Latihan Gabungan Satuan Gultor TNI di Madiun
Seperti dilansir dari berbagai sumber, kala itu 5 orang teroris yang dipimpin oleh Imran bin Muhammad membajak pesawat Garuda Indonesia jurusan Jakarta-Medan. Mereka yang mengidentifikasi diri sebagai anggota kelompok Islam ekstremis Komando Jihad naik dari Bandara Palembang saat pesawat transit.
Para pembajak yang menyamar sebagai penumpang lalu menyuruh pilot pesawat DC-9 Woyla itu, Kapten Pilot Herman Rante dan Kopilot Hedhy Djuantoro, untuk terbang menuju Kolombo, Sri Langka. Namun karena bahan bakar terbatas, pesawat lalu transit di Bandara Penang, Malaysia, untuk isi bahan bakar.
"Tuntutan mereka agar temen-temannya dibebaskan," cerita Komandan Penanggulangan Teror Kopassus, Satuan 81 Kolonel Inf Thevi Zebua di Mako Kopassus, Cijantung, Jakarta Timur, Sabtu (28/3/2015).
Sebelum pembajakan terjadi, beberapa anggota Komando Jihad memang ditahan pasca Peristiwa Cicendo di Bandung, Jawa Barat. Saat itu 14 orang dari kelompok radikal tersebut membunuh 4 personel polisi di Kosekta 65 pada 11 Maret 1981 dinihari.
Total ada 48 penumpang di dalam pesawat yang dibajak ditambah 5 kru, termasuk 3 pramugari. Mereka membacakan tuntutannya yakni: 80 anggota Komando Jihad yang menjadi tahanan politik dibebaskan, uang senilai USD 1,5 juta, orang Israel dikeluarkan dari Indonesia, dan Adam Malik dicopot sebagai wakil presiden.
Teroris juga meminta pesawat Woyla terbang ke Timur Tengah mengantar mereka beserta tahanan yang dibebaskan. Mereka mengaku telah memasang bom dan akan meledakan diri bersama pesawat berserta penumpang jika tuntutannya tidak dikabulkan.
Sehari setelah tersiarnya kabar pembajakan, pembebasan sandera dilakukan oleh Komado Pasukan Sandi Yudha (Kopassandha) yang merupakan nama Kopassus saat itu. Operasi dikomandoi oleh mantan Panglima TNI Jenderal Benny Moerdani yang saat itu menjabat sebagai Kepala Pusat Intelijen Strategis. Setelah mendapat perintah untuk menyiapkan pasukan, Benny langsung menghubungi Asrama Kopasandha yang diterima oleh sang asisten operasi, Letkol Sintong Panjaitan.
"Waktu itu zamannya pak Benny Moerdani. Pilot Garuda melaporkan adanya pembajakan pesawat oleh teroris," kata Thevi.
Saat peristiwa tersebut terjadi, Indonesia belum memiliki pengalaman dalam menangani terorisme pembajakan pesawat. Setelah melakukan pelatihan dengan meminjam pesawat Garuda, pada Minggu, 29 Maret 1981 malam, 35 anggota Kopassandha bertolak ke Bandara Don Muang, Thailand, tempat pesawat yang dibajak terakhir mendarat.
Operasi pembebasan sandera itu sempat menuai protes dari Amerika Serikat (AS). Dubes AS kala itu, Edward Masters menghubungi Benny Moerdani dan meminta agar operasi militer tersebut dibatalkan terlebih dahulu dan menunggu bantuan. Benny dengan tegas menolaknya. AS khawatir karena ada warga negaranya yang berada di dalam pesawat yang dibajak itu.
"Maaf pak, tapi ini sepenuhnya adalah permasalahan yang dihadapi Indonesia. Ini pesawat udara Indonesia," tutur Benny menjawab permintaan AS seperti ditirukan Thevi. Ia juga menegaskan bahwa Indonesia berhak mengambil segala langkah untuk meringkus para pembajak tanpa perlu meminta izin dari negara lain.
Pemimpin CIA di Thailand juga waktu itu menawarkan untuk memberi pinjaman rompi anti peluru namun ditolak karena pasukan Kopassandha telah membawa perlengkapan sendiri. Pesawat Garuda DC-10 yang membawa pasukan Kopassandha mendarat di Bandara Don Muang setelah mendapat clearance dari Thailand dengan menyamar sebagai pesawat Garuda yang baru terbang dari Eropa.
