Tentara Rusia
Catatan yang dibuat oleh pedagang Afanasy Nikitin dari kota Tver
mengenai “perjalanannya melampaui tiga laut” –perjalanan ke India (pada
tahun 1466-1472)- menyampaikan data pertama kepada orang Rusia mengenai
adanya suatu negara misterius bernama Shabot yang terletak di Asia
Tenggara. Menurut pendapat para ilmuwan apa yang dimaksudkan dengan nama
tersebut adalah negara Indonesia dengan pusatnya di pulau Sumatera.
Dalam naskah A. Nikitin tercantum data menarik mengenai letaknya negara
dongeng yang jauh itu, mengenai kekayaan alamnya, adat-istiadat dan
tradisi rakyatnya. Menurut catatannya negara Shabot yang terletak
diantara India dan Cina, telah menjalin hubungan dagang dengan
tetangganya dari Utara.
Indonesia selalu menarik perhatian orang Rusia. Nusantara tropis ini
berkali-kali dikunjungi oleh pengembara dan peneliti dari Rusia.
Pada awal abad ke-XVI Indonesia dikuasai oleh penjajah dari Eropa.
Pada mulanya penjajahnya adalah bangsa Portugis. Setelah “armada
agungnya” hancur pada tahun 1588, Portugis yang pada waktu itu bergabung
dengan Spanyol, kehilangan Indonesia: dari tangan Portugis Indonesia
direbut oleh bangsa Belanda. Pada tahun 1602 pedagang Belanda mendirikan
“Syarikat Hindia – Timur Belanda (V.O.C)” yang memperoleh hak untuk
mempunyai tentara sendiri, mengumumkan perang, mengadakan perdamaian,
mengeluarkan uang dsb. Indonesia menjadi milik Belanda selama 350 tahun.
Dalam kurun waktu tersebut rakyat Indonesia memberontak 50 kali melawan
penjajahan Belanda.
Pada abad ke-XIX Belanda menghadapai perlawanan gigih dari rakyat
Kesultanan Aceh (Sumatera Utara). Dalam usahanya memecahkan konflik Aceh
dengan Belanda, Sultan Aceh mencari dukungan dari negara lainnya
termasuk dari Rusia juga.
Pada tahun 1879 selagi kapal layar Rusia “Vsadnik” melabuh di Penang,
delegasi yang terdiri dari wakil-wakil pemberontak Aceh menghubungi
kapten kapal tersebut dengan “permohonan kepada Yang Mulia Sang Pemimpin
Imperator agar negara mereka memperoleh kewarganegaraan Rusia”.
Kementrian Kelautan melapor kepada Tzar mengenai permohonan tersebut
yang memerintahkan mengalihkannya kepada Kementrian Luar Negeri. Jawaban
Kementrian Luar Negeri kepada Kementrian Kelautan menyatakan bahwa pada
saat ini Menteri Luar Negeri berpendapat bahwa tidak mungkin “membahas
masalah mengenai masuknya rakyat Aceh menjadi warganegara Rusia
berhubung di kemudian hari hal tersebut dapat menimbulkan kesalahpahaman
diantara Pemerintahan Imperator dengan Belanda”.
Pada tanggal 15 Pebruari 1904, yang mengemban tugas Konsul Rusia di
Singapura, Rudanovskiy memberitahukan bahwa Sultan Aceh menyampaikan
kepada Konsulat surat permohonan yang dialamatkan kepada Nikolay II
tentang permohonan untuk menerima daerah kekuasaannya dibawah
perlindungan Rusia.
Kementerian Luar Negeri pada tanggal 24 April 1904 menyampaikan
kepada Konsulat Rusia di Singapura bahwa “menurut kesimpulan departemen
kelautan yang dihubungi dalam hal ini, bahwa permohonan tersebut tidak
mungkin dikabulkan. Maka berdasarkan hal tersebut dan dengan
memperhatikan pula bahwa dari segi lain mengabulkan permohonan Sultan
dapat menyebabkan kesulitan yang tak diharapkan dengan pihak Belanda
yang mempunyai koloni di bagian selatan pulau tersebut, kami mohon agar
Anda dengan perkataan yang ramah menolak usulan tersebut dari Sultan
Aceh”.
