Pages

Thursday, 24 January 2013

Mengapa Kita “Mesra” dengan China?

Sudah menjadi pengetahuan publik jika pemerintah Indonesia tengah akrab dengan pemerintah China. Tidak hanya di sektor Ekonomi, bidang pertahanan pun terkena sentuhan mesra dua negara.
Jika sejak era Menperindah Marie Elka Pangestu, Indonesia diserbu produk-produk China, mulai dari barang retail hingga investasi skala besar di berbagai sektor, membuktikan adanya keeratan sang Naga dengan burung Garuda. Hingga kemudian Marie Elka Pangestu diganti oleh Gita Wiryawan, sosok pengusaha muda yang disebut-sebut sengaja diangkat sebagai Menperindag untuk menghentikan serbuan ekonomi Papa Mao di Indonesia. 

Tentu muncul praduga dan spekulasi siapa yang berpengaruh besar dalam pergantian Menperindag tersebut? Bukan maksud tulisan ini membahas hal tersebut, tetapi justru untuk mengupas motif dan sebab mengapa Garuda cukup akrab akhir-akhir ini dengan sang Naga, padahal negeri kita ini sejak dahulu dikenal erat (atau patuh) dengan setiap kehendak Paman Sam.

China : Sebuah Proyeksi Intelijen.
Dalam sebuah dokumen laporan dan proyeksi yang dirilis oleh National Intelligence Council (NIC) di Amerika Serikat memperkirakan akan terjadinya perubahan lanskap geopolitik pada tahun 2020 yang dipelopori oleh China dan India.

NIC mengkalkulasikan faktor-faktor munculnya kedua negara tersebut dalam percaturan geopolitik adalah sebagai berikut :
1. Populasi kedua negara yang diprediksi oleh US Census Bureau akan mencapai 1,4 milyar (China) dan hampir 1,3 milyar (India) jiwa. Berturut-turut, pada tahun 2020, —standar hidup tidak perlu mendekati tingkatan Barat untuk negara-negara ini untuk menjadi kuasa-kuasa ekonomi penting.
2. Cina, sekarang merupakan negara produsen terbesar ketiga barang-barang manufaktur, saham-saham korporasi China telah naik dari empat menjadi 12 persen dalam satu dekade terakhir. Dengan mudah China akan melampaui Jepang dalam beberapa tahun, tidak hanya dalam pangsa manufaktur tetapi juga dari ekspor dunia. Persaingan “harga” China terbukti mampu menahan kuat harga-harga manufaktur di seluruh dunia. India saat ini masih tertinggal dari China dalam langkah-langkah ekonomi, tetapi sebagian besar ekonom percaya negara itu juga akan mempertahankan tingkat pertumbuhan ekonomi yang tinggi.
Pada saat yang sama, perubahan lain muncul yang cenderung membentuk lanskap geopolitik baru. Ini termasuk kemungkinan peningkatan ekonomi negara-lainnya seperti Brazil, Afrika Selatan, Indonesia, dan bahkan Rusia - yang dapat memperkuat peningkatan peran China dan India.
Proyeksi ekonomi NIC tersebut sejauh ini terbukti, tetapi ada satu kalimat yang menarik untuk dicermati :
“Economic setbacks and crises of confidence could slow China’s emergence as a full-scale great power….”

1358929267743152604
Pertumbuhan China (credit:NIC)


3. China akan terus memperkuat militernya melalui pengembangan dan kepemilikan persenjataan modern, termasuk pesawat tempur jenis terbaru, kapal selam, dan penambahan jumlah misil balistik. China akan melampaui Rusia dan negara lain sebagai negara dengan jumlah belanja pertahanan terbesar kedua setelah Amerika Serikat untuk dua decade yang akan datang dan sangat mungkin akan menjadi kekuatan militer utama di dunia.
Belanja Militer China (Credit: NIC)
13589294661621990246 
Perang Dingin Geopolitik Amerika-China
Amerika dan China diam-diam terlibat dalam perebutan pengaruh di berbagai belahan dunia. Dalam rangka memenuhi kebutuhan migas domestik, kedua negara bertarung sengit demi memuluskan rencananya.
.1. 1. Afrika.
Perang Dingin baru Washington-Beijing terjadi pula di Afrika, terutama wilayah tengah antara Sudan dan Chad. Perusahaan Minyak Nasional China-Beijing (CNPC), adalah investor asing terbesar di Sudan, dengan sekitar US$5 miliar dalam pembangunan ladang-ladang minyak. Sejak tahun 1999 Cina telah menginvestasikan setidaknya $15 miliar di Sudan. CNPC sendiri kini memiliki 50% keuntungan dari kilang minyak dekat Khartoum bekerjasama dengan pemerintah Sudan. Sayang, proyek migas China di Sudan Selatan kini terhenti setelah wilayah itu dilanda kerusuhan etnis yang kemudian melahirkan negara baru Sudan Selatan pada Juli 2011 lalu.

