Tidak selalu pesawat terbaik yang memenangkan pertempuran udara.
Sebagian besar faktor yang menentukan adalah pelatihan, keterampilan,
dan pengalaman sang pilot. Itulah sebabnya seorang pilot terlatih yang
menggunakan pesawat yang inferior mampu mengalahkan pesawat yang lebih
kuat yang dikemudikan oleh pilot yang hampir terlatih.
Selama Perang Dunia II, ada dua pesawat tempur yang paling sukses dalam sejarah duel udara (dogfight), adalah si legendaris Supermarine Spitfire Inggris dan Messerschmitt Bf 109 Jerman yang menakutkan. Dogfight menggunakan dua pesawat ini dimulai di pantai Dunkirk Prancis hingga hari-hari terakhir Perang Dunia II.
Dalam dogfight yang berlangsung di udara, kedua jenis pesawat ini masing-masing telah ada yang jatuh (utuh) di tangan lawan. Memberikan kesempatan bagi keduanya yaitu Angkatan Udara Inggris (Royal Air Force/RAF) dan Luftwaffe (Senjata Udara / Angkatan Udara Jerman) kesempatan untuk menguji masing-masing pesawat musuh.
Selama Perang Dunia II, ada dua pesawat tempur yang paling sukses dalam sejarah duel udara (dogfight), adalah si legendaris Supermarine Spitfire Inggris dan Messerschmitt Bf 109 Jerman yang menakutkan. Dogfight menggunakan dua pesawat ini dimulai di pantai Dunkirk Prancis hingga hari-hari terakhir Perang Dunia II.
Dalam dogfight yang berlangsung di udara, kedua jenis pesawat ini masing-masing telah ada yang jatuh (utuh) di tangan lawan. Memberikan kesempatan bagi keduanya yaitu Angkatan Udara Inggris (Royal Air Force/RAF) dan Luftwaffe (Senjata Udara / Angkatan Udara Jerman) kesempatan untuk menguji masing-masing pesawat musuh.
Supermarine Spitfire (Foto : davevankeuren.blogspot.com) |
Pesawat Spitfire Mk I utuh yang pertama, ditangkap oleh Jerman saat
evakuasi Dunkirk dan segera diuji coba Jerman melawan pesawatnya Bf 109E
dalam sebuah latihan pertempuran (mock).
Spitfire tersebut diterbangkan oleh pilot tes Mayor Werner Molders, yang pada saat itu menjadi Ace terkemuka Luftwaffe (Jerman) telah memenangkan 25 pertempuran udara. Pesawat itu masih menggunakan dua baling-baling tua dan memiliki tingkat pendakian yang rendah dibanding Spitfire Mk I yang sudah dilengkapi dengan baling-baling kecepatan konstan.
Dan sang pilot Jerman menemukan bahwa jika pilot menurunkan "hidung" Spitfire dan melakukan negatif "G" (G= berat/satuan massa), float karburator dari mesin Merlin akan berhenti mengalirkan bahan bakar dan hasilnya mesin akan cut out.
Sebaliknya Bf 109E tidak mengalami masalah sejak sistem injeksi bahan bakarnya dilengkapi dengan Daimler Benz DB 601. Karena "cacat" ini, desainer berpikir bahwa bahkan jika Spitfire telah mencapai kinerja umum mendekati Bf 109, itu tetap tidak bagus untuk sebuah pesawat tempur.
Spitfire tersebut diterbangkan oleh pilot tes Mayor Werner Molders, yang pada saat itu menjadi Ace terkemuka Luftwaffe (Jerman) telah memenangkan 25 pertempuran udara. Pesawat itu masih menggunakan dua baling-baling tua dan memiliki tingkat pendakian yang rendah dibanding Spitfire Mk I yang sudah dilengkapi dengan baling-baling kecepatan konstan.
Dan sang pilot Jerman menemukan bahwa jika pilot menurunkan "hidung" Spitfire dan melakukan negatif "G" (G= berat/satuan massa), float karburator dari mesin Merlin akan berhenti mengalirkan bahan bakar dan hasilnya mesin akan cut out.
