Pages

Tuesday, 14 October 2014

Presiden Obama; Intelijen AS Meremehkan ISIS. Mengapa?

clapper-obama-jpg
Presiden AS Barrack Obama dan Direktur James Clapper (Somber foto : dailytech.com)

Dalam sebuah kegiatan dan pulbaket intelijen, sebuah gabungan singkatan kalimat yang dikenal menjadi sebuah kata adalah Siabidibame. Kata ini adalah rangkaian beberapa kata kunci dari informasi yaitu siapa, apa, bilamana, dimana, bagaimana dan mengapa. Ada juga instruktur intelijen mengejanya dengan Asbidibam (Apa, siapa, bilamana, dimana, bagaimana dan mengapa). Rangkaian informasi itu yang dicari seorang agent action dan akan diserahkan kepada sang handler. Nah dari keduanya, bagian terpentingnya adalah kata "mengapa/why?." Sebuah kejadian akan sangat berarti apabila mampu menjawab mengapa itu terjadi, berarti gambaran awal motif akan diketahui.
Sebagai contoh, badan intelijen Amerika harus segera menjawab, mengapa beberapa pesawat wide body ditabrakkan dan kemudian meruntuhkan World Trade Center? Intelijen Indonesia dan aparat keamanan harus menjawab, mengapa bom Bali-1 diledakkan di muka  Sari Club dan Paddy's Cafe? Intelijen Malaysia  dan Amerika harus menjawab, mengapa MH370 tiba-tiba menghilang? Mengapa MH17 diserang peluru kendali di wilayah Ukraina? Itulah yang dibutuhkan oleh end user masing-masing negara, dimana badan intelijen harus menjawab suatu masalah yang memang murni, sesuatu yang direncanakan, desepsi atau kegiatan sebuah konspirasi.
Nah, kini penulis mencoba membahas sebuah informasi terkait dengan pernyataan Presiden Amerika Barrack Obama saat diwawancarai TV CBS yang ditayangkan hari Minggu malam (28/9/2014) menyatakan bahwa Intelijen AS meremehkan Islamic State. Ditegaskannya bahwa ISIL atau ISIS telah mengambil keuntungan dari kekacauan perang saudara  di Suriah dan negara ini kini sudah menjadi "ground zero"  (titik nol) bagi semua jihadis di seluruh dunia.
Obama juga mengatakan dalam wawancara tersebut yang direkam pada hari Jumat (26/9/2014), "We just have to push them back, and shrink their space, and go after their command and control, and their capacity, and their weapons, and their fueling, and cut off their financing, and work to eliminate the flow of foreign fighters," ujarnya.
"Kepala komunitas intelijen kami, Jim Clapper, telah mengakui bahwa saya pikir mereka meremehkan apa yang telah terjadi di Suriah," kata Obama pada acara "60 Minutes," pada program CBS News tersebut. Jim (James R Clapper adalah pensiunan bintang tiga Angkatan Udara yang kini menjabat sebagai Direktur  Intelijen Nasional).
Menanggapi apa yang disampaikan Obama, juru bicara Gedung Putih Josh Earnest mengatakan Senin (29/9/2014)  bahwa Obama  tidak menyalahkan pejabat intelijen yang dinilainya telah meremehkan ancaman Negara Islam dan melebih-lebihkan kemampuan pasukan keamanan Irak untuk melawan mereka. Earnest mengatakan bahwa, "Analisis Intelijen adalah bisnis yang sulit, dan  pada akhirnya, akan menjadi prediksi," katanya. Presiden tetap mempercayai Jim Clapper serta komunitas intelijen.
Senator John McCain, R-Ariz, Mengatakan kepada USA TODAY pada hari Senin (29/9/2014) bahwa badan-badan intelijen sebenarnya meramalkan munculnya ISIS, dan menggambarkan komentar Obama sebagai "the dog ate my homework kind of routine."
McCain menyalahkan perluasan Negara Islam sebagai  kegagalan AS untuk mempertahankan sisa kekuatan  di Irak setelah berakhirnya operasi tempur. "Ketika presiden memutuskan Amerika tidak akan meninggalkan kekuatan yang memadai untuk mempertahankan di Irak , mereka yang memahami situasi di daerah itu tahu bahwa situasi akan memburuk," kata McCain. "Pada akhirnya, presiden adalah Commander in Chief," kata Earnest. "Dan dia adalah orang yang bertanggung jawab untuk memastikan bahwa kita memiliki jenis kebijakan di tempat yang diperlukan untuk melindungi kepentingan kami di seluruh dunia."
Analisis
Pernyataan Presiden Obama yang nadanya mengeritik Badan Intelijen Nasional, menurut penulis agak mengherankan tetapi juga memakluminya. Mengapa? Kembali ke jawaban yang harus dijawab oleh seorang analis intelijen.