Cina pun melakukan kesepakatan dengan Nigeria dan Afrika Selatan. Perusahaan nasional minyak Cina (CNOC) akan mengangkat minyak di Nigeria, melalui konsorsium yang juga beranggotakan South Africa Petroleum Co., membukakan Cina akses ke sumber eskploitasi 175.000 barel per hari pada tahun 2008. 
1358928133155640374 
Blok eksplorasi minyak di Sudan Selatan (photo : USAID)
Konflik minyak di Sudan ini kemudian melahirkan negara baru Sudan Selatan yang disponsori Amerika dalam mempertahankan lumbung-lumbung minyaknya dari sentuhan China. Silahkan baca : Referendum di Papua: Belajarlah dari Sudan! 

2. Kaukasia.
China dan Amerika telah lama terlibat adu diplomasi minyak, keduanya telah memulai perang dingin gaya baru di Kaukasia dan Afrika. China National Petroleum Corp (CNPC) berhasil membangun jalur pipa minyak dari Kazakhstan ke barat laut China, proyek yang telah menggeser signifikansi geopolitik jalur pipa Baku-Tbilisi-Ceyhan (BTC) dukungan Washington.
Kedekatan kooperasi energi China-Kazakhstan-Rusia sangat merugikan Washington, proyek Caspian Pipeline Consortium (CPC) yang dibentuk konsorsium Chevron Tengizchevoil di Kazakhstan terhenti sejak medio dekade 1990-an. Keberhasilan CNPC membeli PetroKazakhstan senilai $4.18 milyar, kemenangan kembali Sultan Nazarbayev dalam pemilu 2006, semakin memperkuat geopolitik minyak China. Nazarbayev pun dikenal dekat dengan Vladimir Putin.
13589286711498021521Proyek pipa minyak China-Rusia di Kazakhstan (photo : oil.geopolitic.com)

3. 3. Asia Tenggara.

AS sendiri jelas ingin menanamkan pengaruhnya di kawasan Asia Tenggara. Kekalahannya dalam perebutan sumber-sumber SDA di Kaukasia dan Afrika, membuat AS tidak akan melepaskan Asia Tenggara ke tangan China.

Kini ASEAN tengah dimanfaatkan untuk melemahkan pengaruh China. Jika dulu AS hanya memiliki Thailand, Singapura, Malaysia, Indonesia dan Brunei dalam menjaga ‘stabilitas kawasan‘, kini Vietnam dan Kamboja berlawanan dengan China sejak klaim negeri Panda di Laut Cina Selatan (LCS). Bahkan sejak 2008, Washington tidak terlalu menekan rezim Myanmar, bahwa Washington akhirnya dapat menambah Myanmar sebagai ‘teman’ strategis.

AS cenderung menyikapi pengaruh China di ASEAN dengan melakukan militerisasi kawasan. Kehadiran ribuan marinir di Darwin, rencana penempatan militer kembali di Filipina, dan latihan militer bersama di LCS. Bahkan, Filipina telah menerima hibah beberapa kapal perang dari AS.
Tidak hanya AS, Inggris pun menghadiri pertemuan negara-negara anggota Five Power Defense Arrangement (FPDA) ke-13 di Singapura, bersama Australia, Malaysia, Singapura, dan Selandia Baru.

Lemahnya China dan tergiringnya ASEAN lebih lanjut akan membuat wilayah ini benar-benar tak berdaya mensikapi rencana AS selanjutnyan. Menurunnya kapasitas ASEAN ke tingkat organisasi stempel kebijakan-kebijakan AS, membuka ruang Australia dan Jepang untuk mendominasi wilayah secara politik dan militer.


