Presiden AS Barrack Obama dan Direktur James Clapper (Somber foto : dailytech.com)
Dalam sebuah kegiatan dan pulbaket
intelijen, sebuah gabungan singkatan kalimat yang dikenal menjadi sebuah
kata adalah Siabidibame. Kata ini adalah rangkaian beberapa kata kunci
dari informasi yaitu siapa, apa, bilamana, dimana, bagaimana dan
mengapa. Ada juga instruktur intelijen mengejanya dengan Asbidibam (Apa,
siapa, bilamana, dimana, bagaimana dan mengapa). Rangkaian informasi
itu yang dicari seorang agent action dan akan diserahkan kepada sang handler. Nah dari keduanya, bagian terpentingnya adalah kata "mengapa/why?." Sebuah kejadian akan sangat berarti apabila mampu menjawab mengapa itu terjadi, berarti gambaran awal motif akan diketahui.
Sebagai contoh, badan intelijen Amerika
harus segera menjawab, mengapa beberapa pesawat wide body ditabrakkan
dan kemudian meruntuhkan World Trade Center? Intelijen Indonesia dan
aparat keamanan harus menjawab, mengapa bom Bali-1 diledakkan di muka
Sari Club dan Paddy's Cafe? Intelijen Malaysia dan Amerika harus
menjawab, mengapa MH370 tiba-tiba menghilang? Mengapa MH17 diserang
peluru kendali di wilayah Ukraina? Itulah yang dibutuhkan oleh end user
masing-masing negara, dimana badan intelijen harus menjawab suatu
masalah yang memang murni, sesuatu yang direncanakan, desepsi atau
kegiatan sebuah konspirasi.
Nah, kini penulis mencoba membahas
sebuah informasi terkait dengan pernyataan Presiden Amerika Barrack
Obama saat diwawancarai TV CBS yang ditayangkan hari Minggu malam
(28/9/2014) menyatakan bahwa Intelijen AS meremehkan Islamic State.
Ditegaskannya bahwa ISIL atau ISIS telah mengambil keuntungan dari
kekacauan perang saudara di Suriah dan negara ini kini sudah menjadi "ground zero" (titik nol) bagi semua jihadis di seluruh dunia.
Obama juga mengatakan dalam wawancara tersebut yang direkam pada hari Jumat (26/9/2014), "We
just have to push them back, and shrink their space, and go after their
command and control, and their capacity, and their weapons, and their
fueling, and cut off their financing, and work to eliminate the flow of
foreign fighters," ujarnya.
"Kepala komunitas intelijen kami, Jim
Clapper, telah mengakui bahwa saya pikir mereka meremehkan apa yang
telah terjadi di Suriah," kata Obama pada acara "60 Minutes," pada
program CBS News tersebut. Jim (James R Clapper adalah pensiunan bintang
tiga Angkatan Udara yang kini menjabat sebagai Direktur Intelijen
Nasional).
Menanggapi apa yang disampaikan Obama,
juru bicara Gedung Putih Josh Earnest mengatakan Senin (29/9/2014)
bahwa Obama tidak menyalahkan pejabat intelijen yang dinilainya telah
meremehkan ancaman Negara Islam dan melebih-lebihkan kemampuan pasukan
keamanan Irak untuk melawan mereka. Earnest mengatakan bahwa, "Analisis
Intelijen adalah bisnis yang sulit, dan pada akhirnya, akan menjadi
prediksi," katanya. Presiden tetap mempercayai Jim Clapper serta
komunitas intelijen.
Senator John McCain, R-Ariz, Mengatakan
kepada USA TODAY pada hari Senin (29/9/2014) bahwa badan-badan intelijen
sebenarnya meramalkan munculnya ISIS, dan menggambarkan komentar Obama
sebagai "the dog ate my homework kind of routine."
McCain menyalahkan perluasan Negara
Islam sebagai kegagalan AS untuk mempertahankan sisa kekuatan di Irak
setelah berakhirnya operasi tempur. "Ketika presiden memutuskan Amerika
tidak akan meninggalkan kekuatan yang memadai untuk mempertahankan di
Irak , mereka yang memahami situasi di daerah itu tahu bahwa situasi
akan memburuk," kata McCain. "Pada akhirnya, presiden adalah Commander
in Chief," kata Earnest. "Dan dia adalah orang yang bertanggung jawab
untuk memastikan bahwa kita memiliki jenis kebijakan di tempat yang
diperlukan untuk melindungi kepentingan kami di seluruh dunia."
Analisis
Pernyataan Presiden Obama yang nadanya
mengeritik Badan Intelijen Nasional, menurut penulis agak mengherankan
tetapi juga memakluminya. Mengapa? Kembali ke jawaban yang harus dijawab
oleh seorang analis intelijen.
