Malari, Perlawanan terhebat pertama terhadap orde baru
Kepemimpinan Orde Baru dibuat geger pada 15 Januari 1974, persis 40
tahun lalu. Timbul perlawanan pertama digalang mahasiswa berujung
kerusuhan massa. Ini titik monumental represi sistematis rezim Soeharto.
Peristiwa 15 Januari 1974 atau lebih dikenal dengan Malari (Malapetaka Lima Belas Januari) merupakan suatu gerakan mahasiswa yang merasa tidak puas terhadap kebijakan pemerintah terkait kerja sama dengan pihak asing untuk pembangunan nasional. Para Mahasiswa menganggap kebijakan Pemerintah kala itu sudah menyimpang dan tidak berhaluan kepada pembangunan yang mementingkan rakyat. Mahasiswa menilai malah dengan kerja sama ini semakin memperburuk kondisi ekonomi rakyat.
Kedatangan Ketua Inter-Governmental Group on Indonesia (IGGI) lembaga pemodal asing bentukan Amerika Serikat, Jan P Pronk, dijadikan momentum awal untuk demonstrasi antimodal asing ini. Jan P Pronk tiba di Jakarta pada Minggu, 11 November 1973. Ketika tiba di Bandara Kemayoran, mahasiswa menyambutnya dengan berdemonstrasi melalui gambar-gambar poster sebagai bentuk kritik karena kedatangannya.
Selain melakukan aksi, kelompok mahasiswa juga mengatur strategi supaya dapat melakukan pertemuan dengan mahasiswa. Perwakilan salah satu mahasiswi melakukan pendekatan dengan memberikan karangan bunga kepada Jan P Pronk. Tidak hanya memberikan karangan bunga, diam-diam mahasiswi tersebut memberikan surat yang isinya memorandum penolakan kedatangannya.
Bukan hanya Jan P Pronk yang didemo massa yang tergabung dari berbagai elemen seperti mahasiswa dan masyarakat sipil. Kedatangan Perdana Menteri (PM) Jepang, Tanaka Kakuei, pada 14-17 Januari juga disambut dengan demonstrasi.
Rencananya massa mau menyambut kedatangan Tanaka Kakuei di Bandara Halim Perdanakusuma. Namun rencana ini gagal, karena aparat keamanan sudah memblokade bandara ini dari hadangan massa. Akibat penjagaan ketat itu sebagian massa mengalihkan aksinya di sekitar Jakarta Pusat.
Berbarengan dengan itu kelompok massa dari mahasiswa sedang melakukan diskusi yang berpusat di salah satu Universitas tetapi dikagetkan oleh info yang menyebutkan di kawasan pusat Jakarta terjadi kerusuhan. Massa dari mahasiswa banyak yang bertanya bagaimana kejadian anarkis tersebut bisa terjadi.
Peristiwa 15 Januari 1974 atau lebih dikenal dengan Malari (Malapetaka Lima Belas Januari) merupakan suatu gerakan mahasiswa yang merasa tidak puas terhadap kebijakan pemerintah terkait kerja sama dengan pihak asing untuk pembangunan nasional. Para Mahasiswa menganggap kebijakan Pemerintah kala itu sudah menyimpang dan tidak berhaluan kepada pembangunan yang mementingkan rakyat. Mahasiswa menilai malah dengan kerja sama ini semakin memperburuk kondisi ekonomi rakyat.
Kedatangan Ketua Inter-Governmental Group on Indonesia (IGGI) lembaga pemodal asing bentukan Amerika Serikat, Jan P Pronk, dijadikan momentum awal untuk demonstrasi antimodal asing ini. Jan P Pronk tiba di Jakarta pada Minggu, 11 November 1973. Ketika tiba di Bandara Kemayoran, mahasiswa menyambutnya dengan berdemonstrasi melalui gambar-gambar poster sebagai bentuk kritik karena kedatangannya.
Selain melakukan aksi, kelompok mahasiswa juga mengatur strategi supaya dapat melakukan pertemuan dengan mahasiswa. Perwakilan salah satu mahasiswi melakukan pendekatan dengan memberikan karangan bunga kepada Jan P Pronk. Tidak hanya memberikan karangan bunga, diam-diam mahasiswi tersebut memberikan surat yang isinya memorandum penolakan kedatangannya.
Bukan hanya Jan P Pronk yang didemo massa yang tergabung dari berbagai elemen seperti mahasiswa dan masyarakat sipil. Kedatangan Perdana Menteri (PM) Jepang, Tanaka Kakuei, pada 14-17 Januari juga disambut dengan demonstrasi.
Rencananya massa mau menyambut kedatangan Tanaka Kakuei di Bandara Halim Perdanakusuma. Namun rencana ini gagal, karena aparat keamanan sudah memblokade bandara ini dari hadangan massa. Akibat penjagaan ketat itu sebagian massa mengalihkan aksinya di sekitar Jakarta Pusat.