Penulis menjadi teringat apa pendapat presiden sebelumnya dalam pengambilan keputusan besar dengan dasar informasi intelijen.  Sebelum meninggalkan Gedung Putih, hari Selasa (2/12/2008)  malam, Presiden George W Bush dalam wawancaranya dengan ABC News, mengakui bahwa keputusan untuk berperang melawan Saddam Hussein  atas dasar kesalahan intelijen, dan itu  adalah penyesalan terbesarnya sebagai presiden. Ternyata kemudian informasi tersebut tidak benar (Its arguments on intelligence that was later exposed as flimsy and wrong).
Dalam jangka waktu hingga keputusan serangan, Gedung Putih mengadopsi posisi kepastian yang mutlak bahwa Saddam memiliki senjata pemusnah massal. "The biggest regret of all the presidency has to have been the intelligence failure in Iraq," kata Presiden Bush.  Dia menangkis tuduhan bahwa Gedung Putih telah menyesatkan Kongres dan masyarakat untuk membangun kasus untuk perang, dengan alasan bahwa ada keyakinan luas bahwa Saddam memiliki senjata pemusnah massal. Tekanan politik saat itu demikian besar.
Dalam era kepemimpinan Presiden Obama  pernah dikejutkan pembocoran informasi intelijen yang sangat sensitif oleh mantan pegawai NSA dan CIA, Edward Snowden. Bahwa  terjadi operasi penyadapan masyarakat dunia yang melibatkan badan-badan intelijen AS. Dimana beberapa negara dan pimpinan negara, termasuk sekutu yang terganggu dengan ulah penyadapan. Snowden membuka skandal spionase itu, dimana termasuk yang disadap Kanselir Jerman dan juga Presiden Indonesia SBY serta istri dan beberapa menteri senior.
Presiden Obama akhirnya menyatakan bahwa dia akan melakukan evaluasi dan menata ulang peran dan fungsi  badan intelijennya. Dia mengatakan, "Hanya karena kita bisa melakukan sesuatu tidak berarti kita harus melakukannya. Dalam banyak kasus, kita tidak harus,” tegasnya.
Oleh karena itu banyak yang terkejut, mengapa kini Presiden Obama mendadak mengeluarkan pernyataan yang nadanya mengeritik Direktur Intelijen Nasional, yang dikatakannya meremehkan ISIS/ISIL yang kini mengganti nama menjadi Islamic State. Pernyataan itu telah menyulitkan posisi James Clapper, yang kemudian menyatakan, "Intelijen terus memantau, menilai dan memperhatikan pada perluasan ISIL, dan presiden mengetahui serta telah mendapatkan informasi untuk mengembangkan strategi," katanya.
Clapper menyatakan  bersama Obama sependapat  menyatakan sulit untuk memprediksi "kemauan dan semangat" dari pasukan keamanan Irak untuk melawan ISIL. "Meskipun semua kita mengerti tentang kemampuan ISIL dan Pasukan Keamanan Irak, kami tidak memiliki alat intelijen yang bisa meramalkan keruntuhan tiba-tiba ISF (Iraq Security Forces) di Irak Utara. Clapper mengatakan Obama mendukung sepenuhnya dalam mision intelijen dan menghargai komunitas intelijen.
Persoalan utama disebabkan karena lemahnya kemampuan dan kemauan pasukan/militer Irak yang telah dilatih serta dilengkapi oleh Amerika. Persoalan menjadi masalah besar karena Islamic State kemudian mampu menguasai wilayah-wilayah penting di Irak dan korban baik ISF maupun penduduk semakin banyak.
PBB mencatat,  korban yang tewas akibat operasi dan serangan ISIS pada bulan September 2014, terdiri dari 854 warga sipil dan 265 anggota pasukan keamanan Irak. Sebanyak 1,946 warga Irak terluka bulan lalu.  Kota paling parah dalam serangan ISIS/IS adalah Baghdad, dimana 352 warga sipil  tewas. Pada bulan Agustus korban yang meninggal mencapai 1.420 jiwa, pada bulan Juni 2.400 tewas setelah militan Islamic State melakukan serangan, merupakan angka tertinggi sejak bulan April 2005.
Kondisi ini yang kemudian membuat Presiden Obama mengeluarkan kritiknya tentang peran intelijen dalam pengambilan keputusan. Kembali kita berada di posisi "mengapa?." Edward Snowden pada awal membesarnya peran ISIS mengeluarkan bocoran bahwa ISIS dari dokumen NSA yang disadap, adalah bentukan dari tiga badan intelijen yaitu Mossad (Israel), MI6 (Inggris) dan CIA (AS). Abu Bakr al-Baghdadi adalah salah satu tokoh Al-Qeada yang dikabarkan pernah dilatih Mossad selama hampir setahun untuk memimpin ISIS. Tujuan pembentukan ISIS adalah untuk menciptakan destabilisasi dan zona perang di negara yang berbatasan dengan Israel dalam rangka melindungi Israel.