13589288851655550370
Jalur pengiriman dan perdagangan laut di Selat Malaka
Gambar di atas, adalah rantai supply energi yang sangat penting bagi Cina (jalur biru dengan lis warna merah) lewat Selat Malaka sehingga menjadikan kawasan tersebut bernilai sangat strategis tidak saja bagi negara-negara di kawasan Asia Pasifik, namun juga seluruh dunia.
China jelas sangat berkepentingan dengan Selat Malaka dimana 30% minyak China diimpor melalui selat tersebut.
Indonesia-China : A Geopolitical Game.
Jika merujuk kepada dokumen NIC di atas, China dan Indonesia merupakan dua negara yang disebut-sebut sebagai “Rising States” di Asia selain India. Selain secara ekonomi, dari sudut pandang geopolitik, kedua negara memiliki kedudukan yang tidak dapat dipandang enteng.
Baik Amerika maupun China sama-sama faham betul, sebagai negara terbesar di ASEAN dan bersinggungan langsung dengan Selat Malaka dan Laut China Selatan (LCS) tentu menjadi faktor kunci dalam menjaga keseimbangan maupun stabilitas kawasan. Selain faktor historis yang mencatat kepeloporan Indonesia dalam panggung politik dunia, termasuk pembangkangannya baik terhadap Amerika (Era Soekarno) dan terhadap China (Era Soeharto).
Kedua negara akhir-akhir ini sangat aktif melakukan lobi-lobi terhadap Jakarta demi memuluskan kepentingan masing-masing. Dan seperti yang kita lihat, baik dengan China, maupun dengan Amerika, Indonesia sama akrabnya.
Secara kasat mata terlihat hal itu merupakan sikap yang tidak berpendirian, apalagi jika ditilik dari sudut pandang para idealis yang menginginkan Indonesia mengambil sikap hitam-putih khususnya terhadap Amerika seperti yang telah dilakukan Venezuela, Iran, dan Kuba.
Sebagai negara yang “dikepung” oleh kekuatan-kekuatan besar, maka sikap Jakarta merupakan hal yang paling realistis dan pragmatis untuk saat ini. Pragmatisme Jakarta bukannya tanpa visi jangka panjang atau idealism, terlebih saat ini pemerintah tengah mencanangkan kemandirian pertahanan nasional di bidang alutsista. 
Dengan proyeksi Minimum Essential Force (MEF), kita membutuhkan mitra atau patron dalam memuluskan proyeksi tersebut. Apalagi pemerintah pun membuat satu pondasi bahwa perkembangan pertahanan harus melibatkan industri pertahanan dalam negeri yang nanti akan memberikan dampak positif terhadap ekonomi nasional.
Permainan geopolitik yang dilakukan Jakarta bukannya tanpa resiko, tetapi resiko yang lebih utama dan patut dicermati secara tajam adalah pertarungan-pertarungan bawah air yang tetap titik finalnya mengganggu kemitraan strategis Indonesia dengan negara lain.
Dalam term Perang Asimetris, kewaspadaan harus diutamakan kepada ancaman nir-militer yang dapat maujud dalam berbagai bentuk. Karena gerakan-gerakan yang dilakukan secara sistematis di bawah tanah, jika tidak dapat diantisipasi akan menjadi ancaman yang fatal saat digiring ke permukaan.
Di China sendiri, negeri Panda tengah dirundung persoalan Xinjiang yang beberapa waktu lalu sempat rusuh. Ditengarai provinsi itu telah menjadi pertarungan intelijen antara Beijing dengan CIA yang memanfaatkan jaringan pembangkang di China. 
Masalah lain yang menggerogoti China sejak lama adalah Tibet. Provinsi tersebut menginginkan pemisahan diri dari China, tetapi hingga saat ini Beijing tetap enggan melepaskan Tibet.
Kasus instabilitas yang dicurigai merupakan imbas permainan geopolitik antara China-Amerika adalah kasus kerusuhan Sunni-Syi’ah di Sampang Madura. Isu sectarian dimunculkan untuk memancing rantai reaksi emosional dari dua kubu, padahal dibalik itu banyak indikasi permainan besar terutama dalam rangka “menggoyang” investasi migas China di pulau garam itu.
Analisis saya tentang kasus Sampang tersebut dapat dibaca di : Kasus Sampang: Distorsi Isu Atau Agenda Asing? 
Kita harus mutlak waspada ketika berusaha mendekatkan diri dengan negara-negara selain Paman Sam, sebagai penganut ideologi Pax Americana, Paman Sam sangat berhaluan unipolar dalam seluruh kebijakannya dan tidak segan-segan menekan negara lain agar mau memenuhi keinginan Paman Sam.
Salah satu aspek krusial dalam peperangan asimetris adalah perang elektronika (pernika) atau Cyber Warfare yang diprediksi akan menjadi salah satu ujung tombak dalam meruntuhkan musuh selain operasi-operasi psiko-sosial (kerusuhan, krisi ekonomi) yang telah saya sebutkan contohnya di atas.
Prediksi NIC sendiri mengatakan :
Selama 15 tahun ke depan, tumbuh berbagai aktor, termasuk teroris, dapat memperoleh dan mengembangkan kemampuan untuk melakukan serangan, baik fisik dan cyber terhadap node infrastruktur informasi dunia, termasuk Internet, jaringan telekomunikasi, dan sistem komputer yang mengendalikan proses industri penting seperti jaringan listrik, kilang, dan mekanisme pengendalian banjir. Teroris telah menentukan infrastruktur informasi AS sebagai target dan saat ini mampu melakukan serangan fisik yang dapat menyebabkan - setidaknya secara singkat - gangguan isolasi. Kemampuan untuk menanggapi serangan tersebut akan membutuhkan teknologi penting untuk menutup kesenjangan antara penyerang dan pelindung. Sebuah medan tempur virtual kunci di masa depan akan berupa informasi pada sistem komputer itu sendiri, yang jauh lebih berharga dan rentan daripada sistem fisik.
Amerika dan China pun telah terlibat peperangan elektronika, salah satunya melibatkan situs paling terkenal abad ini, Wikileaks. Menurut pejabat China dan Thailand, Wikileaks adalah bagian dari perang digital Amerika Serikat dan operasi spionase computer, termasuk Mossad di dalamnya. “Wikileaks tengah menjalankan kampanye disinformasi, seolah-olah menangisi penyiksaan yang dilakukan agensi intelijen Amerika. Kegiatan Wikileaks di Islandia sendiri pun sangat mencurigakan.”1
Kecurigaan bahwa Wikileaks adalah bagian cari COINTELPRO (Counter Intelligence Program) digital, diperkuat dengan pernyataan John Young. Pada bulan Januari 2007, salah satu pendiri awal Wikileaks yang kini memiliki situs cryptome.org dan banyak mempublikasikan dokumen-dokumen sensitif tersebut, keluar dari Wikileaks. Young menuduh bahwa Wikileaks adalah garis depan CIA, sembari memperlihatkan 150 email internal aktivis Wikileaks ke situs Cryptome.

