Sudah menjadi pengetahuan publik jika
pemerintah Indonesia tengah akrab dengan pemerintah China. Tidak hanya
di sektor Ekonomi, bidang pertahanan pun terkena sentuhan mesra dua
negara.
Jika sejak era Menperindah Marie
Elka Pangestu, Indonesia diserbu produk-produk China, mulai dari barang
retail hingga investasi skala besar di berbagai sektor, membuktikan
adanya keeratan sang Naga dengan burung Garuda. Hingga kemudian Marie
Elka Pangestu diganti oleh Gita Wiryawan, sosok pengusaha muda yang
disebut-sebut sengaja diangkat sebagai Menperindag untuk menghentikan serbuan ekonomi Papa Mao di Indonesia.
Tentu muncul praduga dan
spekulasi siapa yang berpengaruh besar dalam pergantian Menperindag
tersebut? Bukan maksud tulisan ini membahas hal tersebut, tetapi justru
untuk mengupas motif dan sebab mengapa Garuda cukup akrab akhir-akhir
ini dengan sang Naga, padahal negeri kita ini sejak dahulu dikenal erat
(atau patuh) dengan setiap kehendak Paman Sam.
China : Sebuah Proyeksi Intelijen.
Dalam sebuah dokumen laporan dan proyeksi yang dirilis oleh
National Intelligence Council (NIC)
di Amerika Serikat memperkirakan akan terjadinya perubahan lanskap
geopolitik pada tahun 2020 yang dipelopori oleh China dan India.
NIC mengkalkulasikan faktor-faktor munculnya kedua negara tersebut dalam percaturan geopolitik adalah sebagai berikut :
1. Populasi
kedua negara yang diprediksi oleh US Census Bureau akan mencapai 1,4
milyar (China) dan hampir 1,3 milyar (India) jiwa. Berturut-turut,
pada tahun 2020, —standar hidup tidak perlu mendekati tingkatan Barat
untuk negara-negara ini untuk menjadi kuasa-kuasa ekonomi penting.
2. Cina, sekarang merupakan negara produsen terbesar ketiga barang-barang manufaktur, saham-saham korporasi China telah naik dari empat menjadi 12 persen dalam satu dekade terakhir. Dengan mudah China akan melampaui Jepang dalam beberapa tahun, tidak hanya dalam pangsa manufaktur tetapi juga dari ekspor dunia. Persaingan “harga” China terbukti mampu menahan kuat harga-harga manufaktur di seluruh dunia. India saat ini masih tertinggal dari China dalam langkah-langkah ekonomi, tetapi sebagian besar ekonom percaya negara itu juga akan mempertahankan tingkat pertumbuhan ekonomi yang tinggi.
Pada saat yang sama, perubahan lain muncul yang cenderung membentuk lanskap geopolitik baru. Ini termasuk kemungkinan peningkatan ekonomi negara-lainnya seperti Brazil, Afrika Selatan, Indonesia, dan bahkan Rusia - yang dapat memperkuat peningkatan peran China dan India.
Proyeksi ekonomi NIC tersebut sejauh ini terbukti, tetapi ada satu kalimat yang menarik untuk dicermati :
“Economic setbacks and crises of confidence could slow China’s emergence as a full-scale great power….”
Pertumbuhan China (credit:NIC)
3. China
akan terus memperkuat militernya melalui pengembangan dan kepemilikan
persenjataan modern, termasuk pesawat tempur jenis terbaru, kapal selam,
dan penambahan jumlah misil balistik. China akan melampaui Rusia dan
negara lain sebagai negara dengan jumlah belanja pertahanan terbesar
kedua setelah Amerika Serikat untuk dua decade yang akan datang dan
sangat mungkin akan menjadi kekuatan militer utama di dunia.
Belanja Militer China (Credit: NIC)
Perang Dingin Geopolitik Amerika-China
Amerika
dan China diam-diam terlibat dalam perebutan pengaruh di berbagai
belahan dunia. Dalam rangka memenuhi kebutuhan migas domestik, kedua
negara bertarung sengit demi memuluskan rencananya.
.1. 1. Afrika.
Perang Dingin baru Washington-Beijing terjadi pula di Afrika, terutama
wilayah tengah antara Sudan dan Chad. Perusahaan
Minyak Nasional China-Beijing (CNPC), adalah investor asing terbesar di
Sudan, dengan sekitar US$5 miliar dalam pembangunan ladang-ladang
minyak. Sejak tahun 1999 Cina telah menginvestasikan setidaknya $15
miliar di Sudan. CNPC sendiri kini memiliki 50% keuntungan dari kilang
minyak dekat Khartoum bekerjasama dengan pemerintah Sudan.
