Hawaii, Dua hari lalu, tepatnya 7 Desember
2014, dunia mengenang peristiwa serangan Jepang terhadap pangkalan
Angkatan Laut Amerika Serikat di Pearl Harbour Hawaii, 7 Desember 1941.
Suatu serangan yang menjadi tanda dimulainya peperangan Asia Timur Raya
itu sangat menarik untuk diulas dari segi strategi maritim yang
berhubungan dengan
sea power.
Serangan Jepang atas AS itu sebenarnya dilatarbelakangi sikap AS yang
akan mengembargo Jepang terhadap pasokan minyak ke Jepang. Hal itu
dilakukan AS karena Jepang telah menaklukkan Manchuria, serta berusaha
menaklukan seluruh Tiongkok daratan. Selain itu, Jepang juga
menandatangani Poros Axis dengan pemimpin Jerman, Adolf Hitler, yang
kemudian mampu menguasai Indochina tidak lama setelah itu.
Jepang menganggap embargo itu ancaman serius terhadap keamanan
nasional mereka. Jepang pun tertarik pada wilayah Asia Tenggara yang
kaya akan minyak dan bahan mentah, namun mereka juga tahu Amerika tidak
akan membiarkan Jepang menguasai Asia dan negara lainnya. Di samping
itu, Jepang terus berupaya berunding dengan Amerika untuk membatalkan
embargo. Namun, Amerika menolak, kecuali jika Jepang mau angkat kaki
dari Tiongkok.
Perundingan terus berjalan alot karena masing-masing pihak tidak ada
yang mau mengalah, bahkan Amerika akan melanjutkannya dengan membekukan
aset-aset Jepang di Amerika setelah melihat pergerakan jepang yang terus
menuju Asia Tenggara. Ditambah pula oleh aksi angkatan darat Jepang
yang menyerang wilayah Indochina tanpa seizin Tokyo, membuat jalannya
diplomasi semakin alot.
Sejak awal, Jepang sadar bahwa menyelesaikan masalah dengan diplomasi
akan berakhir jalan buntu dan opsi berperang dengan Amerika, cepat atau
lambat tidak dapat terelakkan.
Sejalan dengan teori Ken Booth bahwa peran militer pada hakikatnya
adalah penggunaan kekuatan secara optimal untuk memenangkan perang atau
konflik bersenjata. Penggunaan kekuatan dilaksanakan untuk menegakkan
kedaulatan negara di laut dengan cara pertahanan negara dan penangkalan,
melalui penyiapan kekuatan untuk perang, menangkal setiap ancaman
militer melalui laut, menjaga stabilitas kawasan maritim, melindungi dan
menjaga perbatasan laut dengan negara tetangga.
Sedangkan peran diplomasi dilaksanakan dengan menggunakan kekuatan
laut sebagai sarana diplomasi dalam mendukung kebijakan luar negeri
pemerintah dan dirancang untuk mempengaruhi kepemimpinan negara atau
beberapa negara dalam keadaan damai atau pada situasi yang bermusuhan.
Penghancuran ‘Center of Gravity’
Untuk memuluskan jalan menguasai wilayah Asia, Jepang berencana
‘menetralkan’ kekuatan Armada Pasifik Amerika yang baru dipindah dari
San Diego ke Pearl Harbour. Jika armada ini dihancurkan, akan memuluskan
usaha Jepang dalam menguasai Asia. Hal ini juga akan menurunkan moral
Amerika dan bisa memaksa mereka melakukan perundingan lagi. Ini sesuai
dengan ajaran Clausewitz yang mengatakan,
Mass, concentrated
formations of troops and guns is the key victory, a military power must
be mass it forces at the enemies centre of gravity.
Dari prinsip itu, Jepang harus membangun kekuatan tempurnya untuk menguasai
center of gravity atau dalam hal ini adalah Pearl Harbour.
Perencanaan itu dilakukan dari April 1941 dengan mengorganisasi
kekuatan Angkatan Jaut Jepang yang terkonsentrasi di bawah kapal induk
AL Jepang, pimpinan Laksamana Madya Chuichi Nagumo.
Bulan Mei 1941, penerbang AL Jepang memulai persiapan dengan latihan
untuk menyerang Pearl Harbour. Tanggal 12-16 September 1941 dilkukan War
Games, latihan manuver strategis bagi rencana Jepang memerangi kekuatan
barat, di Japanese Naval Staff College. Hari terakhir betul-betul
dikhususkan untuk serangan Pearl Harbour.
Tanggal 3 November 1941, persetujuan terakhir bagi serangan Pearl
Harbour diberikan staf Jenderal AL Jepang dan 26 November 1941, gugus
tugas yang terdiri dari 30 kapal, termasuk enam kapal induk bergerak
dari Utara Jepang menuju Kepulauan Hawaii. Panglima Armada dipegang
Chuichi Nagumo yang berada di kapal induk Akagi. Yamamoto tetap di
perairan Jepang di atas kapal perang Nagato. Rombongan Jepang menyusuri
jalur utara, dan Armada Jepang bersembunyi di balik badai dan kabut.