Sebagai akibat dari pengaktifan politik luar negeri di kawasan Timur
Jauh pada tahun 90-an di abad ke-XIX, Pemerintah Rusia memperlihatkan
perhatiannya terhadap Indonesia. Kapal-kapal militer Rusia dalam
pelayarannya ke Vladivostok mulai lebih sering memasuki
pelabuhan-pelabuhan di Jawa dan Sumatera. Pada tahun 1885, telah dibuka
wakil-konsulat tidak tetap Rusia di Batavia (nama Jakarta pada zaman
itu). Sesuai dengan saran dari Kementrian Kelautan pada tahun 1893
konsulat tersebut dirubah menjadi konsulat tetap. Namun pembukaan
konsulat tidak mendorong perluasan hubungan diantara Rusia dan
Indonesia. Perdagangan diantara kedua negara tersebut tidak dijalankan
secara langsung, melainkan melalui Belanda, Jerman dan Inggris pada
umumnya.
Konsul tetap Rusia di Batavia yang pertama dan terakhir, M.M.Bakunin
bertugas selama lima tahun (1895 –1899). Tidak hanya sekali beliau
mengajukan usulan yang berdasar mengenai pembukaan hubungan dagang
langsung diantara Rusia dan Indonesia. Misalnya M.M. Bakunin mengusulkan
agar komite Armada Sukarela membuka rute pelayaran reguler diantara
Odessa dan Vladivostok dengan singgah di salah satu pelabuhan Indonesia.
Disamping ini M.M. Bakunin mengusulkan agar membuat percobaan kultivasi
teh Jawa, tembakau Sumatera (delhi) dan tumbuhan lainnya di kawasan
selatan Rusia. Namun usulan tersebut tidak mendapat dukungan di
lingkungan pemerintahan.
Maka dengan kenyataan demikian pemeliharaan Konsulat tetap Rusia di
Batavia menjadi sia-sia, sehingga pada tahun 1899 statusnya diturunkan
menjadi tidak tetap, dan pada tahun 1913 konsulat ditutup.
Indonesia yang secara politis tergantung penuh kepada Belanda, tidak
berhak untuk mempunyai perwakilan di luar negeri atau menjalin hubungan
dengan negara tetangga sekalipun. Seluruh hubungan luar negeri Indonesia
dalam bidang ekonomi berada dibawah pengawasan total administrasi
kolonial Belanda.
Pada bulan Maret 1942 penguasa Belanda di Indonesia menyerah kepada tentara Jepang yang kemudian menduduki Negara Indonesia.
Setelah Uni Soviet mengumumkan perang terhadap Jepang, dalam suasana
kekalahan telak militaris Jepang, pada umumnya terjadi peningkatan
gerakan kemerdekaan-pembebasan di kawasan Timur, wakil-wakil gerakan
patriotik Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945 mengumumkan kemerdekaan
Indonesia. Soekarno menjadi Presiden pertama Republik, Wakil-Presiden –
M.Hatta. Namun Belanda tidak menghentikan usahanya untuk mengembalikan
kekuasaannya dan akhirnya berhasil menduduki kembali sebagian besar
wilayah Indonesia. Dalam sidang PBB pada bulan Januari 1946 Uni Soviet
yang pertama menentang aksi Belanda terhadap Indonesia.
Pada Januari 1949, Konferensi 19 negara Asia di New Delhi mengajukan
tuntutan ke Dewan Keamanan PBB untuk memaksa Belanda membebaskan wilayah
yang diduduki dan memberikan kepada Indonesia kedaulatan penuh sebelum
tanggal 1 Januari 1950. Pada akhirnya Belanda terpaksa duduk di meja
perundingan dengan wakil-wakil Indonesia yang diselenggarakan di Den
Haag pada Agustus 1949.
Segera setelah selesainya perundingan, pada tanggal 24 Desember 1949
Duta Besar Belanda di Moscow, Wisser, menyerahkan Nota kepada Wakil
Menteri Luar Negeri Uni Soviet A.A.Gromyko, yang menyatakan bahwa sesuai
dengan persetujuan yang telah dicapai di Den Haag diantara Belanda dan
delegasi Indonesia pada tanggal 2 Nopember 1949 dan yang telah
diratifikasikan oleh parlemen semua negara yang berkepentingan, pada
tanggal 27 Desember 1949 dalam upacara resmi, Republik Serikat Indonesia
akan menerima kedaulatan penuh atas seluruh wilayah Hindia Belanda
dengan perkecualian New Guinea Belanda (Irian Barat), dan dengan akte
tersebut Republik Indonesia Serikat akan dinyatakan sebagai negara yang
merdeka dan berdaulat.