Berbarengan dengan itu kelompok massa dari mahasiswa sedang melakukan diskusi yang berpusat di salah satu Universitas tetapi dikagetkan oleh info yang menyebutkan di kawasan pusat Jakarta terjadi kerusuhan. Massa dari mahasiswa banyak yang bertanya bagaimana kejadian anarkis tersebut bisa terjadi.
Kerusuhan itu sendiri meliputi pengerusakan beberapa fasilitas di umum dan bangunan toko di kawasan Ibukota seperti pertokoan Senen, Jakarta Pusat, dan Roxy, Jakarta Barat. Selama dua hari daerah sekitar ibu kota diselimuti asap. Pembakaran dan Penjarahan menjadi pemandangan yang sangat mengkhawatirkan saat itu.
Wilayah pertokoan Senen menjadi titik perhatian kala itu, mengingat pembangunan pertokoan yang memakan biaya senilai Rp 2,7 miliar ludes dilalap si jago merah.
Menteri Pertahanan dan Keamanan kala itu, Maraden Panggabean mengatakan, dalam peristiwa kerusuhan yang terjadi selama dua hari tersebut tercatat kerugian materi yang diakibatkan dalam kejadian ini cukup banyak.
"Sebanyak 807 mobil dan 187 sepeda motor rusak atau dibakar, 144 buah gedung rusak atau terbakar (termasuk pabrik Coca-cola), dan 160 kilogram emas hilang dari sejumlah toko perhiasan," kata Maraden dalam rapat sidang pleno DPR pada 21 Januari 1974.
Selain mengalami kerugian secara materi yang cukup banyak juga terdaat korban jiwa dalam kerusuhan yang terjadi selama dua hari tersebut. "11 orang meninggal, 177 mengalami luka berat, 120 mengalami luka ringan, dan 775 orang ditangkap."
Gubernur Jakarta saat itu, Ali Sadikin juga membeberkan kerusakan yang terjadi akibat pembakaran saat kerusuhan massa. Angkanya berbeda dengan yang dilansir Maraden Panggabean.
"522 buah mobil dirusak dengan 269 di antaranya dibakar, 137 buah motor dirusak (94 buah dibakar), 5 buah bangunan dibakar ludes, termasuk 2 blok proyek pasar Senen bertingkat 4. Serta gedung milik PT Astra di Jalan Sudirman, dan 113 buah bangunan lainnya dirusak," kata Ali.
Dari peristiwa ini, terlahir seorang sosok aktivis mahasiswa yang menjadi simbol Malari hingga saat ini, Hariman Siregar. Ketua Dewan Mahasiswa Universitas Indonesia (UI) itu bersama rekan-rekan mahasiswa lainnya dituding menjadi otak pelaku kerusuhan tersebut. Hariman Siregar menolak jika disebut sebagai penyebab dalam kerusuhan tersebut.
Menurutnya, insiden kerusuhan itu sudah di luar kendali mahasiswa. Bisa jadi di balik kerusuhan ini ada pihak yang sengaja membuat situasi waktu itu semakin tidak kondusif.
"Berbagai aksi pembakaran dan pengrusakan oleh massa itu sudah di luar kendali mahasiswa. Begitu sore hari ada kebakaran di Pasar Senen, saya sudah berpikir pasti ada yang menunggangi aksi mahasiswa," kata Hariman kepada merdeka.com, Kamis (9/1) pekan lalu.
Hingga saat ini sebagian orang masih mempertanyakan siapa dalang di balik peristiwa kerusuhan tersebut. Mengingat setelah sempat ditahan dan dilakukan persidangan, Hariman Siregar dan kelompok Mahasiswa lainnya tidak terbukti dalam peristiwa kerusuhan itu.
Hariman sendiri menyebut Malari sebagai puncak dari gerakan kritis terhadap konsep pembangunan yang dilakukan pemerintah Orde Baru saat itu.
Berbagai versi malapetaka 15 januari
40 tahun sudah rangkaian cerita sejarah soal Peristiwa Malari. Namun
hingga kini catatan itu belum sepenuhnya terjawab. Saat itu, kerusuhan
yang terjadi di Ibu Kota sangat mengerikan.
Demo mahasiswa yang turun ke jalan bercampur dengan gerakan massa yang membuat kerusuhan dengan membakar kendaraan dan pertokoan di pusat Jakarta. Entah pembiaran atau benar adanya, aparat keamanan seolah tidak mampu meredam aksi tersebut.
Demo mahasiswa yang turun ke jalan bercampur dengan gerakan massa yang membuat kerusuhan dengan membakar kendaraan dan pertokoan di pusat Jakarta. Entah pembiaran atau benar adanya, aparat keamanan seolah tidak mampu meredam aksi tersebut.