Sebaliknya Bf 109E tidak mengalami masalah sejak sistem injeksi bahan bakarnya dilengkapi dengan Daimler Benz DB 601. Karena "cacat" ini, desainer berpikir bahwa bahkan jika Spitfire telah mencapai kinerja umum mendekati Bf 109, itu tetap tidak bagus untuk sebuah pesawat tempur.
Messerschmitt Bf 109 (Foto : world-war-2-planes.webs.com) |
Sebuah Messerschmitt Jerman juga ditangkap secara utuh oleh RAF pada
bulan November 1939. Ketika itu sebuah Messerschmitt Bf 109E dipaksa
turun di Perancis, lalu dibawa ke lokasi uji penerbangan Farnborough
untuk menghadapi Spitfire Mk I. Hasil tes menunjukkan bahwa
Messerschmitt Bf 109E jauh lebih unggul dalam pertempuran udara di
ketinggian 4.000 kaki. Tetapi disinyalir Messerschmitt memiliki masalah
dengan sistem pendingin mesin.
Dari semua hasil, Inggris menemukan bahwa Spitfire lebih baik dari Messerschmitt pada pertempuran di ketinggian menengah dalam pertempuran berputar, sementara Bf 109E Jerman lebih unggul pada ketinggian tinggi di dalam pertempuran kecepatan tinggi.
Tetapi uji coba mereka itu belum valid jika hanya sampai titik tertentu saja karena ketika kedua varian pesawat tempur itu bertemu satu sama lain dalam pertempuran udara di langit Inggris, dimana dogfights berlangsung di ketinggian antara 13.000 dan 20.000 kaki -ketinggian untuk pesawat pembom Jerman-, pada ketinggian itulah kinerja dua pesawat tempur lebih mendekati realita.
Namun selama Battle of Britain, pesawat-pesawat tempur Jerman lebih memiliki keunggulan karena tingginya tingkat pelatihan pilot Luftwaffe. Faktanya, kebanyakan dari pilot-pilot Jerman itu adalah mereka yang telah memperoleh pengalaman dari Legiun Conor saat Perang Saudara Spanyol. Sebaliknya pilot Inggris kurang berpengalaman, namun mereka hanya terbang di langit negara mereka dan mereka berjuang segenap usaha untuk mempertahankanya. Dua alasan inilah dan juga karena faktor kesalahan strategis Jerman lah yang memberikan mereka banyak motivasi dan menjadikan duel udara di antara keduanya sama tingkatnya.
Selama Perang Dunia II, banyak varian lain dari dua pesawat itu jatuh ke tangan masing-masing lawan dan masing-masing diuji coba. Hasilnya adalah Bf 109G lebih cepat dari Spitfire di semua ketinggian, tingkat pendakiannya sama yaitu sekitar 16.000 kaki. Sementara untuk altitude (ketinggian) Spitfire Mk XIV melebihi Bf 109G.
Dari semua hasil, Inggris menemukan bahwa Spitfire lebih baik dari Messerschmitt pada pertempuran di ketinggian menengah dalam pertempuran berputar, sementara Bf 109E Jerman lebih unggul pada ketinggian tinggi di dalam pertempuran kecepatan tinggi.
Tetapi uji coba mereka itu belum valid jika hanya sampai titik tertentu saja karena ketika kedua varian pesawat tempur itu bertemu satu sama lain dalam pertempuran udara di langit Inggris, dimana dogfights berlangsung di ketinggian antara 13.000 dan 20.000 kaki -ketinggian untuk pesawat pembom Jerman-, pada ketinggian itulah kinerja dua pesawat tempur lebih mendekati realita.
Namun selama Battle of Britain, pesawat-pesawat tempur Jerman lebih memiliki keunggulan karena tingginya tingkat pelatihan pilot Luftwaffe. Faktanya, kebanyakan dari pilot-pilot Jerman itu adalah mereka yang telah memperoleh pengalaman dari Legiun Conor saat Perang Saudara Spanyol. Sebaliknya pilot Inggris kurang berpengalaman, namun mereka hanya terbang di langit negara mereka dan mereka berjuang segenap usaha untuk mempertahankanya. Dua alasan inilah dan juga karena faktor kesalahan strategis Jerman lah yang memberikan mereka banyak motivasi dan menjadikan duel udara di antara keduanya sama tingkatnya.