Dalam Nota tersebut Pemerintah Belanda juga menyampaikan harapan
bahwa “setelah pemberian kedaulatan Pemerintah Uni Soviet akan mengakui
negara baru”.
Pada 27 Desember 1949 seluruh wilayah bekas jajahan Belanda, kecuali Irian Barat diserahkan kepada kedaulatan Indonesia.
Pada 25 Januari 1950 A.A.Gromyko menyerahkan Nota Jawaban kepada Duta
Wisser dimana Kementrian Luar Negeri Uni Soviet memberitahukan kepada
Pemerintah Belanda bahwa “dikarenakan pada tanggal 27 Desember 1949 di
Den Haag diadakan upacara penyerahan kedaulatan, maka Pemerintah Uni
Soviet memutuskan untuk memberitahukan kepada Pemerintah Rebublik
Indonesia Serikat bahwa Pemerintah Uni Soviet memutuskan untuk mengakui
Republik Indonesia Serikat sebagai negara merdeka dan berdaulat, dan
menjalin hubungan diplomatik”.
Pada waktu yang sama A.Y. Vyshinskiy mengirim telegram kepada Perdana
Menteri dan Menteri Luar Negeri Republik Indonesia Serikat Hatta yang
menyatakan bahwa “Pemerintah Uni Soviet memutuskan untuk mengakui
Republik Indonesia Serikat sebagai negara merdeka dan berdaulat dan
menjalin hubungan diplomatik”.
Pengumuman resmi TASS mengenai pengakuan Uni Soviet terhadap Indonesia diterbitkan pada tanggal 26 Januari 1950.
Berita mengenai akte tersebut dari Pemerintah Uni Soviet diterima di
Indonesia dengan antusias. Pers Jakarta mengapresiasikannya dengan
banyaknya publikasi pengumuman dan komentar. Koran ibukota “Merdeka”
menerbitkan berita di halaman muka, dengan judul dengan huruf besar
“Rusia Soviet mengakui Republik Indonesia Serikat” menempatkan informasi
bahwa Menlu Indonesia telah menerima pengumuman resmi dari Pemerintah
Rusia mengenai pengakuan Republik. Ditekankan pula bahwa tokoh terkemuka
politik dan negarawan Republik telah “menilai positif pengakuan
tersebut”. Beberapa anggota pemerintah dan wakil-wakil dari lingkungan
penguasa di Jakarta menyampaikan pendapatnya bahwa berkat pengakuan
tersebut bertambah pula kesempatan bagi Republik Indonesia Serikat untuk
menjadi anggota PBB.
Pada tanggal 2 Pebruari 1950 diselenggarakan sidang kabinet menteri
Republik dimana disahkan jawaban pihak Indonesia atas pengumuman
Pemerintah Soviet tertanggal 25 Januari 1950. Dalam telegram jawaban
Menteri Luar Negeri Indonesia M. Hatta, yang dikirim dari Jakarta ke
Moscow pada tanggal 3 Pebruari 1950 mengkonfirmasikan diterimanya
telegram dengan keputusan Pemerintah Uni Soviet yang mengakui Republik
Indonesia Serikat sebagai negara merdeka dan berdaulat dan merencanakan
menjalin hubungan diplomatik. “Menilai dengan sepatutnya keputusan
tersebut, saya atas nama Pemerintah Republik Indonesia Serikat dengan
rasa hormat yang besar memberitahukan bahwa kami menilai tinggi
pengakuan tersebut.
Pemerintah saya selalu terbuka terhadap mulainya pembicaraan mengenai realisasi hubungan diplomatik”.
Tanggal diterimanya jawaban positif dari Pemerintah Indonesia (3
Pebruari 1950) atas pemberitahuan Pemerintah Soviet mengenai pengakuan
kemerdekaan dan kedaulatan Indonesia dijadikan tanggal pembukaan resmi
hubungan diplomatik diantara kedua negara tersebut.
Pada pertengahan bulan Pebruari, Pemerintah Indonesia mendapat usulan
dari Pemerintah Soviet untuk memulai pembicaraan. Dalam telegramnya
Kementrian Luar Negeri Uni Soviet tertanggal 15 Pebruari 1950
memberitahukan: “Ada dua cara untuk mengadakan pembicaraan, yaitu apakah
Anda mengutus wakilnya, atau kami mengutus wakil kami kepada Anda. Kami
menyetujui kedua cara tersebut dan kami ingin tahu mana yang lebih
berkenan untuk Anda?. Pihak kami menyetujui kedua-duanya.”
