Tidak lama setelah rezim Orde Baru mengambil alih kendali
pemerintahan pada 1966, gagasan tokoh militer A.H Nasution soal
dwifungsi tentara diterapkan di seluruh lini kehidupan masyarakat. Makna
dwifungsi adalah menempatkan perwakilan tentara pada posisi-posisi
penting dalam bidang sosial, politik, ekonomi, sampai kenegaraan, alias
dominasi total terhadap roda pemerintahan republik.
Dominasi militer itu turut menjalar sampai ke pengelolaan Badan Usaha
Milik Negara (BUMN). Pada masa jaya Orde Baru, perwira tinggi ABRI
menjalankan perusahaan pelat merah yang strategis, seperti PT Pertamina
ataupun PT Perusahaan Gas Negara.
Salah satu pimpinan BUMN dari kalangan militer yang paling menonjol
adalah Kolonel Ibnu Sutowo sebagai Direktur Utama Pertamina sejak 1968.
Pria yang awalnya berpendidikan dokter ini bisa berkecimpung dalam dunia
perminyakan berkat perintah KASAD A.H Nasution yang menyuruhnya
mengelola PT Tambang Minyak Sumatera Utara pada 1957.
Hasilnya, Pertamina sempat jaya, tapi bukan karena kepemimpinan
Sutowo. Melainkan produksi minyak Indonesia untung besar akibat harga
dunia melonjak di awal 1970-an.
Tapi, periode Sutowo sekaligus menjadi salah satu paling suram dalam
sejarah Pertamina. Harian Indonesia Raya pimpinan Mochtar Lubis pada
edisi 30 Januari 1970 memberitakan dugaan korupsi sang dirut yang
memiliki rekening sebesar Rp 90,48 miliar, ketika kurs rupiah hanya Rp
400 per dolar.
Presiden Soeharto sampai gerah dan membentuk tim khusus menguak
korupsi tersebut. Pada 1975, terbukti, Pertamina ambruk terlilit krisis
utang, dan Sutowo hengkang sebelum kasusnya terbongkar.
Ekonom Dawam Rahardjo dalam diskusi di Gedung Arsip Nasional,
Jakarta, kemarin, menyatakan bahwa potensi penyimpangan BUMN sangat
besar di masa Orde Baru. Sebab, kalangan yang tidak profesional,
contohnya Sutowo yang berlatarbelakang dokter militer, dipaksakan
memimpin perusahaan negara bidang energi.
Menyerahkan pengelolaan perusahaan negara pada tentara, imbuh Dawam,
sangat berpotensi menimbulkan penyelewengan. "Banyak perusahaan pada
masa Orde baru dipimpin oleh jenderal-jenderal dan berpotensi politik
terhadap BUMN," ungkapnya di sela-sela diskusi.
Selain itu, di masyarakat juga muncul stigma atau pendapat negatif
mengatakan jika perusahaan dipimpin oleh tentara maka perusahaan tidak
akan menjadi profesional.
"Ada stigma mengatakan jika dipimpin militer akan menurunkan langsung
produksi. BUMN tidak bisa jadi unit bisnis karena didukung orang yang
bukan profesinya," kata Dawam.
Alasan lain muncul stigma itu karena di masa Orde Baru, pejabat
militer yang memegang posisi direksi BUMN laporan tanggung jawabnya
sering bukan kepada menteri terkait, tapi kepada atasannya. Sebab budaya
militer menerapkan hirarki kepatuhan berjenjang, seperti dikutip dari
buku Hegemoni Tentara(1998) karyaM.Najib Azca.
Soal laporan kinerja yang tidak transparan ini juga disepakati oleh
pengamat BUMN Said Didu. Zaman kepemimpinan Soeharto, perusahaan pelat
merah tidak perlu profesional karena seperti divisi sebuah kementerian.
Misalnya, PTPN otomatis di bawah Kementerian Kehutanan, atau Bank BNI
bagaikan direktorat khusus Kementerian Keuangan.
"Dulu kinerja BUMN menyatu dengan kinerja pemerintah, susah diukur.
Ketika bekerja di BUMN, saya mengalami 3 periode menteri, kalau bukan
profesional, maka dia akan menjadi sangat rawan intervensi, dan saya
mengalami sendiri. Bahaya sekali kalau nonprofesional," kata pengamat
BUMN Said Didu saat dihubungi merdeka.com, Selasa (4/6).
Walaupun rawan konflik kepentingan, baik Dawam maupun Didu sepakat
bahwa tidak semua pimpinan BUMN dari unsur tentara jelek. Beberapa tokoh
militer berhasil memajukan usaha perusahaan negara yang mereka pimpin.
Tapi, idealnya, perusahaan negara dikendalikan oleh profesional yang
kuat dalam manajemen dan rasional berbisnis.
"Musuh utama BUMN hanya intervensi, dan semakin profesional seseorang
semakin susah dia diintervensi kepentingan lain yang bisa merugikan
BUMN dan negara," kata Didu.
Karena itulah, Didu berharap pemerintah fokus pada semangat reformasi
BUMN sejak keluar UU Nomor 19 Tahun 2003 yang awalnya diusahakan Tanri
Abeng. Sejak masa perubahan ini, BUMN tidak lagi di bawah kendali
menteri, membuka kesempatan mendapat suntikan dana dari swasta, serta
yang paling penting, dijalankan profesional dan harus untung.
Karena itu, Didu menilai BUMN di masa sekarang kondisinya lebih baik dibanding masa Orde Baru.
"Sekarang BUMN lebih transparan, untuk menyebut kinerjanya bagus
lebih terukur, menterinya juga cuma satu, sehingga pintu intervensinya
berkurang. Ini harus dilanjutkan lah, intinya jangan sampai dipimpin
nonprofesional," tandasnya.
Merdeka