Penulis menjadi teringat apa pendapat
presiden sebelumnya dalam pengambilan keputusan besar dengan dasar
informasi intelijen. Sebelum meninggalkan Gedung Putih, hari Selasa
(2/12/2008) malam, Presiden George W Bush dalam wawancaranya dengan ABC
News, mengakui bahwa keputusan untuk berperang melawan Saddam Hussein
atas dasar kesalahan intelijen, dan itu adalah penyesalan terbesarnya
sebagai presiden. Ternyata kemudian informasi tersebut tidak benar (Its arguments on intelligence that was later exposed as flimsy and wrong).
Dalam jangka waktu hingga keputusan
serangan, Gedung Putih mengadopsi posisi kepastian yang mutlak bahwa
Saddam memiliki senjata pemusnah massal. "The biggest regret of all the presidency has to have been the intelligence failure in Iraq,"
kata Presiden Bush. Dia menangkis tuduhan bahwa Gedung Putih telah
menyesatkan Kongres dan masyarakat untuk membangun kasus untuk perang,
dengan alasan bahwa ada keyakinan luas bahwa Saddam memiliki senjata
pemusnah massal. Tekanan politik saat itu demikian besar.
Dalam era kepemimpinan Presiden Obama
pernah dikejutkan pembocoran informasi intelijen yang sangat sensitif
oleh mantan pegawai NSA dan CIA, Edward Snowden. Bahwa terjadi operasi
penyadapan masyarakat dunia yang melibatkan badan-badan intelijen AS.
Dimana beberapa negara dan pimpinan negara, termasuk sekutu yang
terganggu dengan ulah penyadapan. Snowden membuka skandal spionase itu,
dimana termasuk yang disadap Kanselir Jerman dan juga Presiden Indonesia
SBY serta istri dan beberapa menteri senior.
Presiden Obama akhirnya menyatakan bahwa
dia akan melakukan evaluasi dan menata ulang peran dan fungsi badan
intelijennya. Dia mengatakan, "Hanya karena kita bisa melakukan sesuatu
tidak berarti kita harus melakukannya. Dalam banyak kasus, kita tidak
harus,” tegasnya.
Oleh karena itu banyak yang terkejut,
mengapa kini Presiden Obama mendadak mengeluarkan pernyataan yang
nadanya mengeritik Direktur Intelijen Nasional, yang dikatakannya
meremehkan ISIS/ISIL yang kini mengganti nama menjadi Islamic State.
Pernyataan itu telah menyulitkan posisi James Clapper, yang kemudian
menyatakan, "Intelijen terus memantau, menilai dan memperhatikan pada
perluasan ISIL, dan presiden mengetahui serta telah mendapatkan
informasi untuk mengembangkan strategi," katanya.
Clapper menyatakan bersama Obama
sependapat menyatakan sulit untuk memprediksi "kemauan dan semangat"
dari pasukan keamanan Irak untuk melawan ISIL. "Meskipun semua kita
mengerti tentang kemampuan ISIL dan Pasukan Keamanan Irak, kami tidak
memiliki alat intelijen yang bisa meramalkan keruntuhan tiba-tiba ISF (Iraq Security Forces) di Irak Utara. Clapper mengatakan Obama mendukung sepenuhnya dalam mision intelijen dan menghargai komunitas intelijen.
Persoalan utama disebabkan karena
lemahnya kemampuan dan kemauan pasukan/militer Irak yang telah dilatih
serta dilengkapi oleh Amerika. Persoalan menjadi masalah besar karena
Islamic State kemudian mampu menguasai wilayah-wilayah penting di Irak
dan korban baik ISF maupun penduduk semakin banyak.
PBB mencatat, korban yang tewas akibat
operasi dan serangan ISIS pada bulan September 2014, terdiri dari 854
warga sipil dan 265 anggota pasukan keamanan Irak. Sebanyak 1,946 warga
Irak terluka bulan lalu. Kota paling parah dalam serangan ISIS/IS
adalah Baghdad, dimana 352 warga sipil tewas. Pada bulan Agustus korban
yang meninggal mencapai 1.420 jiwa, pada bulan Juni 2.400 tewas setelah
militan Islamic State melakukan serangan, merupakan angka tertinggi
sejak bulan April 2005.
Kondisi ini yang kemudian membuat
Presiden Obama mengeluarkan kritiknya tentang peran intelijen dalam
pengambilan keputusan. Kembali kita berada di posisi "mengapa?."
Edward Snowden pada awal membesarnya peran ISIS mengeluarkan bocoran
bahwa ISIS dari dokumen NSA yang disadap, adalah bentukan dari tiga
badan intelijen yaitu Mossad (Israel), MI6 (Inggris) dan CIA (AS). Abu
Bakr al-Baghdadi adalah salah satu tokoh Al-Qeada yang dikabarkan pernah
dilatih Mossad selama hampir setahun untuk memimpin ISIS. Tujuan
pembentukan ISIS adalah untuk menciptakan destabilisasi dan zona perang
di negara yang berbatasan dengan Israel dalam rangka melindungi Israel.
