Pemanfaatan UAV di Indonesia pertama kali dirasakan manfaatnya saat melacak keberadaan sandera di pedalaman hutan Papua. saat itu operasi militer satuan khusus TNI AD, Kopassus, ditugasi melakukan operasi penyelamatan para peneliti Ekspedisi Lorentz'95 yang disandera Organisasi Papua Merdeka (OPM).
HINGGA kini perkembangan pesawat tanpa awak (Unmanned Aerial
Vehicle/UAV) di Indonesia masih jauh dari yang yang di harapkan.
Meskipun telah banyak prototipe yang di hasilkan oleh instansi
pemerintah (BUMN) dan swasta, namun belum ada satupun yang berhasil di
komersialisasi.
Pemanfaatan UAV di Indonesia pertama kali dirasakan manfaatnya saat
melacak keberadaan sandera di pedalaman hutan Papua. saat itu operasi
militer satuan khusus TNI AD, Kopassus, ditugasi melakukan operasi
penyelamatan para peneliti Ekspedisi Lorentz'95 yang disandera
Organisasi Papua Merdeka (OPM).
Karena luasnya medan operasi di hutan Mapenduma, Jayawijaya, Kopassus
meminta bantuan pesawat pengintai (UAV) dari negara lain, untuk
mendeteksi keberadaan OPM. Pengintaian dilakukan untuk mengatur strategi
penggelaran operasi militer.
Keberhasilan penggunaan UAV ini adalah awal bangkitnya pengenalan
pesawat intai portabel di TNI untuk dapat mengatur strategi pasukan di
lapangan. Dan menjadi awal pemikiran akan teknologi pesawat intai
portabel yang bisa digunakan untuk operasi militer.
Smart Eagle II (SE II) adalah prototype pertama UAV / pesawat tanpa
awak yang dibuat oleh PT. Aviator Teknologi Indonesia guna kepentingan
intelegen Indonesia. SE II menggunakan mesin 2 tak berdiameter 150cc,
mampu terbang hingga 6 Jam. Dilengkapi dengan colour TV Camera. Mampu
beroperasi di malam hari dengan menggunakan Therman Imaging (TIS) kamera
untuk penginderaannya.
Uji coba terbang pernah dilakukan di salah satu tempat di pantai
selatan Jawa Barat, dan berhasil cukup baik. Kemudian dilanjutkan uji
kemampuan manuver, low speed performance, low altitude capability, dan
recovery dari posko pengendali. Hingga ujicoba sistem kendali berupa
monitoring dan data link (telemetry video). Lalu dilanjutkan ujicoba
tahap kendali dan pengamatan di luar jangkauan (beyond visual range).
Melihat kerugian yang diakibatkan illegal logging, eksploitasi alam,
trafficking, pencurian ikan dan lainnya yang berpotensi kerugian sebesar
90 trilyun rupiah tiap tahun, maka jumlah US $ 6 juta untuk pengadaan 6
unit Searcher Mk II atau beberapa milyar untuk pengembangan UAV
Nasional jelas tidak sebanding.