Pada 21 Pebruari 1950 Hatta mengirim telegram kepada A.Y.Vyshinskiy
dimana beliau menyatakan: “dengan rasa puas kami menyampaikan bahwa kami
menerima usulan Anda. Kami akan mengutus wakil-wakil kami untuk
mengadakan perundingan. Mengenai tanggal dan susunan delegasi akan kami
beritahukan selanjutnya melalui telegram”.
Masyarakat Indonesia membahas secara luas perspektif-perspektif
hubungan Soviet-Indonesia: misalnya, pada awal bulan Maret anggota
Parlemen dari Partai Nasional Manai Sophian mengajukan pertanyaan kepada
Pemerintah mengenai rencana lanjutannya guna menjalin hubungan
diplomatik dengan Uni Soviet. Pada tanggal 11 Maret, dalam sidang Dewan
Perwakilan Rakyat, M. Hatta mengumumkan bahwa kini sedang dilakukan
pembentukan delegasi Pemerintah yang dikepalai oleh L.N.Palar untuk
melaksanakan pembicaraan di Moskow mengenai langkah-langkah konkrit
dalam rangka menjalin hubungan diplomatik.
Pada tanggal 11 April, Hatta mengirim telegram kepada A.Y.Vyshinskiy
dimana beliau menyatakan: “Delegasi Indonesia dalam rangka mengadakan
pembicaraan mengenai pertukaran misi diplomatik berangkat dari Jakarta
ke Moscow pada tanggal 15 April 1950”.
Dalam susunan delegasi Indonesia terdapat Lambertus Nicodemus Palar –
kepala delegasi, Sujono Hadinoto – pemimpin fraksi PNI di parlemen,
Jusuf Wibisono – anggota parlemen, wakil ketua partai Masyumi, dan
Mohammad Yamin – ketua seksi parlemen untuk bidang urusan luar negeri,
beserta Rubiyono – sekretaris dan Nuradi – penerjemah.
Delegasi tiba di Moscow pada tanggal 29 April. Pada tanggal 3 Mei
kepala delegasi menyampaikan kepada Menteri Luar Negeri Uni Soviet
A.Y.Vyshinskiy surat dari Perdana menteri dan Menteri Luar Negeri
Republik Indonesia Serikat, M.Hatta yang menyatakan bahwa Palar
diberikan wewenang untuk mengadakan pembicaraan mengenai pertukaran
perwakilan diplomatik dengan Uni Soviet.
Pada tanggal 3 dan 5 Mei delegasi diterima oleh A.Y.Vyshinskiy. Waktu
resepsi pada tanggal 5 Mei Palar menyatakan bahwa keputusan Pemerintah
Uni Soviet untuk mengakui Republik Indonesia Serikat sebagai negara
merdeka dan berdaulat memberi harapan bagi masyarakat Indonesia bahwa
Uni Soviet akan mendukung permintaan Indonesia menjadi anggota Persatuan
Bangsa-Bangsa. Palar menambahkan bahwa hal ini dikaitkan Pemerintah
Indonesia dengan pertukaran perwakilan diplomatik diantara Uni Soviet
dan Indonesia.
Atas pernyataan Palar A.Y.Vyshinskiy menjawab bahwa “pada pembahasan
di Persatuan Bangsa-Bangsa, permintaan Indonesia untuk menjadi anggota
PBB, Pemerintah Soviet akan membahas masalah ini dengan bertimbang
rasa”.
Palar menyampaikan juga pertimbangannya bahwa sebelum pertukaran
perwakilan diplomatik dilakukan sebaiknya diawali dengan pengiriman
kelompok kecil oleh masing-masing negara, yaitu Uni Soviet ke Jakarta
dan Indonesia ke Moscow guna melakukan pekerjaan yang diperlukan untuk
mempersiapkan penempatan perwakilan. (Pada pembicaraan telah disepakati
bahwa perwakilan akan mempunyai status kedutaan).
Pertanyaan Vyshinskiy bagaimana pendapat delegasi mengenai
pembicaraan lanjutan, dijwab oleh Palar: langkah-langkah berikutnya
harus berupa pertukaran Nota-Nota mengenai perjanjian diplomatik untuk
masing-masing Duta.