Selama Perang Dunia II, banyak varian lain dari dua pesawat itu jatuh ke tangan masing-masing lawan dan masing-masing diuji coba. Hasilnya adalah Bf 109G lebih cepat dari Spitfire di semua ketinggian, tingkat pendakiannya sama yaitu sekitar 16.000 kaki. Sementara untuk altitude (ketinggian) Spitfire Mk XIV melebihi Bf 109G.
Lima puluh tahun kemudian, di pertengahan tahun 1990-an, teknologi sudah mengubah cara pesawat tempur bertempur. Namun pertempuran udara masih merupakan bagian penting dari pelatihan untuk setiap pilot angkatan udara dan masih merupakan cara yang terbaik untuk mengetahui kemampuannya dibanding pesawat lain.
Su-27 (Foto : virtual-jabog32.de) |
Selama dekade terakhir abad kedua puluh satu, musuh yang paling mematikan bagi pasukan udara Barat adalah Sukhoi Su-27 Flanker.
Kelas Su-27 (varian standar/awal) disamakan dengan F-14 dan F-15 dari AS, namun tidak seperti kedua pesawat tempur Amerika itu, Su-27 bisa terbang pada sudut serang 30 derajat dan juga mampu melakukan "Pughacev Cobra", sebuah manuver aerobatik di mana hidung pesawat ke atas (posisi vertikal) pada tingkat 70 derajat perdetik dan setelah itu kembali ke posisi semula. Karena manuver ini, Flanker telah menjadi sorotan dalam setiap pertunjukan udara dari akhir tahun 80-an ke pertengahan 90-an.
Pada tanggal 20 April lalu, sebuah artikel yang ditulis oleh Dave Majumdar untuk Flightglobal DEW Line, berbicara tentang Gerry Gallop, mantan instruktur TOP GUN dan seorang pilot Angkatan Laut AS berpengalaman yang telah menerbangkan F-4, F-14A dan B, F-15, F-16, F-18 (yang lama maupun Super Hornet) dan juga A-4.
Setelah Gallop mengakhiri karirnya di Angkatan Laut, ia menjadi wakil presiden senior dan kepala operasi Tactical Air Support, operator swasta yang menerbangkan Su-27 dalam waktu yang tidak lama dan selama periode yang singkat ini ia memiliki kesempatan untuk menerbangkan Flanker tersebut.
Dalam sebuah serangan mendadak di atas Ukraina, Gallop sangat terkesan dengan akselerasi dan seberapa cepatnya Flanker Rusia tersebut terbang di ketinggian tinggi. Mesinnya yang powerfull, bersama dengan aerodinamika yang luar biasa dan dengan rudal IR jarak pendek AA-11 Archer menjadikan Su-27 sebagai dogfighter terbaik di era 90-an, musuh yang sangat menakutkan bagi seluruh jet tempur barat.
AA-11 Archer pada tahun 90-an adalah rudal udara-ke-udara terbaik di dunia yang dapat dihubungkan dengan sistem kontrol tembak pada helm pilot dan mampu menembak sasaran hingga 45 derajat dari sumbu pesawat. Kedua kemampuan ini tidak dimiliki oleh rudal AIM-9M Sidewinder, rudal jarak pendek terbaik milik barat kala itu.
Kelas Su-27 (varian standar/awal) disamakan dengan F-14 dan F-15 dari AS, namun tidak seperti kedua pesawat tempur Amerika itu, Su-27 bisa terbang pada sudut serang 30 derajat dan juga mampu melakukan "Pughacev Cobra", sebuah manuver aerobatik di mana hidung pesawat ke atas (posisi vertikal) pada tingkat 70 derajat perdetik dan setelah itu kembali ke posisi semula. Karena manuver ini, Flanker telah menjadi sorotan dalam setiap pertunjukan udara dari akhir tahun 80-an ke pertengahan 90-an.
Pada tanggal 20 April lalu, sebuah artikel yang ditulis oleh Dave Majumdar untuk Flightglobal DEW Line, berbicara tentang Gerry Gallop, mantan instruktur TOP GUN dan seorang pilot Angkatan Laut AS berpengalaman yang telah menerbangkan F-4, F-14A dan B, F-15, F-16, F-18 (yang lama maupun Super Hornet) dan juga A-4.
