebagai Kepulauan Nansha, yang pertama kali ditemukan dan dijalankan kedaulatannya atas pulau-pulau itu oleh Kerajaan Tiongkok Kuno.
China bahkan menyatakan hak mereka atas pulau-pulau itu telah dicurangi dunia internasional, seperti Potsdam Proklamasi, yang mengatur wilayah Jepang pasca menyerah setelah menduduki sebagian besar wilayah di laut China selama Perang Dunia II. Pulau-pulau itu adalah bagian dari petak besar Laut China Selatan dan masuk ke dalam apa yang disebut Beijing sebagai “garis sembilan putus-putus,”  sebuah garis berbentuk U yang menandai klaim wilayah China atas kedaulatan mereka.

Satu detasemen marinir Filipina ditempatkan pada kapal berkarat Sierra Madre, untuk mencegah perambahan China.
Sebagian besar kapal mendekati Second Thomas Shoal datang dari Palawan, dari tenggara. Kami datang dari barat laut, dimana kapal patroli China tidak akan mengantisipasi, ujar kapten kami beralasan. Perahu kami mencoba menghindari mereka.
Dari kejauhan, Sierra Madre tampak seperti kapal besar lainnya. Hanya ketika Anda lebih dekat Anda menyadari sesuatu yang tidak beres.
Badan kapal yang menjulang terbakar oleh matahari di atas perairan yang biru berkilauan, layaknya bagian dari film untuk sekuel epik postapocalyptic seperti “Mad Max” atau “Waterworld.” Menara jembatan begitu berkarat dan seperti bisa runtuh setiap saat, sedangkan lambung kapal, penuh bopeng dengan besar, lubang berkarat.
marinir filipina
Seorang Marinir Filipina dengan tombak ikan darurat untuk makan malam berada di bayangan Sierra Madre.
Di sekitar perairan, aku melihat beberapa orang berenang dengan snorkel saat kami mendekat. Mereka adalah beberapa dari marinir Filipina yang sedang memancing dan ditempatkan di sini. Kedua kapal China yang awalnya mengejar kami, sekarang memantau dari luar shoal, hanya beberapa ratus meter jauhnya. Peristiwa ini seakan tidak nyata dan absurd.
Setelah mendaki di dek melalui tangga darurat yang mengkhawatirkan, kami disambut oleh Sang Komandan Letnan Earl Pama, Komandan. Marinir berusia 29 tahun ini telah berada di sini sejak 30 Maret. Seperti pulau-pulau lain di daerah ini, marinir ini dirotasi datang dan pergi setiap tiga bulan. Ini bukan penempatan yang mudah; Unit Marinir ini berhasil ke kapal Sierra Madre pada usaha kedua. Percobaan pertama, mereka diblokir oleh kapal penjaga pantai China.
Kapal China seperti hiu predator
Menjelang sore pada hari pertama kami di sana, tiga kapal China tiba di sekitar Sierra Madre. Dan kini Sierra Madre dikelilingi oleh lima kapal, yang perlahan-lahan mengitari kawasan seperti hiu pemangsa. Saat aku mengintip melalui teropong, saya melihat beberapa pelaut China sedang berada di pingggir kapal mengambil gambar menggunakan kamera lensa tele.
Seorang marinir mengamati mengamati perairan atol yang biru cerah dari dek Sierra Madre yang berkarat.
Seorang marinir mengamati mengamati perairan atol yang biru cerah dari dek Sierra Madre yang berkarat.
Saat matahari menghilang dari cakrawala dan cahaya memudar, saya diperkenalkan ke penduduk: kecoak besar dan tikus. “Saya memperkirakan ada 5-600 tikus dan jutaan kecoak,” ujar seorang marinir sambil tertawa.
Saya ditawari kabin  -basah, ruang yang penuh nyamuk lengkap dengan kasur kotor di tengah-  tapi dengan kehadiran sebagai tamu, mendorong saya untuk menggunakannya sebagai tempat  menyimpanan peralatan saya dan  saya memilih untuk  menghabiskan malam di atap perahu nelayan kami.
Marinir bertahan dalam kondisi sulit di sini.
Mereka menghadapi matahari yang tanpa ampun dengan suhu yang  membakar. Selama hujan atau angin topan, ruangan radio, adalah satu satunya kontak mereka dengan atasan di Palawan,  dan satu-satu ruangan di kapal yang tidak bocor. Para prajurit terputus dari dunia luar, untuk  sebagian besar waktu mereka.
“Hidup kita di sini kadang-kadang sulit karena kita jauh dari keluarga,” kata Hilbert Bigania, seorang sersan 30 tahun. “Kita tidak bisa berkomunikasi dengan mereka, dan kita berada di tengah laut. Itulah hidup kita sehari-hari di sini. Kita tidak bisa berbuat apa-apa.” Hal ini menjadi perjuangan untuk bertahan hidup.
Marinir mengklaim bahwa pada tahun 2012, kapal-kapal China menjadi lebih agresif dan mulai melecehkan kapal angkatan laut Filipina yang membawa pasukan untuk rotasi dan logistik. “Apa yang mereka lakukan adalah memblokir barang-barang yang akan disampaikan kapal kepada kami, sehingga kami tidak memiliki makanan untuk dimakan dan kita tidak memiliki persediaan, bahkan air,” kata Pama.