Sayang, proyek migas China di Sudan Selatan kini terhenti setelah
wilayah itu dilanda kerusuhan etnis yang kemudian melahirkan negara baru
Sudan Selatan pada Juli 2011 lalu.
Cina
pun melakukan kesepakatan dengan Nigeria dan Afrika Selatan. Perusahaan
nasional minyak Cina (CNOC) akan mengangkat minyak di Nigeria, melalui
konsorsium yang juga beranggotakan South Africa Petroleum Co.,
membukakan Cina akses ke sumber eskploitasi 175.000 barel per hari pada
tahun 2008.
Blok eksplorasi minyak di Sudan Selatan (photo : USAID)
Konflik
minyak di Sudan ini kemudian melahirkan negara baru Sudan Selatan yang
disponsori Amerika dalam mempertahankan lumbung-lumbung minyaknya dari
sentuhan China. Silahkan baca : Referendum di Papua: Belajarlah dari Sudan!
2. Kaukasia.
China dan
Amerika telah lama terlibat adu diplomasi minyak, keduanya telah memulai
perang dingin gaya baru di Kaukasia dan Afrika. China
National Petroleum Corp (CNPC) berhasil membangun jalur pipa minyak
dari Kazakhstan ke barat laut China, proyek yang telah menggeser
signifikansi geopolitik jalur pipa Baku-Tbilisi-Ceyhan (BTC) dukungan
Washington.
Kedekatan
kooperasi energi China-Kazakhstan-Rusia sangat merugikan Washington,
proyek Caspian Pipeline Consortium (CPC) yang dibentuk konsorsium Chevron Tengizchevoil di Kazakhstan terhenti sejak medio dekade 1990-an. Keberhasilan CNPC membeli PetroKazakhstan senilai $4.18
milyar, kemenangan kembali Sultan Nazarbayev dalam pemilu 2006, semakin
memperkuat geopolitik minyak China. Nazarbayev pun dikenal dekat dengan
Vladimir Putin.
Proyek pipa minyak China-Rusia di Kazakhstan (photo : oil.geopolitic.com)
3. 3. Asia Tenggara.
AS sendiri jelas ingin menanamkan pengaruhnya di kawasan Asia Tenggara. Kekalahannya dalam perebutan sumber-sumber SDA di
Kaukasia dan Afrika, membuat AS tidak akan melepaskan Asia Tenggara ke tangan China.
Kini ASEAN tengah dimanfaatkan untuk melemahkan pengaruh China. Jika dulu AS hanya memiliki
Thailand,
Singapura, Malaysia, Indonesia dan Brunei dalam menjaga ‘stabilitas
kawasan‘, kini Vietnam dan Kamboja berlawanan dengan China sejak klaim
negeri Panda di Laut Cina Selatan (LCS). Bahkan sejak
2008,
Washington tidak terlalu menekan
rezim Myanmar,
bahwa Washington akhirnya dapat menambah Myanmar sebagai ‘teman’ strategis
.
AS cenderung menyikapi
pengaruh China di ASEAN dengan melakukan militerisasi kawasan. Kehadiran
ribuan marinir di Darwin, rencana penempatan militer kembali di
Filipina, dan latihan militer bersama di LCS. Bahkan, Filipina telah
menerima hibah beberapa kapal perang dari AS.
Tidak hanya AS, Inggris pun menghadiri pertemuan negara-negara anggota Five Power Defense Arrangement (FPDA) ke-13 di Singapura
, bersama Australia, Malaysia, Singapura, dan Selandia Baru.
Lemahnya China dan tergiringnya ASEAN lebih lanjut akan membuat wilayah ini benar-benar tak berdaya mensikapi rencana AS selanjutnyan.
Menurunnya kapasitas ASEAN ke tingkat organisasi stempel kebijakan-kebijakan AS, membuka ruang Australia dan Jepang untuk
mendominasi wilayah secara
politik dan militer.
Jalur pengiriman dan perdagangan laut di Selat Malaka
Gambar di atas, adalah rantai supply energi yang sangat penting
bagi Cina (jalur biru dengan lis warna merah) lewat Selat Malaka
sehingga menjadikan kawasan tersebut bernilai sangat strategis tidak
saja bagi negara-negara di kawasan Asia Pasifik, namun juga seluruh
dunia.
China jelas sangat berkepentingan dengan Selat Malaka dimana 30% minyak China diimpor melalui selat tersebut.
Indonesia-China : A Geopolitical Game.
