Berdasarkan
berbagai studi sejarawan mengenai praktek perbudakan seksual atau Ianfu
di beberapa negara eks jajahan Jepang di Asia, ada sekitar 200 ribu
perempuan muda yang dipaksa menjadi pekerja seks atau yang kemudian
dikenal sebagai Jugun Ianfu. Para perempuan muda ini berasal dari
Indonesia, Cina, Taiwan, Filipina dan Korea.
| |
Merujuk
pada sebuah berita dari AFP, pada 1993, sebenarnya pemerintah Jepang,
melalui jurubicaranya waktu itu, Yohei Kono, telah meminta maaf kepada
para korban (Survivors) Jugun Ianfu dan mengakui keterlibatan
Jepang sehingga menyebabkan penderitaan lahir dan batin terhadap para
korban Ianfu tersebut (In a landmark 1993 statement, then chief
Japanese government spokesman Yohei Kono apologized to former comfort
women and acknowledged Japan’s involvement in causing their suffering).
Namun
anehnya pada 2007, Perdana Menteri Shinzo Abe justru menyangkal
keterlibatan Jepang dalam mendukung dan mendorong praktek perbudakan
seksual tentara Jepang tersebut, dan bahkan mengatakan tak ada satu
bukti pun yang menunjukkan bahwa Jepang secara langsung mendukung adanya
perbukan seksual tentara Jepang.
Perdana
Menteri Shinzo Abe boleh saja membantah keterlibatan pemerintah Jepang
dalam mendukung praktek perbudakan seksual Jepang pada masa sebelum dan
saat berlangsungnya Perang Dunia II. Namun dari berbagai sumber pustaka
terkait penelitian seputar Jugun Ianfu, setidaknya diperkirakan 100 ribu
sampai 400 ribu perempuan muda dipaksa untuk melayani “hasrat seksual”
tentara Jepang sebelum dan saat berlangsungnya Perang Dunia II.
Khususnya di negara-negara jajahan Jepang di kawasan Asia Pasifik,
termasuk Indonesia.
Sekadar
ilustrasi dalam kasus Indonesia, menarik informasi terbaru yang
dilaporkan oleh Eka Hindra, research associate Global Future Institute
dan peneliti independen tentang praktek perbudakan seksual yang
berlangsung di Indonesia antara 1942-1945. Menurut informasi Eka,
berdasarkan penelusuran arsip sementara di kota Solo, Jawa Tengah,
terdapat 150 perempuan yang telah dijadikan Ianfu di dua Ianjo yang
diberi nama Fuji Ryokan dan Chiyoda Ryokan , di daerah Gladak. Bahkan
secara khusus, Eka sempat mewawancarai Ianfu dari Karang Pandan, bernama
Kasinem pada 2008-2011. Dugaan sementara , salah satu dari 150 Ianfu
dengan nama Jepang Yako.
Tentu
saja ini baru sepenggal kisah tragis perempuan Indonesia yang telah
direndahkan martabat dan harga dirinya akibat praktek perbudakan seksual
tentara Jepang di Indonesia.
Temuan
Eka dari arsip di Solo bisa dinilai cukup kredibel mengingat reputasi
dan rekam jejaknya yang begitu intensif sebagai peneliti maupun
advokator Ianfu Indonesia sejak 1999. Kisah Mardiyem asal Yogyakarta dan
Suharti di Blitar, merupakan penemuannya yang telah membuka mata dunia.
Eka juga sempat bertemu dengan saksi sejarah 67 tahun Silam bernama Sri
Sukanti, survivor Ianfu dari Salatiga.
Sukanti
mengisahkan sejarah kelam hidupnya dalam suka cita. Ia terlahir sebagai
anak ke-11 dari 12 bersaudara dari seorang Wedana bernama Soedirman dan
Ibunya, Sutijah, yang berasal dari kalangan rakyat biasa. Kisahnya
dimulai pada pertengahan tahun 1945. "Di suatu siang sekitar pukul 11
datanglah dua orang Jepang berpakaian dinas tentara lengkap dengan
samurai terselip dipinggangnya, ditemani Lurah desa Gundi bernama Djudi.
Lurah ini menunjukkan kepada kedua tentara Jepang kalau Wedana
Soedirman memiliki anak gadis cantik jelita". Singkat cerita, Sukanti
bersaksi bahwa tentara Jepang yang membawanya itu bernama Ogawa. Malam
pertama di sana, saya dimandikan, keramasi, dibedaki dan disalini baju
oleh Ogawa persis seperti boneka", kenangnya terpukul.
Untuk kisah selengkapnya, artikel Eka Hindra bisa diakses di (http://www.theglobal-review.com/content_detail.php?lang=id&id=7974&type=9#.UO5PDqxP1kg).
