KEBIJAKAN Jepang
selama perang, baik di Jepang maupun di negera-negara jajahannya
seperti Indonesia, dimaksudkan untuk kepentingan perang. Tujuan akhirnya
membangun kawasan Lingkungan Kemakmuran Bersama Asia Timur Raya di
bawah kepemimpinan Jepang. Untuk itu, Jepang mencengkeram kehidupan
rakyat pedesaan.
Menurut Aiko Kurasawa, sejarawan Universitas Keio Jepang, kebijakan Jepang di pedesaan Jawa memadukan mobilisasi (doin) dan kontrol (tosei).
Jepang memobilisasi rakyat untuk meningkatkan produktivitas pertanian,
terutama padi, lalu menyerahkannnya dalam bentuk “wajib serah padi.”
(Baca: Antara Padi Bulu, Cere, dan Horai dan Bubur Perjuangan dan Roti Asia)
Jepang juga mengerahkan rakyat menjadi tenaga kerja paksa (romusha)
di proyek-proyek pembangunan seperti lapangan terbang, benteng
pertahanan, dan pabrik-pabrik militer. Untuk melancarkan mobilisasi
tersebut, Jepang membentuk tonarigumi (rukun tetangga) dan nogyo kumiai (koperasi pertanian). (Baca: Terowongan Neyama Romusha, Romusha di Seberang Lautan, dan Rakyat Yogyakarta Diselamatkan Selokan).
Kebijakan mobilisasi Jepang dipadukan dengan kontrol ketat oleh pemerintah. Rakyat
diharapkan mempunyai pemikiran yang seragam dan melakukan konformitas
(kesesuaian sikap dan perilaku dengan nilai dan kaidah yang diberlakukan
Jepang), seperti yang selalu terjadi dalam rezim-rezim totaliter.
“Dengan demikian, mobilisasi di Jawa
selalu dijalankan di dalam kerangka acuan yang ditetapkan oleh dan di
bawah kontrol ketat pemerintah militer,” ujar Aiko dalam diskusi edisi
terbaru bukunya, Politik Jepang di Jawa, di Aula The Japan
Foundation, Jakarta Pusat, 15 September 2014. Buku ini diangkat dari
disertasi Aiko di Universitas Cornell tahun 1988 dan kali pertama terbit
dalam bahasa Indonesia pada 1993 berjudul Mobilisasi dan Kontrol.
Selain dengan tangan besi militer,
kontrol masyarakat juga dilakukan dengan propaganda, seperti melalui
gambar hidup (film) dan menara bernyanyi (radio). Propaganda ini, kata
sejarawan Didi Kwartanada, mengutip George Kanahele, pionir kajian
pendudukan Jepang di Indonesia asal Hawaii, untuk “winning the hearts and minds of the people.”
Melalui layar lebar itu, kata Aiko,
mungkin penduduk baru kali pertama mengenal Sukarno. “Semboyan Bung
Karno seperti ‘mari kita berjuang bersama-sama Dai Nippon sampai
mencapai kemenangan terakhir’ dan ‘Amerika kita setrika, Inggris kita
linggis’ menarik hati penduduk desa, dan film-film semacam itu mempunyai
pengaruh tertentu untuk mencegah meletusnya perasaan anti-Jepang,” kata
Aiko. (Baca: Geraf [Gerakan Rakyat Anti Fasis] Bergerak dan Djojobojo Menentang Jepang)
Selain propaganda melalui media massa, Jepang melakukan indoktrinasi melalui pembentukan wadah semimiliter (seinendan, keibodan) dan organisasi massa Jawa Hokokai;
pengenalan bahasa Jepang; menjadikan bahasa Indonesia sebagai pengantar
di sekolah; dan melarang sekolah-sekolah Belanda. Selain itu, kegiatan
di luar sekolah sebagai bagian dari indoktrinasi adalah Kursus Kiai yang
disponsori Kantor Urusan Agama (Shumubu).
“Terkait indoktrinasi kiai pedesaan, ini
mengingatkan kita pada ‘mobilisasi’ kaum rohaniawan untuk tujuan-tujuan
politik yang masih berlangsung hingga hari ini,” ujar Didi.
Akibat tekanan ekonomi yang buruk dan
kemarahan terhadap para pemimpin desa yang dilematis antara kepentingan
rakyat atau tuntutan pemerintah, muncullah pemberontakan di beberapa
daerah, diawali oleh Pemberontakan Pesantren Sukamanah di Tasikmalaya.
Menurut Didi, dalam buku Aiko kurang dibahas soal ianfu
(wanita penghibur) karena isu ini memang baru muncul pada 1990-an.
Begitu pula peran orang Tionghoa di pedesaan. Padahal mereka memainkan
peranan cukup penting dalam perekonomian desa, selaku pemilik
penggilingan beras, juragan hasil bumi, maupun pembunga uang (mindering).
|