Jika
merujuk kepada dokumen NIC di atas, China dan Indonesia merupakan dua
negara yang disebut-sebut sebagai “Rising States” di Asia selain India.
Selain secara ekonomi, dari sudut pandang geopolitik, kedua negara
memiliki kedudukan yang tidak dapat dipandang enteng.
Baik
Amerika maupun China sama-sama faham betul, sebagai negara terbesar di
ASEAN dan bersinggungan langsung dengan Selat Malaka dan Laut China
Selatan (LCS) tentu menjadi faktor kunci dalam menjaga keseimbangan
maupun stabilitas kawasan. Selain faktor historis yang mencatat
kepeloporan Indonesia dalam panggung politik dunia, termasuk
pembangkangannya baik terhadap Amerika (Era Soekarno) dan terhadap China
(Era Soeharto).
Kedua
negara akhir-akhir ini sangat aktif melakukan lobi-lobi terhadap
Jakarta demi memuluskan kepentingan masing-masing. Dan seperti yang kita
lihat, baik dengan China, maupun dengan Amerika, Indonesia sama
akrabnya.
Secara
kasat mata terlihat hal itu merupakan sikap yang tidak berpendirian,
apalagi jika ditilik dari sudut pandang para idealis yang menginginkan
Indonesia mengambil sikap hitam-putih khususnya terhadap Amerika seperti
yang telah dilakukan Venezuela, Iran, dan Kuba.
Sebagai negara yang “dikepung” oleh kekuatan-kekuatan
besar, maka sikap Jakarta merupakan hal yang paling realistis dan
pragmatis untuk saat ini. Pragmatisme Jakarta bukannya tanpa visi jangka
panjang atau idealism, terlebih saat ini pemerintah tengah mencanangkan
kemandirian pertahanan nasional di bidang alutsista.
Dengan
proyeksi Minimum Essential Force (MEF), kita membutuhkan mitra atau
patron dalam memuluskan proyeksi tersebut. Apalagi pemerintah pun
membuat satu pondasi bahwa perkembangan pertahanan harus melibatkan
industri pertahanan dalam negeri yang nanti akan memberikan dampak
positif terhadap ekonomi nasional.
Permainan
geopolitik yang dilakukan Jakarta bukannya tanpa resiko, tetapi resiko
yang lebih utama dan patut dicermati secara tajam adalah
pertarungan-pertarungan bawah air yang tetap titik finalnya mengganggu
kemitraan strategis Indonesia dengan negara lain.
Dalam
term Perang Asimetris, kewaspadaan harus diutamakan kepada ancaman
nir-militer yang dapat maujud dalam berbagai bentuk. Karena
gerakan-gerakan yang dilakukan secara sistematis di bawah tanah, jika
tidak dapat diantisipasi akan menjadi ancaman yang fatal saat digiring
ke permukaan.
Di
China sendiri, negeri Panda tengah dirundung persoalan Xinjiang yang
beberapa waktu lalu sempat rusuh. Ditengarai provinsi itu telah menjadi
pertarungan intelijen antara Beijing dengan CIA yang memanfaatkan
jaringan pembangkang di China.
Masalah
lain yang menggerogoti China sejak lama adalah Tibet. Provinsi tersebut
menginginkan pemisahan diri dari China, tetapi hingga saat ini Beijing
tetap enggan melepaskan Tibet.
Kasus
instabilitas yang dicurigai merupakan imbas permainan geopolitik antara
China-Amerika adalah kasus kerusuhan Sunni-Syi’ah di Sampang Madura.
Isu sectarian dimunculkan untuk memancing rantai reaksi emosional dari
dua kubu, padahal dibalik itu banyak indikasi permainan besar terutama
dalam rangka “menggoyang” investasi migas China di pulau garam itu.
Analisis saya tentang kasus Sampang tersebut dapat dibaca di : Kasus Sampang: Distorsi Isu Atau Agenda Asing?
Kita
harus mutlak waspada ketika berusaha mendekatkan diri dengan
negara-negara selain Paman Sam, sebagai penganut ideologi Pax Americana,
Paman Sam sangat berhaluan unipolar dalam seluruh kebijakannya dan
tidak segan-segan menekan negara lain agar mau memenuhi keinginan Paman
Sam.
Salah
satu aspek krusial dalam peperangan asimetris adalah perang elektronika
(pernika) atau Cyber Warfare yang diprediksi akan menjadi salah satu
ujung tombak dalam meruntuhkan musuh selain operasi-operasi psiko-sosial
(kerusuhan, krisi ekonomi) yang telah saya sebutkan contohnya di atas.
