Jalan
bagi Ketua Umum Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura) Wiranto menghuni
istana masih panjang dan berliku. Mantan ajudan Presiden Soeharto ini
harus meyakinkan publik untuk memilih partainya.
Tanpa suara minimal 20 persen, sulit bagi Wiranto dan pasangannya, Hary
Tanoesoedibjo, maju dalam pemilihan presiden. Satu-satunya cara adalah
berkoalisi dengan partai lain buat menggenapkan syarat pengajuan
kandidat.
Wiranto mengaku mempunyai strategi biar bisa lolos. "Secara aklamasi
seluruh peserta rapat pimpinan (partai) meminta saya sebagai calon
presiden di 2014, ujarnya kepada merdeka.com akhir bulan lalu.
Berikut penuturan Wiranto saat ditemui Arbi Sumandoyo, Alwan Ridha
Ramdani, Faisal Assegaf, dan juru foto Muhammad Luthfi Rahman di kantor
Dewan Pimpinan Pusat Hanura.
Apa strategi Anda untuk mencapai syarat 20 persen buat mengajukan pasangan calon presiden dan wakil presiden?
Saya tanya dulu supaya kita diskusi, yang kita akan pakai undang-undang
lama atau baru? Hanura, Gerindra, ingin yang baru. Ini belum selesai.
Kalau belum selesai, jangan kita mengada-ada. Jangan kita
mengandai-andai. Politik itu realitas.
Melihat betapa pentingnya pemimpin Indonesia masa depan, kita menghadapi
kompetisi global sangat ketat, maka kita butuh pemimpin betul-betul
punya pengetahuan, perilaku baik, dan kalau setuju punya kekuatan
spritual memadai. Ini persyaratan tidak mudah.
Rakyat akan memberikan mandat kepada pemerintah tentu ingin melihat
lebih banyak calon, lebih bagus. Dimana pun kalau kita berbicara
kompetisi, memilih yang terbaik, lebih banyak calon akan lebih banyak
pilihan. Saat dikompetisikan secara jujur, adil, dan terbuka, maka akan
menemukan betul-betul calon punya integritas dan kompetensi diharapkan
bangsa ini.
Hanura berpendapat kita kembalikan saja pada UUD 1945. Semua partai
politik secara sendirian atau gabungan berhak mengusung presiden dan
wakil presiden. Kami berpendapat partai sudah lolos ambang batas
parlemen, berarti dia sudah dibenarkan untuk eksis, dibenarkan untuk
hidup sebagai partai politik di Indonesia. Berarti dibenarkan untuk
mencalonkan presiden dan wakil presiden. Itu pendapat kami.
Bagaimana kesolidan dukungan partai terhadap Anda?
Anda melihat beda antara saya dicalonkan lewat konvensi dengan
dicalonkan oleh Hanura lewat rapimnas secara aklamasi minta saya sebagai
calon presiden. Saya bersyukur Anda mempunyai penilaian pencalonan saya
di 2004 tidak didukung sepenuhnya oleh Golkar.
Hal tersebut tidak akan terjadi di 2014, kala saya dicalonkan dari
partai saya sendiri. Yang mendirikan saya, ketua umumnya masih saya, dan
juga secara aklamasi seluruh peserta rapat pimpinan meminta saya
sebagai calon presiden di 2014. Dengan demikian tidak ada keraguan
sedikitpun Hanura tidak mendukung saya sebagai calon presisden.
Kesempatan Anda saat 1998 sangat terbuka untuk jadi presiden, kenapa tidak diambil?
Saya sangat bersyukur penjelasan saya dulu barangkali meragukan
masyarakat, di mana saya tidak mengambil saat itu. Karena justru sikap
saya untuk tidak mengorbankan rakyat hanya sekadar satu jabatan.
Pada 1998 saat pergantian antara Orde Baru ke Orde Reformasi, tuntutan
masyarakat adalah melakukan reformasi total. Kalau saya sebagai tokoh
militer memanfaatkan keadaan seperti itu dan dengan alasan keamanan
mengambil alih pemerintahan, pasti akan menimbulkan perang saudara. Akan
menimbukan pro dan kontra tingkat nasional, akan melibatkan banyak
rakyat. Berarti saya akan berhadapan dengan rakyat. Saya akan
menghadapkan tentara dengan rakyat.
Kedua, waktu itu masalah moneter dan ekonomi buruk. Dolar Rp 15 ribu,
ekonomi morat marit. Kita butuh dukungan luar negeri. Rezim militer
waktu itu sangat tidak populis. Kita lihat Myanmar, Pakistan, waktu itu
tidak dapat dukungan dari dunia internasional, maka diembargo. Bagaimana
kita memulihkan ekonomi kalau kita mendapatkan embargo.
Ketika pemerintahan akan kita jalankan, kita harus mengosongkan gedung
MPR dan DPR dari pendudukan mahasiswa. Waktu itu saya perhitungkan
korban 200 orang dalam gebrakan pertama. Kalau Anda menjadi saya, apa
Anda tega sekadar untuk kedudukan dan jabatan taruhannya adalah
masyarakat. Waktu itu banyak orang tidak percaya.
Sekarang setelah Mesir kejadian seperti ini, Suriah, saya katakan ini
gambaran nyata. saya terima kasih ada gambaran bisa mengatakan kalau
waktu itu saya ambil alih maka gambaranya seperti di Mesir sekarang.
Tidak jelas reformasi itu bagaimana, korban terus berjatuhan, terus
masih berhadapan militer dengan rakyat dengan jumlah besar. Sehingga
keputusan saya tidak mengambil alih adalah keputusan tepat. Paling tidak
bagi saya.
Apakah majunya Anda saat ini bentuk kecemasan Anda?
Salah satu pertimbanganya itu. Karena saya ini melihat apa yang saya
lakukan di 1998. Sebenarnya Anda sudah bisa menarik kesimpulan, saya
bukan orang gila kekuasaan. Saya masih cukup waras untuk menempatkan
kekuasaan sebagai instrumen untuk pengabdian. Saat inipun sama.
Saat saya ingin maju 2004-2009, 2009-2014, perjuangan saya untuk melihat
negeri kita masih bisa lebih baik dikelola dari sekarang ini. Masih ada
potensi-potensi bisa kita manfaatkan untuk menghasilkan pemerintahan
dan negara lebih baik. Ini tentu juga sesuai keyakinan saya sebagai
orang Islam.
Ada hadis Rasulallah, wajib hukumnya untuk setiap muslim berbuat
sesuatu. Kalau dia merasa mampu dan melihat di depannya ada sesuatu
tidak benar dengan tangannya. Kalau tidak mampu dengan mulutnya,
mulutnya tidak mampu diam. Itu ajaran sangat bagus.
Saya merasa punya pengalaman mendampingi tiga presiden: Presiden
Soeharto, Presiden Habibie, Presiden Abdurrahman Wahid. Pernah menjadi
pejabat pada level nasional, ikut mendesain reformasi belum selesai
waktu itu. Saya kalau ingin melanjutkan perjuangan boleh-boleh saja.
merdeka