Upaya Indonesia untuk menegaskan yurisdiksinya di
ZEE yang diklaim, mulai membentuk pola kegagalan yang terus-menerus,
pola yang jika dibiarkan tidak berubah, akhirnya membahayakan efek
deteren dari postur militer Indonesia di sejumlah wilayah serta dasar
hukum bagi klaim wilayah ZEE tersebut.
Presiden Indonesia terpilih Joko Widodo, atau Jokowi, mempersiapkan
diri untuk memulai masa jabatan resminya pada akhir bulan depan. Masih
ada ketidakpastian mengenai kebijakan masa depan pemerintahannya baik di
dalam maupun di luar negeri. Namun satu hal tampaknya semakin jelas
adalah: momentum membangun potensi lama Indonesia untuk muncul sebagai
kekuatan maritim.Visi Indonesia sebagai “nexus maritim global” (poros maritim Dunia) menjadi terkenal selama kampanye presiden dan tampaknya diatur untuk menjadi fokus utama pemerintahan Jokowi mendatang. Ketika Indonesia mencoba muncul sebagai kekuatan maritim, akan menghadapi banyak tantangan di depan, sekaligus menyaksikan fajar era baru dalam sejarah Indonesia.
Rincian yang jelas dari visi maritim Indonesia sedang dipersiapkan, namun beberapa pengamatan awal dapat dilakukan. Konsep dasar dari “global maritime nexus” / “perhubungan maritim global” ekonomi adalah: berusaha untuk meningkatkan konektivitas maritim dan kesetaraan ekonomi antara berbagai provinsi di Indonesia. Argumen ini secara meyakinkan telah dikemukakan oleh Faisal Basri, ekonom terkemuka dan anggota dari tim ahli Jokowi bidang perekonomian. Bahkan menurut Basri, visi Indonesia sebagai kekuatan maritim tidak terbatas pada dimensi ekonomi saja, dan juga bisa mengandung keamanan atau fungsi pertahanan, termasuk perlindungan kedaulatan negara.
Jokowi memang belum berbicara banyak tentang visinya atas konsep tersebut. Namun visi dan misi kampanye yang memprioritaskan perlindungan kepentingan maritim Indonesia, telah dia sampaikan selama masa kampanye pemilihan Presiden. Pernyataan publik telah berulang kali disampaikan Jokowi yang akan menjadi memprioritaskan penanggulangan illegal fishing.
Dalam komentar yang dibuat awal bulan ini dan diterbitkan dalam pers lokal Indonesia, Jokowi menyatakan perlu bertindak tegas terhadap kapal nelayan asing untuk mencegah pencurian sumber daya Indonesia yang terus menerus. “Jika kita tidak bertindak tegas, ikan kita akan dicuri oleh kapal asing,” ujar Jokowi. Komentar semacam itu menunjukkan bahwa dia mungkin tidak sependapat dengan sejumlah kebijakan luar negeri yang ada; bahkan ia mungkin akan lebih tegas pada prioritas tertentu.
Masalah illegal fishing oleh kapal asing akan semacam pembuktian dan tantangan penting bagi pemerintahan Jokowi mendatang dan hampir pasti akan menciptakan ketegangan dengan kekuatan maritim lain yang muncul: China. China hampir satu-satunya negara yang nelayannya beroperasi secara ilegal di perairan Indonesia. Aksi satu-satunya nelayan yang secara langsung didukung atau didorong oleh kekuatan koersif layanan keamanan negara China di laut.
Kehadiran China yang memperluas daerahnya di wilayah yang disengketakan di Laut Cina Selatan semakin membawa nelayannya dan organisasi keamanan maritim China, ke dalam kontak langsung dan sering konfrontasi dengan orang-orang dari Indonesia. Sementara Kementerian Luar Negeri Indonesia terus mempertahankan pernyataan tidak ada sengketa antara China dan Indonesia, padahal tindakan China sebaliknya.
Sejumlah insiden terjadi di perairan Indonesia sejak 2010, yang akhirnya terbukti pasukan keamanan Indonesia gagal menghalau nelayan Cina yang beroperasi secara ilegal di dalam ZEE yang diklaim Indonesia. Upaya Indonesia untuk menegaskan yurisdiksi Indonesia di ZEE yang diklaim mulai membentuk pola kegagalan yang terus-menerus, pola yang jika dibiarkan tidak berubah, akhirnya dapat membahayakan efek deteren dari postur militer Indonesia di sejumlah wilayah serta dasar hukum bagi klaim wilayah.
Yang terbaru dari insiden tersebut terjadi pada bulan Maret 2013. Sejak saya pertama kali menulis tentang insiden itu akhir tahun lalu, rincian baru tentang kejadian itu akhirnya datang, termasuk penggunaan kemampuan perang-elektronik oleh Kapal Maritime Law Enforcement (MLE) Yuzheng 310 China. Berdasarkan laporan kapten Indonesia sendiri, serta penyelidikan berikutnya dan analisa, sangat mungkin dalam insiden itu kapal Yuzheng 310 menghentikan /men-jamming komunikasi dari kapal Hiu Macan 001 milik Kementerian Kelautan dan Perikanan Indonesia (KKP).
Berdasarkan deskripsi dari kapten kapal Hiu Macan 001 tentang peristiwa itu, Kapal Yuzheng 310 telah menonaktifkan kemampuan kapal KKP untuk menerima komunikasi dari markasnya di darat, dalam upaya untuk memutuskan kemampuan kapal dari fungsi command and control (C2). Mungkin Yuzheng 310 akan dan telah menghitung -kombinasi dengan langkah-langkah lain- tindakan itu akan memaksa kapten kapal Indonesia untuk membebaskan para tahanan China. Cara dan tindakan China itu mencapai efek yang mereka inginkan, tetapi mungkin saja dengan mudah membawa ke situasi yang berbahaya jika kapten KKP Indonesia malah memutuskan untuk tidak menyetujuinya.
Patroli yang terus menerus di daerah yang dilakukan China Coast Guard sekarang, mungkin akan berhadapan dengan Jokowi sebagai tes awal kepemimpinannya. Skenario krisis yang mungkin tidak berbeda dengan yang terjadi di bulan Maret 2013. Masih harus dilihat, apakah pemerintahan baru menyadari potensi pelanggaran itu dan siap merespon secara efektif. Kita lihat saja.
JKGR