Peristiwa Malari tercatat merupakan gelombang penolakan pertama terhadap kebijakan Presiden Soeharto yang baru tujuh tahun memimpin. Sebenarnya kerusuhan massa empat puluh tahun silam itu bukan yang terbesar dalam sejarah Indonesia. Namun buntut dari peristiwa ini yang membuat menjadi besar.
Tuntutan kelompok mahasiswa waktu itu dibarengi kepentingan antar petinggi keamanan menjadi perhatian yang menjadikan peristiwa ini besar.
Dalam catatan literatur sejarah diketahui, peristiwa Malari berawal dari aksi unjuk rasa mahasiswa yang menolak kebijakan pemerintah soal aliran modal asing. Mahasiswa menilai kebijakan itu malah semakin merugikan bangsa. Bentuk penolakan mahasiswa saat itu dengan menentang kedatangan Perdana Menteri (PM) Jepang, Tanaka Kakuei ke Jakarta.
Massa yang berpusat di Jakarta membuat kekisruhan. Pengrusakan dan pembakaran beberapa pertokoan dan kendaraan menjadi pemandangan yang mengerikan waktu itu.
Sebagaimana diketahui saat itu kelompok mahasiswa yang dikomandoi Dewan Mahasiswa Universitas Indonesia, Hariman Siregar, masih mengadakan diskusi dari perwakilan berbagai kampus untuk rencana aksi selanjutnya menentang kedatangan PM Jepang.
Sedangkan kelompok mahasiswa lain yang tidak dapat masuk ke barikade aparat untuk menyambut Tanaka Kakuei di Bandara Halim Perdanakusuma, Jakarta Timur, berpindah aksinya di pusat ibukota. Namun gerakan massa yang membuat kerusuhan tiba-tiba muncul.
Diduga kejadian ini merupakan buntut dari perselisihan antara dua petinggi militer, yakni Kepala Opsus yang juga Aspri Presiden, Ali Moertopo dan Pangkopkamtib, Jenderal Soemitro yang sama-sama ingin menguasai gerakan mahasiswa kala itu.
Massa yang tergabung dalam Gerakan Usaha Pembaruan Pendidikan Islam (GUPPI) disinyalir yang membuat kerusuhan di pertokoan Senen, Jakarta Pusat. Massa ini dicurigai sebagai gerakan yang di-setting oleh Ali Moertopo.
Soal perselisihan Ali Moertopo dan Soemitro itu hanya satu dari berbagai versi yang beredar soal pemicu peristiwa Malari. Di antara versi-versi pemicu itu saling berkaitan satu sama lain. Kepala Opsus, Ali Moertopo menuding Soemitro menunggangi protes mahasiswa untuk merebut kekuasaan dengan jalan memprovokasi mahasiswa untuk melakukan tindak kekerasan. Dalam kaitan ini disebut-sebut dokumen Ramadi di mana Soemitro hendak merebut kekuasaan dari Soeharto.
Versi lainnya berhubungan dengan perselisihan antara kelompok Ali Moertopo dengan kelompok teknokrat ekonomi. Ali Murtopo kecewa karena yang terpilih sebagai pelaksana dari konsep pembangunan adalah Widjojo Nitisastro dkk. Oleh Soeharto, kelompok Widjojo lebih dipercaya karena yang dianggapnya memiliki reputasi yang jelas dalam hal pembuatan kebijakan ekonomi. Jenderal Soemitro dalam hal ini bertindak melindungi kelompok teknokrat dengan alasan agar kelompok ekonom tersebut dapat menyusun dan mengimplementasikan kebijakan ekonomi dengan baik. Karena ini, Soemitro menjadi sasaran tembak Ali Moertopo.
Versi lain menyebut peristiwa Malari sebagai demonstrasi mahasiswa Indonesia menentang modal asing yang berlebihan terutama Jepang. Di antara tokoh mahasiswa yang terkenal adalah Hariman Siregar.
"Gue dulu beranggapan pemerintah waktu itu salah. Ngakunya untung tetapi sebenernya kagak. Rakyat dibohong-bohongin mulu. Kalau kita bicara kembali Malari berarti itu kan jatuhnya pada idealisme. Kita merasa lebih sombong karena kita merasa waktu itu Orde Baru (bermula) dari (gerakan) mahasiswa. Masa peralihan dari 66-67. Ini Soeharto hasil dari gerakan mahasiswa walaupun kalau secara sejarah nanti bisa didebatin lagi. Ini kesombongan kitalah. Jadi kita merasa yang paling berhak mengoreksi Soeharto. Kalau kita lihat Soeharto kok otoriter," ujar Hariman, Kamis (9/1) lalu.
Menyikapi insiden itu, Pemerintah dibawah Presiden Soeharto mengambil tindakan tegas. Kelompok mahasiswa yang membuat kuping pemerintah panas sejak 1966 sampai 1974 ikut diciduk. Tercatat dalam peristiwa Malari orang yang ditangkap mencapai 775 orang termasuk Hariman Siregar.(mdk/tts)
merdeka