Menlu RI Marty Natalegawa (Jaringnews/Johannes Sutanto de Britto)
NEW YORK- Indonesia konsisten menolak penggunaan hak veto oleh anggota-anggota tetap DK PBB dalam situasi kekejaman massal, seperti genosida, kejahatan perang, kejahatan terhadap kemanusiaan, dan pembersihan etnis. Pernyataaan ini disampaikan Menteri Luar Negeri RI, Marty Natalegawa pada pertemuan tingkat menteri yang diselenggarakan oleh Perancis dan Meksiko bertajuk “Pengaturan Hak Veto terhadap Kekejaman Massal” di New York, 25/9 lalu.
"Hingga hari ini posisi tersebut belum berubah,” tegas Marty di pertemua yang dihadiri sebanyak 32 negara, dengan 26 negara termasuk Indonesia, diwakili oleh pejabat tingkat menteri. Pertemuan diketuai secara bersama oleh Menteri Luar Negeri Perancis, Laurent Fabius dan Menteri Luar Negeri Meksiko, Jose Antonio Meade. "Hak veto adalah anakronistik dan harus dihapus sepenuhnya,” desak Marty.
Namun menyadari tantangan yang dihadapi dalam mewujudkan kondisi ideal tersebut, Menteri Luar Negeri mendukung inisiatif Perancis terkait pembentukan code of conduct penggunaan hak veto di antara negara-negara anggota tetap DK PBB, sebagai langkah awal yang baik untuk memperkuat kredibilitas dan efektifitas kerja organ PBB dimaksud.
Mayoritas negara yang hadir di dalam pertemuan mendukung proposal Perancis mengenai pembentukan code of conduct penggunaan hak veto dan sependapat dengan Indonesia bahwa regulasi penggunaan hak veto merupakan unsur kunci dalam menciptakan DK PBB yang lebih representatif, efektif, transparan dan akuntabel
Penyalahgunaan hak veto dalam penanganan situasi kekejaman massal, seperti genosida, kejahatan perang, kejahatan terhadap kemanusiaan, dan pembersihan etnis dianggap telah melumpuhkan DK PBB dalam melaksanakan tugasnya untuk memelihara perdamaian dan keamanan internasional, berdasarkan mandat Piagam PBB.
(Deb / Deb)