Pages

Friday, 7 June 2013

Apa jadinya ketika perusahaan negara dipimpin tentara?

Tidak lama setelah rezim Orde Baru mengambil alih kendali pemerintahan pada 1966, gagasan tokoh militer A.H Nasution soal dwifungsi tentara diterapkan di seluruh lini kehidupan masyarakat. Makna dwifungsi adalah menempatkan perwakilan tentara pada posisi-posisi penting dalam bidang sosial, politik, ekonomi, sampai kenegaraan, alias dominasi total terhadap roda pemerintahan republik.
Dominasi militer itu turut menjalar sampai ke pengelolaan Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Pada masa jaya Orde Baru, perwira tinggi ABRI menjalankan perusahaan pelat merah yang strategis, seperti PT Pertamina ataupun PT Perusahaan Gas Negara.
Salah satu pimpinan BUMN dari kalangan militer yang paling menonjol adalah Kolonel Ibnu Sutowo sebagai Direktur Utama Pertamina sejak 1968. Pria yang awalnya berpendidikan dokter ini bisa berkecimpung dalam dunia perminyakan berkat perintah KASAD A.H Nasution yang menyuruhnya mengelola PT Tambang Minyak Sumatera Utara pada 1957.
Hasilnya, Pertamina sempat jaya, tapi bukan karena kepemimpinan Sutowo. Melainkan produksi minyak Indonesia untung besar akibat harga dunia melonjak di awal 1970-an.
Tapi, periode Sutowo sekaligus menjadi salah satu paling suram dalam sejarah Pertamina. Harian Indonesia Raya pimpinan Mochtar Lubis pada edisi 30 Januari 1970 memberitakan dugaan korupsi sang dirut yang memiliki rekening sebesar Rp 90,48 miliar, ketika kurs rupiah hanya Rp 400 per dolar.
Presiden Soeharto sampai gerah dan membentuk tim khusus menguak korupsi tersebut. Pada 1975, terbukti, Pertamina ambruk terlilit krisis utang, dan Sutowo hengkang sebelum kasusnya terbongkar.
Ekonom Dawam Rahardjo dalam diskusi di Gedung Arsip Nasional, Jakarta, kemarin, menyatakan bahwa potensi penyimpangan BUMN sangat besar di masa Orde Baru. Sebab, kalangan yang tidak profesional, contohnya Sutowo yang berlatarbelakang dokter militer, dipaksakan memimpin perusahaan negara bidang energi.
Menyerahkan pengelolaan perusahaan negara pada tentara, imbuh Dawam, sangat berpotensi menimbulkan penyelewengan. "Banyak perusahaan pada masa Orde baru dipimpin oleh jenderal-jenderal dan berpotensi politik terhadap BUMN," ungkapnya di sela-sela diskusi.
Selain itu, di masyarakat juga muncul stigma atau pendapat negatif mengatakan jika perusahaan dipimpin oleh tentara maka perusahaan tidak akan menjadi profesional.
"Ada stigma mengatakan jika dipimpin militer akan menurunkan langsung produksi. BUMN tidak bisa jadi unit bisnis karena didukung orang yang bukan profesinya," kata Dawam.
Alasan lain muncul stigma itu karena di masa Orde Baru, pejabat militer yang memegang posisi direksi BUMN laporan tanggung jawabnya sering bukan kepada menteri terkait, tapi kepada atasannya. Sebab budaya militer menerapkan hirarki kepatuhan berjenjang, seperti dikutip dari buku Hegemoni Tentara(1998) karyaM.Najib Azca.
Soal laporan kinerja yang tidak transparan ini juga disepakati oleh pengamat BUMN Said Didu. Zaman kepemimpinan Soeharto, perusahaan pelat merah tidak perlu profesional karena seperti divisi sebuah kementerian. Misalnya, PTPN otomatis di bawah Kementerian Kehutanan, atau Bank BNI bagaikan direktorat khusus Kementerian Keuangan.
"Dulu kinerja BUMN menyatu dengan kinerja pemerintah, susah diukur. Ketika bekerja di BUMN, saya mengalami 3 periode menteri, kalau bukan profesional, maka dia akan menjadi sangat rawan intervensi, dan saya mengalami sendiri. Bahaya sekali kalau nonprofesional," kata pengamat BUMN Said Didu saat dihubungi merdeka.com, Selasa (4/6).
Walaupun rawan konflik kepentingan, baik Dawam maupun Didu sepakat bahwa tidak semua pimpinan BUMN dari unsur tentara jelek. Beberapa tokoh militer berhasil memajukan usaha perusahaan negara yang mereka pimpin. Tapi, idealnya, perusahaan negara dikendalikan oleh profesional yang kuat dalam manajemen dan rasional berbisnis.
"Musuh utama BUMN hanya intervensi, dan semakin profesional seseorang semakin susah dia diintervensi kepentingan lain yang bisa merugikan BUMN dan negara," kata Didu.
Karena itulah, Didu berharap pemerintah fokus pada semangat reformasi BUMN sejak keluar UU Nomor 19 Tahun 2003 yang awalnya diusahakan Tanri Abeng. Sejak masa perubahan ini, BUMN tidak lagi di bawah kendali menteri, membuka kesempatan mendapat suntikan dana dari swasta, serta yang paling penting, dijalankan profesional dan harus untung.
Karena itu, Didu menilai BUMN di masa sekarang kondisinya lebih baik dibanding masa Orde Baru.
"Sekarang BUMN lebih transparan, untuk menyebut kinerjanya bagus lebih terukur, menterinya juga cuma satu, sehingga pintu intervensinya berkurang. Ini harus dilanjutkan lah, intinya jangan sampai dipimpin nonprofesional," tandasnya.

Merdeka