Setibanya di Jakarta pada tanggal 15 Mei Palar menyatakan bahwa
delegasi telah menyelesaikan tugas yang diberikan dan beliau sendiri
puas dengan hasil pembicaraan di Moscow. Pada malam hari yang sama
Palar, Hadinoto, Wibisono dan Yamin diterima oleh Presiden Soekarno.
Pada tanggal 16 Mei, Kabinet Menteri Republik Indonesia mendengarkan
laporan delegasi mengenai hasil pembicaraan di Uni Soviet. Dalam sidang
tersebut Soekarno turut hadir. Komunike resmi yang dipublikasikan
setelah sidang, menyatakan mengenai tercapainya persetujuan diantara Uni
Soviet dan Indonesia untuk mengadakan pertukaran kedutaan dan
didapatkannya dukungan dari pemerintah Uni Soviet terhadap keanggotaan
Indonesia di PBB.
Pada bulan Agustus 1950 Indonesia telah menjalin hubungan diplomatik dengan 34 negara.
Kementrian Luar Negeri Indonesia menghadapi tugas berat, yaitu
mendirikan misi diplomatiknya, terutama di negara-negara terbesar di
dunia, serta melengkapi susunan kepegawaian dengan kader-kader nasional.
Pada akhir tahun Indonesia telah mempunyai 28 misi diluar negeri dengan
status yang berbeda-beda: 17 – di Asia, 6 – di Eropa, 4 – di Amerika,
dan 1- di Afrika. Pada keseluruhan ke-28 misi ini bekerja 94 diplomat
dan pegawai konsulat Indonesia. Akibat tidak adanya tenaga kerja sendiri
yang berkualifikasi dalam jumlah yang cukup, maka untuk tahap awal
terpaksa mengundang beberapa diplomat Belanda untuk bekerja di dinas
luar negeri Republik Indonesia. Selanjutnya dengan bertahap seluruh
diplomat Belanda digantikan oleh orang Indonesia.
Sesuai dengan kesepakatan sebelumnya, pada bulan September 1950 Uni Soviet membantu Indonesia menjadi anggota PBB.
Pada tanggal 9 Pebruari 1953, wakil kepala komisi bidang urusan luar
negeri Dewan Perwakilan Rakyat O.Rondonuwu (kelompok nasionalis),
anggota parlemen D.Gondokusumo (Partai Rakyat Nasional), Asraruddin
(Partai Buruh), Djokoprawiro (Partai Indonesia Agung) dan M.Nitimihardjo
(partai Murba) mengajukan kepada Dewan agar membahas proyek resolusi
mengenai pertukaran secepatnya perwakilan diplomatik dengan Uni Soviet.
Pencipta draft resolusi menyatakan bahwa “politik luar negeri Indonesia
yang netral akan belum sempurna sampai dengan Uni Soviet dan Indonesia
melaksanakan pertukaran perwakilan diplomatik…Pembukaan kedutaan akan
memperbesar kesempatan untuk menukarkan bahan baku dari Indonesia,
misalnya karet, dengan peralatan industri dari Rusia”.
Pada tanggal 9 April 1953 Dewan Perwakilan Rakyat dengan 82 suara
setuju dan 42 suara tidak setuju, menyetujui resolusi O.Rondonuwu
mengenai pertukaran perwakilan dengan Uni Soviet pada tahun yang sama,
yaitu 1953.
Pada sidang VIII DK PBB yang dilakukan pada September 1953 di New
York, Menteri Luar Negeri Indonesia Soekarno secara lisan memberitahukan
kepada kepala delegasi Soviet A.Y.Vyshinskiy mengenai niat pemerintah
Indonesia membuka kedutaannya di Uni Soviet. Sebagai penegasannya pada
30 Nopember, Sunaryo mengirim surat kepada Menteri Luar Negeri Uni
Soviet dimana sekali lagi dinyatakan mengenai niat pemerintah Indonesia
membuka kedutaannya di Moscow dalam waktu dekat. “Saya akan sangat
berterima kasih apabila Bapak Yang Mulia memberitahukan apakah usulan
ini dapat diterima oleh Pemerintah Uni Soviet”.