Selain itu ISIS yang kemudian oleh al-Baghdadi diganti nama menjadi Islamic State juga dirancang sebagai strtategi hornet's nest
(sarang tawon), dengan tujuan untuk merangsang dan mengumpulkan para
teroris dunia. Nampaknya strategi ini sukses, karena membesarnya
kekuatan negara Islam ini banyak diawaki oleh para jihadis bangsa-bangsa
lainnya. Apabila informasi intelijen Snowden benar, maka kini ketiga
badan intelijen tadi telah lengkap melakukan pendataan teroris dunia
yang berkumpul di Irak dan Suriah. Juga Israel akan aman, karena
musuh-musuhnya sibuk dengan masalah dalam negeri masing-masing.
Pertanyaannya, apakah operasi intelijen
ini diluar kendali dan pengetahuan sang presiden? Nampaknya memang kini
dunia banyak diatur dan dikuasai oleh para pelaku dan pimpinan
intelijen. Amerika memberikan dana berupa black budget untuk
lima badan intelijennya sebesar US$52,6 miliar pada tahun fiskal 2013
(Snowden). Oleh karena itu persoalannya bukan badan intelijen AS yang
meremehkan militan Islamic State, tetapi mereka sementara dibiarkan
beroperasi hingga informasi lengkap baik fakta maupun data sudah
terekam. Dengan anggaran sebesar itu, intelijen bisa berbuat apa saja
lepas dari kontrol politik dan mungkin tekanan hukum, tujuannya demi
keamanan nasionalnya.
Demikian kira-kira analisis tentang
permainan intelijen kelas dunia. Pemerintah AS nampaknya sulit lepas
dari tanggung jawab masalah dan residu keputusan presiden pada masa
lalunya. AS masuk dalam kemelut konflik antara pengikut Sunni dan Syiah.
Memang rencana yang dibuat sangat idealis dan optimis, dimana ulah
teroris merupakan ancaman utama pemerintah dan rakyat Amerika. Tetapi
disadari ataupun tidak, AS kini telah berbalik arah, apabila dahulu
memusuhi Syiah, dimana Iran adalah kekuatan utama, maka kemudian setelah
pemerintahan Saddam Husein yang Sunni dijatuhkan, pemerintah yang
terbentuk dari Syiah, demikian juga pemerintahan di Suriah dikuasai oleh
kelompok Syiah. Kini Obama mau tidak mau harus menghantam militan
Islamic State yang Sunni.
Sebagai penutup, kembali kepada
referensi bocoran Snowden, apabila teori sarang tawon itu benar, apakan
disadari bahwa kini konsep dan gaung Islamic State/Negara Islam/Daulah
Islamiyah demikian besar dan menyebar keseluruh dunia. Apakah pembuat
knsep sadar bahwa apabila tawon-tawon yang kini berkumpul di Irak dan
Suriah diserang, mereka akan menyebar dan bahkan akan masuk ke negara
asal atau menyebar kenegara lainnya. Mestinya AS belajar dari pengalaman
masa lalunya di Afghanistan saat membantu pejuang Mujahiddin dan
Taliban melawan Uni Soviet. Perkembangan selanjutnya, Al-Qaeda yang
dahulu dilatih dan didanai, kemudian mampu membuktikan bahwa mereka
menjadi ancaman utama AS dan mampu meruntuhkan WTC.
ISIS/ISIL/IS akan menjadi Al-Qaeda jilid
dua, mereka akan bisa sewaktu-waktu berbalik arah, menyerang Amerika
serta sekutunya. Yang pasti mereka tidak menyukai dengan modernisasi ala
Barat, konsep demokrasi dan sekularisme. Mereka ingin terbentuknya
negara Islam di dunia. Dasar konflik antara Syiah dan Sunni akan terus
menyebar ke pelosok dunia. Itulah konsep terorisme yang kini semakin
cerdas, brutal dan kejam, tetapi itulah jalan yang disukai para
pendukung dan simpatisannya.
Penulis mengingatkan bahwa konsep
Islamic State akan bisa berkembang di Indonesia, dimana sekularisme dan
demokrasi akan menjadi target mereka. Jangan sepelekan konsep negara
Islam yang sudah mempunyai dana sangat besar, dimana gelontorannya akan
menimbulkan ulah teror di Indonesia. Mereka sudah dan akan melakukan
survei untuk medan latihan di wilayah rawan di Indonesia. Serangan
terhadap Amerika, Australia dan sekutu lainnya yang dianggap musuh bisa
sewaktu-waktu kembali terjadi di Indonesia seperti masa lalu. Kita
harus waspada, kemungkinan tanah air akan dipinjam dan dijadikan
palagan tempur mereka melawan Barat.
Teror masa kini hanya membutuhkan pisau,
Iphone dan internet, yang mengerikan adalah kekejaman eksekusi berupa
pemenggalan kepala. Apakah demikian? Penulis perkirakan baik aparat
keamanan maupun intelijen sudah terus memonitor perkembangan ini.