Prediksi NIC sendiri mengatakan :
“Selama 15 tahun ke depan, tumbuh berbagai aktor, termasuk teroris, dapat memperoleh dan mengembangkan kemampuan untuk melakukan serangan, baik fisik dan cyber terhadap node infrastruktur informasi dunia, termasuk Internet, jaringan telekomunikasi, dan sistem komputer yang mengendalikan proses industri penting seperti jaringan listrik, kilang, dan mekanisme pengendalian banjir. Teroris telah menentukan infrastruktur informasi AS sebagai target dan saat ini mampu melakukan serangan fisik yang dapat menyebabkan - setidaknya secara singkat - gangguan isolasi. Kemampuan untuk menanggapi serangan tersebut akan membutuhkan teknologi penting untuk menutup kesenjangan antara penyerang dan pelindung. Sebuah medan tempur virtual kunci di masa depan akan berupa informasi pada sistem komputer itu sendiri, yang jauh lebih berharga dan rentan daripada sistem fisik.”
Amerika dan China pun telah terlibat peperangan elektronika, salah satunya melibatkan situs paling terkenal abad ini, Wikileaks. Menurut
pejabat China dan Thailand, Wikileaks adalah bagian dari perang digital
Amerika Serikat dan operasi spionase computer, termasuk Mossad di
dalamnya. “Wikileaks tengah menjalankan kampanye disinformasi,
seolah-olah menangisi penyiksaan yang dilakukan agensi intelijen
Amerika. Kegiatan Wikileaks di Islandia sendiri pun sangat
mencurigakan.”1
Kecurigaan bahwa Wikileaks adalah bagian cari COINTELPRO (Counter Intelligence Program) digital, diperkuat dengan pernyataan John Young. Pada bulan Januari 2007, salah
satu pendiri awal Wikileaks yang kini memiliki situs cryptome.org dan
banyak mempublikasikan dokumen-dokumen sensitif tersebut, keluar dari
Wikileaks. Young menuduh bahwa Wikileaks adalah garis depan CIA, sembari
memperlihatkan 150 email internal aktivis Wikileaks ke situs Cryptome.
Dalam
sebuah wawancara dengan John Young, CNET melaporkan bahwa Young menarik
diri ketika para pendiri Wikileaks lainnya mulai membicarakan kebutuhan
dana sebesar $5 juta dan mengeluh bawah putaran pertama publikasi
Wikileaks telah mempengaruhi negosiasi Wikileaks dengan Open Society
Institute maupun lembaga donor lainnya.2
Masih
menurut Young, aktivis Wikileaks di China dicurigai memiliki koneksi
dengan dinas Intelijen Israel. Wikileaks secara intim bergerak bersama
CIA dalam operasi senilai $20 juta untuk meretas jaringan komputer
China, aksi itu dilakukan bersama aktivis pelarian China yang berada di
Amerika Serikat. Rute peretas China tersebut biasanya diawali oleh
dijebolnya jaringan komputer China, kemudian membidik sistem komputer
militer maupun pemerintah Amerika Serikat. Setelah aksi dilakukan,
Gedung Putih melalui media yang pro pemerintah akan mengeluarkan
pernyataan resmi bahwa jaringan komputer mereka telah menjadi sasaran
serangan digital China. Ancaman yang dibuat-buat itu berhasil
menggelembungkan anggaran pertahanan digital Pentagon, CIA, FBI, dan
lembaga lainnya, serta memainkan perasaan takut rakyat Amerika maupun
pelaku bisnis yang sangat bergantung pada teknologi informasi.
Kecurigaan tersebut sejauh ini terbukti, pemerintah
China membantah keras keterlibatan pemerintah negeri itu dalam serangan
meretas layanan surat elektronik milik Google, Gmail. Pernyataan ini
keluar sehari setelah Google menyatakan pembobolan kemungkinan dilakukan
peretas dari Jinan, China.
Seperti dilansir laman International Business Times, Kamis
2 Juni 2011, Juru Bicara Kementerian Luar Negeri China, Hong Lei,
megatakan, pihaknya tidak dapat menerima jika semua kesalahan hanya
dialamatkan kepada pemerintahan China. “China sendiri telah menjadi
korban serangan peretas ini, dan pemerintah telah memberikan perhatian
besar pada keamanan dunia maya,” ujarnya. “Pernyataan yang menyebutkan
bahwa pemerintah China mendukung serangan pembajakan, memiliki motif
tersembunyi.”3
Menyadari pentingnya PERNIKA dalam term peperangan modern, terutama mengantisipasi peperangan asimetris, pemerintah pun merangkul China dalam kerjasama sistem pertahanan elektronika.4
Sebelumnya, kedua negara telah bekerjasama dalam produksi rudal C705, latihan militer bersama, dan pertukaran perwira.