Dalam sebuah wawancara dengan John Young, CNET melaporkan bahwa Young menarik diri ketika para pendiri Wikileaks lainnya mulai membicarakan kebutuhan dana sebesar $5 juta dan mengeluh bawah putaran pertama publikasi Wikileaks telah mempengaruhi negosiasi Wikileaks dengan Open Society Institute maupun lembaga donor lainnya.2

Masih menurut Young, aktivis Wikileaks di China dicurigai memiliki koneksi dengan dinas Intelijen Israel. Wikileaks secara intim bergerak bersama CIA dalam operasi senilai $20 juta untuk meretas jaringan komputer China, aksi itu dilakukan bersama aktivis pelarian China yang berada di Amerika Serikat. Rute peretas China tersebut biasanya diawali oleh dijebolnya jaringan komputer China, kemudian membidik sistem komputer militer maupun pemerintah Amerika Serikat. Setelah aksi dilakukan, Gedung Putih melalui media yang pro pemerintah akan mengeluarkan pernyataan resmi bahwa jaringan komputer mereka telah menjadi sasaran serangan digital China. Ancaman yang dibuat-buat itu berhasil menggelembungkan anggaran pertahanan digital Pentagon, CIA, FBI, dan lembaga lainnya, serta memainkan perasaan takut rakyat Amerika maupun pelaku bisnis yang sangat bergantung pada teknologi informasi.

Kecurigaan tersebut sejauh ini terbukti, pemerintah China membantah keras keterlibatan pemerintah negeri itu dalam serangan meretas layanan surat elektronik milik Google, Gmail. Pernyataan ini keluar sehari setelah Google menyatakan pembobolan kemungkinan dilakukan peretas dari Jinan, China.