Selain itu ISIS yang kemudian oleh al-Baghdadi diganti nama menjadi Islamic State juga dirancang sebagai strtategi hornet's nest (sarang tawon), dengan tujuan untuk merangsang dan mengumpulkan para teroris dunia. Nampaknya strategi ini sukses, karena membesarnya kekuatan negara Islam ini banyak diawaki oleh para jihadis bangsa-bangsa lainnya. Apabila informasi intelijen Snowden benar, maka kini ketiga badan intelijen tadi telah lengkap melakukan pendataan teroris dunia yang berkumpul di Irak dan Suriah. Juga Israel akan aman, karena musuh-musuhnya sibuk dengan masalah dalam negeri masing-masing.
Pertanyaannya, apakah operasi intelijen ini diluar kendali dan pengetahuan sang presiden? Nampaknya memang kini dunia banyak diatur dan dikuasai oleh para pelaku dan pimpinan intelijen. Amerika memberikan dana berupa  black budget untuk lima badan intelijennya sebesar US$52,6 miliar pada tahun fiskal 2013 (Snowden). Oleh karena itu persoalannya bukan badan intelijen AS yang meremehkan militan Islamic State, tetapi mereka sementara dibiarkan beroperasi hingga informasi lengkap baik fakta maupun data sudah terekam. Dengan anggaran sebesar itu, intelijen bisa berbuat apa saja lepas dari kontrol politik dan mungkin tekanan hukum, tujuannya demi keamanan nasionalnya.
Demikian kira-kira analisis tentang permainan intelijen kelas dunia. Pemerintah AS nampaknya sulit lepas dari tanggung jawab masalah dan residu keputusan presiden pada masa lalunya. AS masuk dalam kemelut konflik antara pengikut Sunni dan Syiah. Memang rencana yang dibuat sangat idealis dan optimis, dimana ulah teroris merupakan ancaman utama pemerintah dan rakyat Amerika. Tetapi disadari ataupun tidak, AS kini telah berbalik arah, apabila dahulu memusuhi Syiah, dimana Iran adalah kekuatan utama, maka kemudian setelah pemerintahan Saddam Husein yang Sunni dijatuhkan, pemerintah yang terbentuk dari Syiah, demikian juga pemerintahan di Suriah dikuasai oleh kelompok Syiah. Kini Obama mau tidak mau harus menghantam militan Islamic State yang Sunni.
Sebagai penutup, kembali kepada referensi bocoran Snowden, apabila teori sarang tawon itu benar, apakan disadari bahwa kini konsep dan gaung Islamic State/Negara Islam/Daulah Islamiyah demikian besar dan menyebar keseluruh dunia. Apakah pembuat knsep sadar bahwa apabila tawon-tawon yang kini berkumpul di Irak dan Suriah diserang, mereka akan menyebar dan bahkan akan masuk ke negara asal atau menyebar kenegara lainnya. Mestinya AS belajar dari pengalaman masa lalunya di Afghanistan saat membantu pejuang Mujahiddin dan Taliban melawan Uni Soviet. Perkembangan selanjutnya, Al-Qaeda yang dahulu dilatih dan didanai, kemudian mampu membuktikan bahwa mereka menjadi ancaman utama AS dan mampu meruntuhkan WTC.
ISIS/ISIL/IS akan menjadi Al-Qaeda jilid dua, mereka akan bisa sewaktu-waktu berbalik arah, menyerang Amerika serta sekutunya. Yang pasti mereka tidak menyukai dengan modernisasi ala Barat, konsep demokrasi dan sekularisme. Mereka ingin terbentuknya negara Islam di dunia. Dasar konflik antara Syiah dan Sunni akan terus menyebar ke pelosok dunia. Itulah konsep terorisme yang kini semakin cerdas, brutal dan kejam, tetapi itulah jalan yang disukai para pendukung dan simpatisannya.
Penulis mengingatkan bahwa konsep Islamic State akan bisa berkembang di Indonesia, dimana sekularisme dan demokrasi akan menjadi target mereka. Jangan sepelekan konsep negara Islam yang sudah mempunyai dana sangat besar, dimana gelontorannya akan menimbulkan ulah teror di Indonesia. Mereka sudah dan akan  melakukan survei untuk medan latihan di wilayah rawan di Indonesia. Serangan terhadap Amerika, Australia dan sekutu lainnya yang dianggap musuh bisa sewaktu-waktu kembali  terjadi di Indonesia seperti masa lalu. Kita harus waspada, kemungkinan tanah air akan dipinjam dan  dijadikan palagan tempur mereka melawan Barat.
Teror masa kini hanya membutuhkan pisau, Iphone dan internet, yang mengerikan adalah kekejaman eksekusi berupa pemenggalan kepala. Apakah demikian? Penulis perkirakan baik aparat keamanan maupun intelijen sudah terus memonitor perkembangan ini.