Ini menarik, kembali muncul pertanyaan dalam benak saya, “Mengapa
dengan China?” Mengapa tidak dengan Amerika atau negara lainnya ?
Sekali lagi, ini pertimbangan geopolitik. Jika merujuk kepada proyeksi
NIC di atas, akan sangat dimengerti dan bahkan bisa dikatakan sebuah
kewajiban politik untuk melakukan kerjasama dengan Negeri Panda. Tinggal
pertanyaannya adalah “Siapa memanfaatkan Siapa?
Hipotesa
saya bahwa kerjasama dengan China merupakan kewajiban politik sejauh
ini beralasan terutama jika kita tahu ambisi China menguasai 80%
komunikasi dunia.
Bagaimana cara china menguasai 80persen komunikasi dunia? China
telah menemukan semacam “backdoor” untuk mengakses 80 persen dari
komunikasi duniaTujuannya untuk mendapatkan informasi yang dikirimkan
melalui internet dan database infrastruktur sensitive melalui perusahaan Huawei Technologies Co Ltd dan ZTE Corporation yang adalah perusahaan pemerintah dan Tentara Pembebasan Rakyat (PLA) china.
Huawei didirikan thn 1987 oleh seorang ex-military officer Ren Zhengfei, jadi tidak menutup kemungkinan, wong pendirinya aja ex intel kok.
China
dapat menggunakan “backdoor” ini untuk mendapatkan akses ke informasi
di seluruh dunia melalui jaringan komersial yang telah diinstal. Itulah sebabnya vendor huawei sempat di ban oleh Australia, India,US, dan Inggris.
Tetapi China tidak kalah cerdik, mereka menurunkan harga hampir separuh untuk menjual peralatan mereka yang tentu saja menarik minat para operator telekomunikasi.
Kedua perusahaan tersebut memberikan China remote akses “backdoor” elektronik melalui peralatan yang telah mereka instal dalam jaringan telekomunikasi di lebih 140 negara. Itulah hebatnya China.
Saat
ini, perusahaan telekomunikasi China menempati peringkat ke-45 dari
seluruh operator telekomunikasi terbesar di dunia.Dengan strategi harga
murah, keuntungan bisnis diperoleh,keuntungan intelijen-militer juga
dapat diraup melalui data-data intelijen yang didapat dari backdoor
tadi.
Kini China telah berusaha untuk memperoleh dan mengakses 20 persen sisanya.
Individu
dan perusahaan yang berkomunikasi melalui jaringan mereka yaitu virtual
private network/VPN sangat rentan terhadap hal ini. Saat ini telah banyak jaringan-jaringan yang “bocor” ke kolektor data China, terutama jaringan perusahaan yang berbasis di negara seperti Meksiko.
Pejabat Pemerintah AS menyadari ancaman ini. Komite Intelijen AS telah ditugaskan untuk menyelidiki dua perusahaan China tersebut. Departemen Perdagangan AS telah melarang Huawei untuk membangun jaringan nirkabel nasional.Ini
juga mengingatkan kita kepada kasus temuan 1.800 perangkat elektronik
China di dalam peralatan penting militer AS seperti sistem pertahanan
rudal dan sensor intelijen. Isu ini cukup menghangat dan mengagetkan publi Amerika saat itu. Kecemasan itu pun dirasakan oleh Chairman televisi CBS, Mike Rogers, yang mengatakan :
If I were an American company today and
you are looking at Huawei, I would find another vendor if you care
about your intellectual property.. if you care about your consumers’
privacy and you care about the national security of the US.“
Bagaimana dengan di indonesia? Huawei hampir menguasai 80 persen telekomunikasi di Indonesia.
Jadi, kerjasama pertahanan elektronika ini memang bukan tanpa resiko
yang dapat membahayakan keamanan Nasional, tetapi jika melihat peta
rejional hari ini, menurut saya kerjasama dengan China sudah sangat
tepat.
Bahkan,
saya yakin hipotesa ini tidak berlebihan, “Kerjasama pertahanan
elektronika ini dapat dikembangkan (dengan diam-diam tentunya) menjadi
suatu fakta pertahanan elektronika. Sehingga kedua negara dapat saling
membantu apabila terjadi serangan elektronik dari negara lain.”
Demikian, semoga bermanfaat.