Pasukan tak bisa langsung menyergap para teroris dan menyelamatkan sandera, sebab pemerintah Thailand tak langsung memberikan izin. Akhirnya clearance diberikan usai Benny bertemu dengan Perdana Menteri Thailand saat itu, Prem Tinsulanonda. Meski deadlock sempat terjadi dalam perundingan, Indonesia bersikeras menyelesaikan sendiri pembajakan yang terjadi.
Sintong yang pada saat itu sedang terluka di bagian kakinya, memutuskan terjun ke lapangan untuk membantu anak buahnya melakukan operasi pembebasan sandera. Ia bahkan membuang tongkat penyangga kakinya. Sebelum operasi dilakukan, pasukan kembali melakukan latihan di mana seorang pilot Garuda berkontribusi memberi informasi mengenai bagian-bagian pesawat.
Salah seorang penumpang yang menjadi sandera, WN Inggris, berhasil keluar melalui pintu darurat dengan selamat karena para pembajak sudah mulai lelah. Sementara itu seorang WN Amerika yang juga berusaha menyelamatkan diri tertembak teroris dan tersungkur di aspal. Pembajak pun marah besar.
Selasa, 31 Maret 1981 dinihari, pasukan yang terbagi menjadi 3 tim mulai mendekati pesawat yang dibajak. Mereka berbaring di lantai mobil, bersama Benny yang tiba-tiba masuk dan ikut dalam operasi. Sintong pun kaget karena hal tersebut di luar skenario sebelumnya.
Di tengah deretan pasukan berseragam berbaret merah, Benny mengenakan pakaian preman dengan tangan memegang pistol. Sintong pun sempat memerintahkan anak buahnya agar mengeluarkan perwira tinggi 3 bintang itu demi keamanannya. Namun tak ada yang berani.
Dari kesaksian penumpang, serbuan dimulai dalam kegelapan malam di mana pasukan mendobrak semua pintu kabin pesawat dari luar. Baku tembak pun riuh terdengar dan membangunkan para penumpang yang sedang terlelap.
Salah satu anggota pasukan bernama Achmad Kirang dan Kapten Pilot Herman Rante tertembak dalam operasi pembebasan sandera ini. Setelah beberapa hari mendapat perawatan medis, nyawa keduanya tak dapat diselamatkan. Mereka pun dimakamkan di TMP Kalibata.
"Pak Achmad pangkatnya saat itu Peltu. Tapi karena dia gugur dalam tugas, dapat Bintang Sakti langsung jadi Perwira, kenaikan pangkat luar bisa 2 tingkat, anumerta," jelas Thevi
Drama penyanderaan tersebut akhirnya dapat diakhiri setelah 60 jam berlangsung. Di bawah pimpinan Sintong, pasukan Grup 1 Para-Komado Kopassandha berhasil menyelamatkan seluruh penumpang. Tiga orang pembajak tewas seketika, 2 lainnya meninggal beberapa saat usai ditembak. Namun pimpinan teroris, Imran bin Muhammad Zein selamat dan ditangkap. Ia pun lantas dihukum mati.
Usai penyerbuan singkat itu, Benny lalu menghubungi Kepala Bakin (sekarang BIN) Jenderal Yoga Sugomo melalui kokpit pesawat. Ia menginformasikan bahwa operasi telah selesai dijalankan. Sejumlah negara pun memberikan apreasiasi tinggi terhadap keberhasilan Indonesia tersebut.
"Sekarang kalau direfleksikan, untuk generasi penerus harus mempersiapkan segala sesuatu dalam menghadapi aksi teror," tukas Thevi.
Sementara Asintel Kopassus, Kolonel Inf Rafael G Baay menyatakan Operasi Wolya merupakan sejarah keberhasilan yang membuat pasukan Indonesia tak lagi dipandang sebelah mata oleh negara-negara maju.
"Itu yang menempatkan kita jadi nomor 3 terbaik di dunia. Belum lagi operasi-operasi lainnya seperti di Papua tahun 1997. Itu bagian dari tugas kita," ucap Rafael di lokasi yang sama.(Detik)