Pada tanggal 17 Desember, Menteri Luar Negeri Uni Soviet
menginformasikan Sunaryo bahwa “usulan dari Pemerintah Indonesia
tersebut mendapat sambutan positif dari Pemerintah Soviet. Pada
gilirannya Pemerintah Soviet siap mengirim Duta Besar Uni Soviet ke
Jakarta”.
Pada upacara penyerahan surat kepercayaan kepada Kepala Presidium
Dewan Tertinggi Uni Soviet K.E.Voroshilov di Kremlin, yang diadakan pada
tanggal 13 April 1954, Duta Besar Indonesia pertama untuk Uni Soviet
Subandrio atas nama pemerintahnya menyatakan bahwa rakyat Indonesia
telah lama mempunyai keinginan untuk menjalin hubungan diplomatik, serta
hubungan persahabatan yang erat diantara kedua negara. Duta Besar
menekankan bahwa menjalin hubungan persahabatan yang didasari persamaan
hak, baik dengan Uni Soviet maupun dengan negara-negara dan masyarakat
dunia lainnya, membuka kesempatan bagi Republik Indonesia membuat
hubungan erat dengan Uni Soviet dalam bidang ekonomi, yang mana akan
membuka kesempatan menggunakan kemajuan teknik dan pengalaman Uni Soviet
dengan tujuan menaikan taraf hidup rakyat Indonesia.
Perdana Menteri Sastroamidjoyo pada tanggal 16 Agustus 1954
melaporkan kepada Dewan Perwakilan Rakyat tentang pelaksanaan
keputusannya mengenai pertukaran perwakilan diplomatik dengan Uni
Soviet. Dia memberitahukan anggotanya mengenai keikutsertaan Indonesia
dalam kerja beberapa konferensi internasional. Seiring dengan keikut
sertaan dalam sidang Majelis Umum PBB, Indonesia mengirim delegasinya
untuk ikut rapat Dana Moneter Internasional, MOT, konferensi mengenai
permasalahan pelayaran (Ceylon), ke Konferensi Islam Ekonomi
Internasional (KII) di Karachi dan pertemuan internasional lainnya.
Pada tanggal 14 September 1954 Duta Besar Luar Biasa dan Dengan Kuasa
Penuh Uni Soviet di Indonesia D.A.Zhukov datang ke Jakarta. Beliau
memberikan pengumuman kepada pers dimana atas nama rakyat Uni Soviet
beliau menyampaikan sambutan yang hangat serta kehendak agar rakyat
Indonesia memperoleh kebahagiaan, kemakmuran, dan meyakinkan bahwa
“perkembangan hubungan diplomatik diantara Uni Soviet dan Republik
Indonesia akan mempunyai dampak positif terhadap perluasan kerjasama
negara kita dalam bidang politik, ekonomi dan budaya, yang mana akan
mendorong perluasan dan penguatan persahabatan, serta mengabdi pada
kepentingan perdamaian dunia dan keamanan internasional”.
Pada tanggal 20 September, Duta Besar D.A.Zhukov menyerahkan surat
kepercayaan kepada Presiden Soekarno. Dalam Dokumen yang ditandatangani
oleh Kepala Presidium Dewan Tertinggi Uni Soviet K.E.Voroshilov secara
khusus menekankan bahwa “dengan menganut politik yang mempererat
hubungan antara negara-negara dan dengan keinginan mengembangkan
hubungan persahabatan diantara Uni Soviet dan Indonesia, maka Presidium
Dewan Tertinggi Uni Soviet memutuskan dan di hadapan Anda mengangkat
Tuan Dmitriy Aleksandrovich Zhukov menjadi Duta Besar kami yang Luar
Biasa dan Dengan Kuasa Penuh “.
Dokumen pertama, yang merupakan suatu hasil periode awal dalam
hubungan diantara Uni Soviet dan Indonesia adalah Pernyataan Bersama Uni
Soviet – Indonesia yang ditandatangani pada tanggal 11 September 1956
di Moscow oleh Wakil Satu Menteri Luar Negeri Uni Soviet A.A.Gromyko dan
Menteri Luar Negeri Indonesia R. Abdulgani. Isi dokumen tersebut
membuktikan bahwa hubungan didirikan atas dasar lima prinsip yang
diketahui oleh seluruh dunia, yaitu saling menghormati keutuhan teritori
dan kedaulatan, tidak menyerang, tidak mencampuri urusan dalam negeri
masing-masing negara, persamaan dan saling menguntungkan, hidup
berdampingan secara damai.
JKGR