Pesawat Tempur F-22 Raptor (sumber foto : infiniteunknown.net)
Senin (22/9) malam militer AS melakukan
serangan udara untuk pertama kalinya ke wilayah Suriah dalam rangka
kampanye udara penghancuran target/obyek vital dari kekuatan bersenjata
ISIS yang kini bernama Islamic State (IS). Dalam serangan tersebut yang
menarik perhatian adalah digunakannya pesawat tempur tercanggihnya F-22
Raptor.
F-22 ini tidak di eksport dan hanya
boleh dimiliki oleh Angkatan Bersenjata Amerika karena dinilai merupakan
pesawat terunggul masa kini. Nama asli Raptor adalah jenis burung
ganas purba pemangsa, predator, nama informal untuk spesies dalam
Velociraptor genus dinosaurus, anggota keluarga Dromaeosauridae pada
umumnya. Karena itu, F-22 sebagai burung besi udara pemangsa terunggul
diberi nama Raptor oleh pabrik pembuatnya Lockheed Martin Aeronautics.
Selain itu keistimewaan lain dalam
kampanye penyerangan kekuatan Islamic State di Suriah yang tidak
mempunyai sistem pertahanan udara canggih, penggunaan Raptor dinilai
sangat khusus, mengingat mahalnya harga dan biaya operasionalnya. Malam
itu Raptor dilibatkan operasional untuk pertama kalinya di medan tempur
riil dalam melakukan penyerangan udara. Mengapa AS menggunakan Raptor?
Inilah yang penulis coba bahas dari sisi intelijen udara. Penulis pernah
membuat artikel tentang Raptor yang inti kelebihannya seperti di bawah
ini.
Raptor F-22 adalah pesawat siluman yang
dibuat oleh perusahaan Lockheed dengan perusahaan Boeing sebagai
subkontraktor utamanya. Pabrikan dari Raptor 4001 dimulai pada tahun
1994, pesawat diluncurkan pada bulan April 1997 dan diterbangkan untuk
pertama kalinya pada tanggal 7 September 1997. Pesawat mulai masuk
jajaran operasional pada awal Desember 2005. F-22 disebut fighter
mematikan, kemungkinan besar akan menang apabila melakukan pertempuran
udara dengan jenis pesawat tempur lainnya. Raptor tidak tertandingi
dalam dog fight (duel udara), selain itu juga memiliki
kemampuan presisi dalam melakukan serangan darat. Dikatakan bahwa F-22
mampu melakukan kontrol mutlak sebagai sebuah pesawat tempur.
F-22 memiliki suite sensor canggih yang
memungkinkan pilot untuk melacak, mengidentifikasi dan menembak ancaman
sebelum lawan mampu mendeteksi. Misi Raptor adalah mendominasi wilayah
udara pada setiap medan pertempuran dengan kelengkapan keunggulan
gabungannya yaitu kelengkapan teknologi siluman, supercruise engine,
sensor avionik yang terintegrasi, mampu bermanuver melebihi pesawat
tempur manapun, serta dilengkapi dengan persenjataan yang unggul.
Pesawat dilengkapi dengan enam sistem
radar, mampu mengontrol AIM-120 rudal jarak menengah canggih
udara-ke-udara (AMRAAM) dan dua peluru kendali (rudal) jarak pendek
pencari panas AIM-9 Sidewinder, selain itu juga dilengkapi meriam
tunggal multibarel versi modern M61A2, 20-mm. F-22 juga memiliki peran
sekunder untuk menyerang sasaran permukaan. Pesawat ini mampu membawa
dua bom 1.000 pon untuk Serangan Munisi Langsung Gabungan (JDAMs)
internal dan akan menggunakan on-board avionik untuk navigasi dan
dukungan persenjataan.
Raptor mampu melakukan terbang sangat
tinggi, jauh dan sangat cepat dengan resiko terdeteksi minimal. Harga
setiap pesawat sekitar sekitar US$ 140 juta. Pemerintah AS telah memesan
dan diproduksi sebanyak 187 buah sejak Tahun 2009. Itulah sedikit
gambaran pesawat tempur mutahir yang mematikan dari USAF.
Dalam melakukan serangan ke wilayah
udara Suriah, target yang dipilih adalah konsentrasi atau obyek vital
yang di operasikan oleh militan Islamic State, yaitu kamp pelatihan,
barak-barak militer, markas dan kendaraan tempur di wilayah bagian Utara
dan Timur Suriah. Keputusan untuk melakukan serangan udara diputuskan
pada hari Senin oleh Kepala Komando Sentral AS, Jenderal Lloyd Austin,
"Di bawah otorisasi yang diberikan kepadanya oleh panglima tertinggi,"
kata Juru Bicara Pers Pentagon Kirby.