Setelah Gallop mengakhiri karirnya di Angkatan Laut, ia menjadi wakil presiden senior dan kepala operasi Tactical Air Support, operator swasta yang menerbangkan Su-27 dalam waktu yang tidak lama dan selama periode yang singkat ini ia memiliki kesempatan untuk menerbangkan Flanker tersebut.
Dalam sebuah serangan mendadak di atas Ukraina, Gallop sangat terkesan dengan akselerasi dan seberapa cepatnya Flanker Rusia tersebut terbang di ketinggian tinggi. Mesinnya yang powerfull, bersama dengan aerodinamika yang luar biasa dan dengan rudal IR jarak pendek AA-11 Archer menjadikan Su-27 sebagai dogfighter terbaik di era 90-an, musuh yang sangat menakutkan bagi seluruh jet tempur barat.
AA-11 Archer pada tahun 90-an adalah rudal udara-ke-udara terbaik di dunia yang dapat dihubungkan dengan sistem kontrol tembak pada helm pilot dan mampu menembak sasaran hingga 45 derajat dari sumbu pesawat. Kedua kemampuan ini tidak dimiliki oleh rudal AIM-9M Sidewinder, rudal jarak pendek terbaik milik barat kala itu.
F-14 Tomcat (Foto : armasvoadoras.blogspot.com) |
Ketika dibandingkan, Tomcat (F-14) tidak kalah cepat dari Su-27, namun
pesawat tempur Amerika itu lebih condong kepada pertempuran jarak dekat
saja. Soal manuver, Tomcat kalah dengan Su-27, maupun Tomcat varian B
atau D yang sudah menggunakan mesin powerfull General Electric
F110-GE-400.
Namun kembali lagi, pesawat musuh yang tangkas dapat "dikirikan" karena seorang pilot yang terlatih. Tomcat juga bisa menggunakan rudal jarak jauh AIM-54C Phoenix. Seperti yang dijelaskan beberapa pilot Tomcat, tidak peduli bagaimana pesawat musuh lebih gesit untuk menargetkan F-14 dalam pertempuran udara, karena berkat kombinasi taktik Tomcat, sensor (seperti F-14D yang AAS-42 yang memiliki rentang dan resolusi yang lebih besar daripada seeker IRST yang dipasang oleh Su-27) dan senjatanya, maka setiap pesawat tempur musuh akan tertarget pada jarak yang jauh.
Jadi, mana yang terbaik di antara dua pesawat tempur ini ?
Sangat sulit untuk menjawab pertanyaan ini, tetapi seperti yang dijelaskan oleh Dale "Snort" Snodgrass, orang yang paling berpengalaman dengan F-14, dalam beberapa hal Su-27 lebih unggul dari F-14 dan F-15, sedangkan dalam beberapa hal lain, pesawat tempur Amerika lebih baik daripada Flanker. Tetapi yang benar-benar bisa membuat perbedaan adalah seberapa terlatih pilot yang menerbangkannya.
Namun kembali lagi, pesawat musuh yang tangkas dapat "dikirikan" karena seorang pilot yang terlatih. Tomcat juga bisa menggunakan rudal jarak jauh AIM-54C Phoenix. Seperti yang dijelaskan beberapa pilot Tomcat, tidak peduli bagaimana pesawat musuh lebih gesit untuk menargetkan F-14 dalam pertempuran udara, karena berkat kombinasi taktik Tomcat, sensor (seperti F-14D yang AAS-42 yang memiliki rentang dan resolusi yang lebih besar daripada seeker IRST yang dipasang oleh Su-27) dan senjatanya, maka setiap pesawat tempur musuh akan tertarget pada jarak yang jauh.
Jadi, mana yang terbaik di antara dua pesawat tempur ini ?
Sangat sulit untuk menjawab pertanyaan ini, tetapi seperti yang dijelaskan oleh Dale "Snort" Snodgrass, orang yang paling berpengalaman dengan F-14, dalam beberapa hal Su-27 lebih unggul dari F-14 dan F-15, sedangkan dalam beberapa hal lain, pesawat tempur Amerika lebih baik daripada Flanker. Tetapi yang benar-benar bisa membuat perbedaan adalah seberapa terlatih pilot yang menerbangkannya.