Seperti dilansir laman International Business Times, Kamis 2 Juni 2011, Juru Bicara Kementerian Luar Negeri China, Hong Lei, megatakan, pihaknya tidak dapat menerima jika semua kesalahan hanya dialamatkan kepada pemerintahan China. “China sendiri telah menjadi korban serangan peretas ini, dan pemerintah telah memberikan perhatian besar pada keamanan dunia maya,” ujarnya. “Pernyataan yang menyebutkan bahwa pemerintah China mendukung serangan pembajakan, memiliki motif tersembunyi.”3
Menyadari pentingnya PERNIKA dalam term peperangan modern, terutama mengantisipasi peperangan asimetris, pemerintah pun merangkul China dalam kerjasama sistem pertahanan elektronika.4
Sebelumnya, kedua negara telah bekerjasama dalam produksi rudal C705, latihan militer bersama, dan pertukaran perwira.
Ini menarik, kembali muncul pertanyaan dalam benak saya, “Mengapa dengan China?” Mengapa tidak dengan Amerika atau negara lainnya ?
Sekali lagi, ini pertimbangan geopolitik. Jika merujuk kepada proyeksi NIC di atas, akan sangat dimengerti dan bahkan bisa dikatakan sebuah kewajiban politik untuk melakukan kerjasama dengan Negeri Panda. Tinggal pertanyaannya adalah “Siapa memanfaatkan Siapa?
Hipotesa saya bahwa kerjasama dengan China merupakan kewajiban politik sejauh ini beralasan terutama jika kita tahu ambisi China menguasai 80% komunikasi dunia.
Bagaimana cara china menguasai 80persen komunikasi dunia? China telah menemukan semacam “backdoor” untuk mengakses 80 persen dari komunikasi duniaTujuannya untuk mendapatkan informasi yang dikirimkan melalui internet dan database infrastruktur sensitive melalui perusahaan Huawei Technologies Co Ltd dan ZTE Corporation yang adalah perusahaan pemerintah dan Tentara Pembebasan Rakyat (PLA) china.
Huawei didirikan thn 1987 oleh seorang ex-military officer Ren Zhengfei, jadi tidak menutup kemungkinan, wong pendirinya aja ex intel kok.
China dapat menggunakan “backdoor” ini untuk mendapatkan akses ke informasi di seluruh dunia melalui jaringan komersial yang telah diinstal. Itulah sebabnya vendor huawei sempat di ban oleh Australia, India,US, dan Inggris.
Tetapi China tidak kalah cerdik, mereka menurunkan harga hampir separuh untuk menjual peralatan mereka yang tentu saja menarik minat para operator telekomunikasi.
Kedua perusahaan tersebut memberikan China remote akses “backdoor” elektronik melalui peralatan yang telah mereka instal dalam jaringan telekomunikasi di lebih 140 negara. Itulah hebatnya China.
Saat ini, perusahaan telekomunikasi China menempati peringkat ke-45 dari seluruh operator telekomunikasi terbesar di dunia.Dengan strategi harga murah, keuntungan bisnis diperoleh,keuntungan intelijen-militer juga dapat diraup melalui data-data intelijen yang didapat dari backdoor tadi.
Kini China telah berusaha untuk memperoleh dan mengakses 20 persen sisanya.
Individu dan perusahaan yang berkomunikasi melalui jaringan mereka yaitu virtual private network/VPN sangat rentan terhadap hal ini. Saat ini telah banyak jaringan-jaringan yang “bocor” ke kolektor data China, terutama jaringan perusahaan yang berbasis di negara seperti Meksiko.
Pejabat Pemerintah AS menyadari ancaman ini. Komite Intelijen AS telah ditugaskan untuk menyelidiki dua perusahaan China tersebut. Departemen Perdagangan AS telah melarang Huawei untuk membangun jaringan nirkabel nasional.Ini juga mengingatkan kita kepada kasus temuan 1.800 perangkat elektronik China di dalam peralatan penting militer AS seperti sistem pertahanan rudal dan sensor intelijen. Isu ini cukup menghangat dan mengagetkan publi Amerika saat itu. Kecemasan itu pun dirasakan oleh Chairman televisi CBS, Mike Rogers, yang mengatakan :
If I were an American company today and you are looking at Huawei, I would find another vendor if you care about your intellectual property.. if you care about your consumers’ privacy and you care about the national security of the US.
 
Bagaimana dengan di indonesia? Huawei hampir menguasai 80 persen telekomunikasi di Indonesia. Jadi, kerjasama pertahanan elektronika ini memang bukan tanpa resiko yang dapat membahayakan keamanan Nasional, tetapi jika melihat peta rejional hari ini, menurut saya kerjasama dengan China sudah sangat tepat.
Bahkan, saya yakin hipotesa ini tidak berlebihan, “Kerjasama pertahanan elektronika ini dapat dikembangkan (dengan diam-diam tentunya) menjadi suatu fakta pertahanan elektronika. Sehingga kedua negara dapat saling membantu apabila terjadi serangan elektronik dari negara lain.”
Demikian, semoga bermanfaat.
 
Sumber :kompassiana