Dalam
seminar yang kami adakan pada Oktober 2010 lalu di Jakarta, Sri Sukanti
kami hadirkan sebagai salah seorang saksi hidup korban Ianfu. Kehadiran
Ibu Sri Sukanti di hadapan peserta seminar sehari tentang Jugun Ianfu,
Romusha dan Sejarah Kelam Militerisme di Indonesia Senin 25 Oktober
lalu, sempat mengejutkan sekitar 65 orang peserta seminar yang hadir di
Hotel Santika, Slipi, Jakarta. Kesaksiannya yang singkat namun penuh
emosi tersebut membuktikan betapa kekejaman penjajahan Jepang di
Indonesia pada 1942-1945, utamanya lewat kebijakan paksa bagi para
perempuan Indonesia untuk menjadi budak seks tentara Jepang memang nyata
adanya.
Dalam
presentasinya di depan peserta seminar yang diselenggarakan oleh Global
Future Institute tersebut, Sukanti berkata: “Selama menjadi Ianfu, saya
diperlakukan seperti binatang oleh tentara Jepang. Saya diperlakukan
seperti kuda. Setelah merdeka hingga sekarang saya sangat sedih karena
tidak pernah ada perhatian dan solidaritas dari masyarakat maupun negara
kepada saya yang telah menjadi korban kekejaman tentara Jepang.
Setelah
Jepang pergi, saya menikah. Suami saya seorang tukang batu. Dari
perkawinan itu saya tidak dikaruniai anak. Mungkin karena waktu menjadi
Ianfu saya disuntik oleh tentara Jepang. Kalo tidak salah 16 kali saya
disuntik. Dan kalo saya inget suntikan itu sedih saya. Sakit sekali.
Pokoknya saya ini merasa hancur.
Yang
diinginkan Sukanti, Rosa, Kasinem, dan Icih, sebenarnya sederhana saja.
Permintaan maaf dari Pemerintah Jepang. Rehabilitasi reputasi dan nama
baiknya bahwa mereka bukan “Perempuan Nakal” melainkan PSK paksa akibat
sistem militerisme tentara Jepang dengan sengaja dan sadar memang
memobilisasi dan memaksa para perempuan di negara koloni Jepang untuk
jadi Wanita pemuas seks tentara-tentara Jepang.
Rehabilitasi
reputasi dan nama baiknya bahwa mereka bukan “Perempuan Nakal”
melainkan PSK paksa akibat sistem militerisme tentara Jepang dengan
sengaja dan sadar memang memobilisasi dan memaksa para perempuan di
negara koloni Jepang untuk jadi Wanita pemuas seks tentara-tentara
Jepang.
Temuan Terbaru dari Maluku Barat Daya
Sekadar
mengingatkan kembali terhadap temuan terkini Eka Hindra, berdasarkan
hasil penelitiannya pada 25 Juli sampai 24 Agustus 2012 terkait
kejahatan perang Jepang di Indonesia 1942-1945, di Tanimbar dan
sekitarnya(Pulau Selaru) serta Pulau Babar (Maluku Barat Daya), telah
ditemukan dua orang mama yang berhasil terindentifikasi sebagai “Ianfu”
yang bernama Rofina Batfian usia 84 tahun dari Desa Sangliat Krawain dan
Aloysia Ratuain 84 tahun dari Desa Wowonda.
Selain
kedua mama tersebut, juga direkomendasikan dua nama lain yang sudah
terindentifikasi sebagai korban kekerasan seksual Badak Hitam(tentara
Indonesia yang berasal dari Sumatera dan Jawa yang pernah ditugaskan di
Tanimbar pada 1948). Mereka bernama Mama Rosa Delima Fenanlampir 78
tahun dari Desa Kabiarat(yang sudah dalam keadaan sakit stroke dan tidak
bisa berjalan lagi) dan Martha Laratmase 74 tahun dari Desa Lauran
mengalami kekerasan seksual (perkosaan) setelah mendapat hipnotis dari
mereka. Demikian laporan terbaru dari Eka Hindra.(Untuk rincian lebih
lengkap silahkan baca The Global Review Quarterly Edisi kedua, terbitan 2
Januari 2013, halaman 112-114).
Temuan Wartawati Belanda Hilde Janssen
Dari
hasil studi seorang wartawati Belanda yang gigih Hilde Janssen dan
fotografer Jan Banning kala berkeliling Indonesia untuk bertemu para
mantan "jugun ianfu yang masih hidup (survivors), terungkap betapa
kejahatan perang Jepang yang satu ini, memang nyata adanya. Temuan
mereka berdua ini kemudian didokumentasikan dalam sebuah buku bertajuk Schaamte en Onschuld. Het verdrongen oorlogsverleden van troostmeisjes in Indonesiƫ" oleh Hilde Janssen dan Jan Banning.