Pada 1 Desember 1941, Kaisar menyetujui rencana penyerangan Pearl
Harbour dan Armada udara pertama menerima pesan kode ‘Daki Gunung
Nitaka’, tanda untuk melakukan serangan ke Pearl Harbour.
Memasuki 6 Desember 1941, dilakukan pengisian bahan bakar terakhir
Armada Udara Pertama sebelum penyerangan. Setelah melalui persiapan
matang, Jepang akhirnya membuat keputusan yang menentukan dengan
melakukan serangan ke Pearl Harbour pada 7 Desember 1941.
Kuasai Laut, Kuasai Dunia
Serangan yang berlangsung selama lebih dari 6 jam itu membuat teori Baron Antoine de Jomini yang menekankan pentingnya
lines of communication, konsentrasi kekuatan, dan daya serang untuk menghancurkan kekuatan armada musuh berjalan dalam peristiwa ini.
Jepang berhasil melakukan
blockade medan tempur di Perairan
Pasifik, sehingga memutus suplai logistik dan bantuan terhadap pangkalan
Pearl Harbour. Dalam waktu itu pula, Pearl Harbour terkurung akibat
serangan yang sporadis dari laut dan udara.
Menurut Julian Corbett, ada tiga fungsi armada, yaitu mendukung atau
menghalangi diplomasi, mempertahankan atau merusakan perdagangan,
mendukung atau menghalangi operasi di laut.
Corbett menyatakan, tujuan dari Perang Laut adalah Commad of the Sea dalam bentuk pengendalian laut (
sea control), dengan metode pertempuran yang menentukan (
decisive battle), blokade laut, armada siaga (
fleet in being), serangan balas (
minor counter attack), pertahanan melawan invasi (
defence against invansion), penyerangan dan perlindungan kapal dagang (
attack dan defence of commerce), penyerangan, pertahanan, dan bantuan ekpedisi militer (
attack, defence, and support of military).
Atas penerapan strategi itu, Jepang akhirnya menjadi penguasa di
Pasifik. Di sisi lain, Amerika tidak sanggup menerapkan strategi
maritimnya karena tidak siap menghadapi serangan yang serba-mendadak.
Hancurnya Pearl Harbour membuat Jepang semakin leluasa menyerang Asia
Tenggara, termasuk Indonesia. Dua samudera, Pasifik dan Hindia, hendak
mereka kuasai saat itu.
Begitulah. Siapa yang menguasai lautan akan menguasai perdagangan
dunia, dan akhirnya akan menguasai dunia. Dalam kurun waktu 3,5 tahun,
Jepang telah menjadi penguasa dua samudera, sebelum akhirnya hancur
lebur melalui pengeboman Hiroshima dan Nagasaki.
Pertempuran Dahsyat
Pagi hari, 7 Desember 1941, penyerangan besar-besaran dimulai.
Pengebom Jepang menyerang Landasan Kaneohe, Ford Island, Hickam,
Bellows, Wheeler, dan Ewa. Pengebom torpedo melakukan aksi penyerangan
ke kapal-kapal di Pearl Harbour.
Pembom B-17 dari Mainland mencapai Oahu setelah 14 jam perjalanan.
Kedatangannya disambut oleh pesawat-pesawat SBD dari USS Enterprise yang
tiba di Ford Island terlebih dahulu. Keduanya terjebak antara tembakan
lawan dan kawan.
Bala bantuan dari pos terdekat Angkatan Laut AS berdatangan, namun
tidak mampu menghadapi serangan Jepang yang membabibuta dan sporadis.
Sekitar pukul 08.50 waktu setempat, Mayor Shimazaki memerintahkan
pengerahan gelombang kedua di atas pangkalan militer di Oahu. Serangan
dimulai dengan menggunakan sebanyak 54 bom dari ketinggian mengenai
stasiun Penerbal, 78 pengebom tukik menembak kapal di pelabuhan, dan 36
pesawat tempur berputar di atas untuk menjaga kendali udara. Alhasil,
dalam waktu sekejap, Oahu menjadi lautan api.
Setelah berperang selama 3 jalam lebih, bendera sinyal di atas kapal
induk Akagi memerintahkan gugus tugas Jepang untuk menarik diri. Tadao
Fuchikami mengirim pesan dari Washington menyangkut ultimatum dari
Jepang yang harus diberikan pada pukul 13.00 waktu Washington. Pukul
16.25 waktu Hawaii, Gubernur menandatangani proklamasi perang terhadap
Jepang dan Hukum militer mulai diberlakukan.( JMOL)