Beberapa hari sebelumnya, Duta Besar
Amerika untuk PBB, Samantha Power, memberitahu kepada perwakilan
Suriah di PBB tentang rencana serangan. Tetapi dia tidak meminta izin
atau menyampaikan kapan waktunya dan apa targetnya. Benjamin J.
Rhodes, wakil penasehat keamanan nasional Presiden Obama
mengatakan, "Kami memperingatkan mereka untuk tidak menimbulkan ancaman
bagi pesawat kami," katanya. Dia mengatakan bahwa presiden telah
mengeluarkan perintah untuk serangan pada hari Kamis minggu lalu, sehari
setelah mengunjungi markas Komando Sentral Amerika Serikat (US Central Command) di Tampa yang bertanggung jawab sebagai pelaksana operasi.
Kampanye udara terhadap Khorasan dan
Negara Islam dengan sasaran terpisah itu berlangsung ketika Presiden
Obama terbang ke New York untuk bertemu dengan para pemimpin dunia yang
berkumpul pada sidang pembukaan Majelis Umum PBB. Obama tidak meminta
izin PBB untuk kampanye militer tersebut, tetapi ia menyatakan bahwa
serangan sebagai sebagai sebuah kolaborasi koalisi multinasional yang
termasuk lima negara Arab, yaitu Arab Saudi, Yordania, Uni Emirat Arab,
Qatar dan Bahrain.
Amerika Serikat jelas sangat
memperhitungkan karena target berada di wilayah Suriah, tidak akan
mengambil resiko terhadap sistem pertahanan udara Suriah yang sangat
terkenal karena adanya dukungan dari Rusia. Suriah telah membeli sistem
Hanud (Pertahanan Udara) terpadu dari Rusia, selain radar juga
dilengkapi dengan peluru kendali S-300 dan rudal anti kapal
Yakonts. Nampaknya memang AS dan sekutunya, negara-negara Arab sangat
mengkhawatirkan Rudal S-300. Rudal ini memiliki jangkauan hingga 200
kilometer (125 mil) dan mempunyai kemampuan untuk melacak dan menyerang
beberapa sasaran secara bersamaan dengan presisi yang mematikan.
Para pejabat Rusia mengatakan S-300 juga
mampu menembak jatuh hulu ledak rudal balistik jarak pendek dan
menengah. Rusia menegaskan bahwa S-300 lebih unggul dibandingkan dengan
sistem rudal Patriot AS. Presiden Rusia, Putin pada Selasa (11/6)
menggambarkannya sebagai "mungkin senjata tersebut terbaik di dunia."
Oleh karena itu dengan beberapa
kombinasi kepemilikan sistem Hanud, laut dan darat Suriah yang
terintegrasikan dalam sebuah sistem pertahanan yang dibangun Rusia,
nampaknya wilayah udara Suriah akan dikunci dengan alutsista Rusia dan
negara-negara Barat harus memperhitungkannya dengan teliti. Disinilah
peran kunci sebuah teknologi persenjataan yang terintegrasi.
Ternyata dalam uji coba serangan awal
terhadap sasaran Islamic State serta target kelompok militan Khorasan
(sempalan Al-Qaeda), dengan F-22, komando sentral memonitor bahwa sistem
hanud Suriah tidak diaktifkan. AS selama ini mendukung para pemberontak
untuk menggulingkan Rezim Bashar al-Ashad, tetapi kini yang diserang
kekuatan udara AS adalah kekuatan pasukan darat Islamic State, serta
kelompok Khorasan (Al-Qaeda) yang juga musuh pemerintah Suriah. Sehingga
Suriah hanya berdiam diri, dan bahkan agak bersyukur karena selama
setahun banyak anggota pasukannya yang tewas melawan IS.
Jenderal Martin Dempsey, Ketua Kepala
Staf Gabungan AS sejak awal memperkirakan bahwa pertahanan udara
pemerintah Bashar al-Assad kebanyakan dikonfigurasi di pantai Barat
Suriah, jauh dari wilayah yang dikuasai oleh militan Islamic State.
Dalam serangan awal itu tidak ada indikasi bahwa pesawat-pesawat sekutu
mendapat ancaman serangan dari pertahanan udara militer Suriah. Sebuah
perhitungan yang matang dan dengan presisi tinggi.