Khawatir terjadi konflik terbuka dengan China, angkatan laut Filipina mulai menggunakan airdrops atau kapal nelayan sipil untuk membawa persediaan. Pada hari kedua saya di Sierra Madre, dua pesawat kecil angkatan laut menjatuhkan dua kotak persediaan. Satu mendarat di kapal, yang kedua di dalam air. Pesawat-pesawat Filipina tampaknya dibayangi oleh pesawat lain – pesawat mata-mata China, ujar marinir mengklaim.
Detasemen marinir menghabiskan tiga bulan ditempatkan di Sierra Madre, dengan kondisi yang sangat sulit.
Detasemen marinir menghabiskan tiga bulan ditempatkan di Sierra Madre, dengan kondisi yang sangat sulit.
Bungkusan yang dijatuhkan Berisi persediaan sembako, minuman ringan, sandal jepit dan handuk. Tapi apa yang membuat Marinir bersorak adalah surat dari anak mereka serta kotak makanan cepat saji yang diisi ayam goreng, nasi dan kentang goreng. Itu adalah pesta langka, karena hanya ada satu atau dua dropping seperti ini selama setiap penempatan pasukan di sini.
Sebagian besar makanan mereka terdiri dari ikan yang mereka tangkap. Menggunakan senjata tombak buatan atau batang kayu, mereka mencari ikan dua kali sehari. Perairan di sekitar perahu memiliki kedalaman dangkal 5 kaki (1,5 meter) dan penuh dengan kehidupan laut. Para prajurit bergerak di sekitar shoal (karang) dengan perahu karet buatan dan menggunakan strip kayu dengan tali karet sebagai sirip untuk mendorong diri mereka di sekitar air. Tangkapan tersebut kemudian dikeringkan dan dipanggang di dek kapal.
Memancing juga membantu mereka untuk membunuh waktu; tidak banyak yang bisa dilakukan di kapal. Bahkan berjalan di geladak juga berbahaya. Kapal Sierra Madre sangat lapuk dan penuh dengan lubang. Ketika tidak memancing, marinir memantau kapal China yang membayangi mereka, membersihkan senjata, latihan Fisik menggunakan bagian logam dari kapal sebagai beban atau bersantai di tempat tidur gantung, atau mendengarkan musik pop Filipina.
Tapi sebagian besar waktu bagi mereka adalah permainan menunggu yang tak berujung, bertanya-tanya akankah kapal saingan teritorial mereka China, akan mengitari mereka dan melakukan pergerakan.
China tidak memiliki alasan untuk menyerang shoal/ karang. China telah menjadi semakin tegas dalam klaim teritorial mereka di Laut China Selatan dalam beberapa tahun terakhir, tetapi mereka tampaknya tidak terburu-buru. Yang mereka butuhkan adalah kesabaran – itu hanya masalah waktu sebelum kapal Sierra Madre rusak dan orang di dalamnya harus pergi meninggalkan. Kapal-kapal China akan dapat bergerak ke shoal tanpa harus mengeluarkan tembakan.
Awal tahun ini, Filipina mengajukan kasus ke PBB atas perilaku China di Laut China Selatan, termasuk pengepungan Shoal Second Thomas. China mengatakan tidak akan menerima arbitrase internasional, dan mengatakan satu-satunya cara untuk menyelesaikan sengketa tersebut melalui negosiasi bilateral.
“Terlepas dari bagaimana cara Filipina mengajukan paket gugatannya, penyebab langsung dari sengketa antara China dan Filipina adalah pendudukan ilegal Filipina di bagian pulau-pulau di Laut China Selatan,” kata juru bicara Kementerian Luar Negeri China, Hong Lei dalam sebuah pernyataan bulan Maret lalu.
Pejabat pemerintah Filipna yang sempat saya temui di Manila mengatakan jika kasus itu dibahas di PBB, yang diharapkan awal tahun depan, dan bertentangan dengan China, maka keputusannya tidak akan banyak berubah. Tidak ada mekanisme untuk menegakkan putusan – China punya hak Veto di PBB. Kebuntuan antara kedua negara kemungkinan akan terus selama bertahun-tahun.
“Kami akan menyerahkan nyawa kita’
Selama malam kedua dan pagi terakhir di perahu, saya bergabung dengan Letnan Pama saat ia duduk sendirian di geladak meminum Gatorade – courtesy dari airdrop sebelumnya – menatap matahari terbenam yang indah. Sebuah kapal China berlayar hanya beberapa ratus meter jauhnya. Aku bertanya apakah dia pikir China akan pindah dari posisi mereka.
“Jika China mencoba masuk ke sini, kami akan mempertahankannya,” jawabnya tanpa ragu-ragu. “Kami akan menggunakan pelatihan kami untuk mempertahankan kapal. Kami akan menyerahkan nyawa kami untuk mempertahankan kapal ini.”
Kami meninggalkan kapal Sierra Madre segera setelah pukul 5 pagi di hari berikutnya. Saat itu kapal-kapal China tidak terlihat bergerak. (CNN).

JKGR