Peta Serangan AS dan Koalisi ke Target Militan IS dan Khorasan (Foto: AFP)
Setelah melakukan serangan awal yang
sangat aman dengan F-22 Raptor, pada hari Selasa (23/9) pagi, Amerika
Serikat dan sekutu Arab memulai kampanye pengeboman terhadap beberapa
target, yaitu pangkalan, pusat latihan dan pos-pos pemeriksaan di
setidaknya empat provinsi di Suriah. Secara terpisah, US Central Command
menyerang Khorasan, jaringan Al-Qaeda yang diduga merencanakan serangan
teror terhadap negara Barat di Raqqa Suriah Timur, serta di provinsi
Idlib yang menimbulkan jatuhnya korban dikalangan elit Khorasan. Ada
laporan yang belum dikonfirmasi bahwa serangan itu juga terjadi di dekat
Deir Azzor dan Aleppo barat.
Sebuah pernyataan Pentagon mengatakan 14
serangan terhadap sasaran IS dilakukan bersama-sama dengan AU Bahrain,
Yordania, Arab Saudi, Uni Emirat Arab dan Qatar.
Raqqa merupakan salah satu target operasi, yang dimulai pada Selasa dini
hari pagi waktu setempat. Kepala Observatorium Suriah untuk Hak Asasi
Manusia, Rami Abdulrahman, kepada Reuters melalui telepon di Beirut
bahwa serangan udara menghantam pos pemeriksaan di kota Raqqa dan
sekitarnya. Puluhan pejuang IS tewas atau terluka dalam serangan,
katanya.
Sekretaris Pers di Pentagon, John Kirby
menyatakan bahwa serangan udara gabungan dilakukan oleh pesawat tempur
F-22, F-15E, F-16, F/A-18, B-1 pembom dan pesawat tanpa awak (Drone)
terus berlangsung pada Selasa kemarin. Sementara Komando Sentral AS di
Tampa Florida menyatakan bahwa sebanyak 47 rudal Tomahawk telah
ditembakkan kapal perang USS Arleigh Burke dan USS Philippine Sea yang
beroperasi dari perairan internasional. Semua pesawat penyerang
dilaporkan kembali dengan selamat.
Setelah serangan pembuka pada Senin
malam yang dilanjutkan Selasa pagi, kemudian terjadi penguatan kekuatan
udara oleh pesawat-pesawat tempur Perancis Rafale yang menyerang target
di Irak. Kekuatan udara AS dilaporkan sejak Agustus lalu diberitakan
telah melakukan serangan udara sebanyak 194 shorty ke ISIS di Irak.
Inggris mengirimkan enam pesawat tempur Tornado yang berpangkalan di
Cyprus, disamping mengirimkan pasukan khusus bergabung dengan pasukan
Pesh Merga Kurdi. Sementara Jerman tidak melibatkan pesawat tempurnya
dalam operasi udara tersebut.
Kini yang menjadi masalah, dukungan
udara AS serta sekutu nampaknya tidak akan berhasil melumpuhkan militan
Islamic State. Apabila para militan bergerak di padang pasir, mereka
akan menjadi sasaran empuk dan mudah dihancurkan oleh AU gabungan AS,
tetapi mereka sulit di hancurkan apabila memasuki keperkotaan yang
berpenduduk. Serangan AU Amerika sejak bulan Agustus ke Irak menurut
beberapa sumber nampaknya tidak terlalu melemahkan IS.
Situasi dan kondisi berbeda saat AS dan
sekutu mendukung dengan serangan udara saat terjadinya pemberontakan dan
perang saudara di Libya. Para pemberontak anti Khadafi demikian militan
sehingga dengan dukungan serangan udara langsung, kavaleri (tank)
pasukan loyalis Khadafi mudah di hancurkan AU Amerika dan pemberontak
akhirnya berhasil menguasai Tripoli. Kondisi di Irak dan Suriah berbeda.
Di Irak, pasukan yang dilatih AS sebanyak 250.000 mentalnya jatuh dan
tidak mampu melawan militan Islamic State yang jumlahya saat awal hanya
sekitar 12.000 (menurut laporan CIA kini sekitar 31.000). Militer Irak
di kota Mosul dilaporkan melarikan diri saat ISIS menyerbu masuk, dengan
meninggalkan perlengkapan militernya. Kini AS dan sekutu lebih
bergantung kepada pasukan Pesh Merga Kurdi serta Free Syrian Army untuk
melawan militan Islamic State di darat yang jumlahnya terus bertambah.
Pada waktu-waktu yang lalu infanteri
Islamic State lemah dalam taktik pertempuran, tetapi kini mereka mampu
memperbaiki diri dan justru kini infanterinya lebih kuat, titik lemahnya
hanya tidak memiliki pertahanan udara. Senjata penangkis udara hanya
berupa meriam ringan yang dibawa di mobil bak terbuka, bukan ancaman
untuk dapat menjatuhkan pesawat tempur penyerang canggih. Keberhasilan
anti pesawat udara hanya pernah menembak sebuah drone yang kecepatannya
rendah.
Kini, mau tidak mau Amerika akan kembali
terlibat dalam konflik di Irak dan Suriah. Keterbatasan serangan AS
karena Presiden Barack Obama memutuskan tidak akan mengirimkan pasukan
darat dalam jumlah besar ke medan tempur tersebut. Obama menyatakan
bahwa IS bukan merupakan ancaman nasional langsung terhadap AS.
Kebijakan AS kini telah bergeser ke Poros Asia dengan konsep rebalancing strategy.
Oleh karena itu tidak ada yang dapat memperkirakan kapan kemelut di
Suriah dan Irak ini akan selesai. Sekretaris Pers Pentagon, John Kirby
memperkirakan kampanye akan bisa berlangsung antara 2-3 tahun.
Yang terpenting dan harus disadari oleh
AS, sekutu dan negara-negara lain di dunia, bahwa masyarakat
internasional sedang menghadapi sebuah gerakan dengan memanfaatkan nama
Islam, berupa ke khalifahan. Di dalamnya di awaki oleh mereka-mereka
yang percaya, militan, fanatis dan siap mati demi sebuah tujuan yaitu
terbentuknya Islamic State (Daulah Islamiyah) dunia dengan pimpinan Abu
Bakr al-Baghdadi. Banyak muslim yang telah berba'iat kepadanya, termasuk
ada yang di Indonesia.
Konsep Baghdadi dengan penerapan syariah
yang keras, fanatis dan kejam banyak menarik perhatian kaum radikal
muslim. Islamic State dinilai akan jauh lebih sukses dibandingkan
Al-Qaeda, karena mendeklarasikan terbentuknya Negara Islam lebih awal,
sedang Al-Qaeda selama ini menyatakan menunda hingga terbentuknya
infrastruktur dahulu.
Bukan senjata modern yang mereka miliki,
tetapi cukup sebuah senapan AK serta bendera hitam yang dikeramatkan.
Bahkan PM Australia Tony Abbott menyatakan, teroris Islamic State hanya
membutuhkan sebuah pisau dan Iphone serta internet untuk melakukan
teror keseluruh dunia. Inilah sebuah realita teror yang mampu
menimbulkan rasa takut masyarakat internasional. IS harus diwaspadai
karena diperkirakan akan menuju ke Senjata Pemusnah Massal (SPM),
senjata biologi dan kimia. Indikasi ini sudah ada sejak ada gudang
senjata Suriah mampu mereka rebut. Penulis setuju dengan beberapa
pendapat analis intelijen, bahwa ancaman Islamic State akan muncul lebih
nyata di banyak negara apabila mereka yang bergabung ke IS pada saatnya
kembali ke negaranya.
Kesimpulannya, walau F-22 dimainkan,
pembom B-1 dikirimkan, sulit untuk menetralisir militan IS hanya dengan
serangan udara. Menurut Fareed Zakaria jauh hari sebelumnya, "Di mata
para ekstremis radikal anti-Amerika Serikat itu, Amerika Serikat adalah
seorang preman global yang campur tangannya di dunia Islam harus
dibendung dengan segala cara yang diperlukan," (Why Do They Hate Us?"
Newssweek 15 Oktober 2001).
Apabila AS terlibat dalam conditioning operation pembentukan
ISIS seperti diberitakan oleh Snowden, penanganan IS kini tidak bisa
hanya diserahkan kepada militer belaka. Amerika yang selalu ingin campur
dibelahan dunia lain, kini telah terseret dalam kemelut dan konflik
sektarian di kawasan itu dalam pertempuran ideologis antara Syiah dan
Sunni. Sebuah wilayah perjuangan untuk merebut hati dan pikiran dimana
Islamic State telah meraih sejumlah kemenangan. Karena itu seperti
menangani Al-Qaeda, Amerika harus memahami semesta simbolis untuk bisa
selamat. Lantas...Siapa Islamic State ini? Nampaknya kita harus berjuang
sendiri dalam mempertahankan stabilitas keamanan kita dari kemungkinan
ancaman ideologis dan fanatisme ini, karena mereka telah merambah
kemana-mana bak virus. Ini intinya.