Rosa,
perempuan asal Maluku Selatan kelahiaran 1929, Pada zama perang Rosa
sengaja dihamili oleh pacarnya karena pacarnya ingin menikahi dia
ketimbang gadis lain yang dijodohkan kepadanya. Kepala kampung yang
telah mengatur perjodohan bagi pacar Rosa tersebut, kemudian mengirim
Rosa ke sebuah rumah bordil Jepang di kota. Disana Rosa dipaksa melayani
serdadu Jepang sementara ia telah hamil beberapa bulan. Pada saat akhir
kehamilannya, ia pulang ke kampung dimana bayinya kemudian meninggal
tidak lama setelah dilahirkan. Pacarnya membatalkan penikahannya yang
diurus oleh orang tuanya, dan menikahi Rosa.Hal ini memulihkan
kehormatan Rosa. Setelah perang berakhir seluruh kampung bungkam
mengenai hal ini. "Ini rahasia kami. orang kampung sangat menyayangi
saya, karena mereka tahu saya dipaksa Kami belum pernah menceritakan
sesuatupun kepada anak-anak kami. Terlalu memalukan bagi saya."
Ini baru sebagian dari kisah.
Kasinem, perempuan asal Karanganyar, Jawa Tengah, kelahiran 1931, lain lagi kisahnya.
Pada
usia 13 tahun Kasinem dipanggil kepala kampung dan dipaksa masuk
prostitusi oleh tentara Jepang di sebuah bordil militer di Solo. Dia
menerima nama Jepang Kanaku dan harus melayani tiga atau empat lelaki
setiap hari. "Saya diberi seperangkat baju lengkap, bedak, lipstik,
sisir rambut, sabun, sikat gigi, pasta gigi,dan sebuah handuk. Mereka
memanggilsaya "Jeng," walaupun saya hanya anak petani. Saya merasa
terhormat atas panggilan itu, tetapi uga risih karena tidak pas. Dan
saya sangat rindu untuk pulang. Saya masih kecil. Saya nggak mau. Saya
takutkepadapara lelaki itu tapi saya nggak berani berteriak ataupun
menangis secara terbuka, meskipun airmata keluar terus". Setelah
tiga bulan dia diperbolehkan pulang "sebentar" dan tak pernah kembali ke
rumah bordil. Beberapa tahun kemudian diapun akhirnya menikah,
membangun sebuah rumah tangga dan melahirkan enam orang anak.
Icih,
perempuan asli Sukabumi-Jawa Barat, kelahiran 1926, sungguh tragis nian
nasibnya. Setelah suami pertamanya ditembak mati, Icih dikurung
ditangisi Jepang dan selama tiga tahun hampir setiap hari diperkosa dan
dipukuli oleh komandan tangsi dan seorang tentara lainnya. Pada awalnya
dia masih diperbolehkan berjalan-jalan keliling tangsi dibawah
pengawasan, kemudian dia dikurung secara permanen. Sering disiksa dan
sebagai hukuman tidak diberi makan. Setelah perang dia pulang ke rumah
dalam keadaan sangat kurus dan sakit. "Saya diobatin oleh Ibuku,
digosok sama obat kampung dari dedaunan, pakai apu, daun jawerkotok,
saya digosok dan dipijit. Jalan sendiri tidak bisa, manggil nama sendiri
tidak bisa". Icih baru menikah kembali delapan tahun kemudian setelah perang. "Suamiku tahun saya sisa Jepang, alhamdulillah ibadah saja, dia bilang yang sudah-sudah biarkan saja".
Setelah
beberapa tahun pernikahan itu berakhir, sama seperti sepuluh pernikahan
berikutnya.Icih tidak pernah bisa mengandung. Perkosaan-perkosaan itu
tetap menghantuinya. "Rasanya seperti langit jatuhin bumi, sakit sekali. Badanku tidak akan bisa lupa".
Jugun Ianfu, Kejahatan Terorganisir ala Fasisme Jepang
Dari
berbagai studi dan penelitian seputar Jugun Ianfu ini, memang sulit
dibantah bahwa Tentara Fasis Jepang memang mendukung serta melindungi
praktek perbudakan seksual ini lewat sistem dan metode yang diterapkan
dengan melibatkan Polisi Militer Jepang Kemp pei tai dan para
kolaboratornya di negara-negara eks jajahan Jepang. Mulai dari
penculikan, penahanan, hingga penyiksaan fisik. Bahkan bisa dibilang
sebagai “pemerkosaan massal yang terorganisir” (organized mass raped).
Bahkan data yang terdokumentasi melalui the amazon.com jumlah korban
pemerkosaan massal tersebut berjumlah 10 juta orang. Mereka para korban
tersebut tewas tanpa direhabilitasi nama dan reputasinya.
Temuan terkini yang tak kalah tragis, kembali dilaporkan oleh Eka Hindra.
Di
Desa Emplawas di Kepulauan Babar, Maluku Tenggara Raya, pada Oktober
1944 terjadi pembantaian brutal terhadap 710 penduduk sipil oleh militer
Jepang. Ternyata pada waktu itu desa Emplawas merupakan penghasil
tembakau yang besar dengan panen yang cukup besar sekitar 6000 kg per
tahunnya.
Militer
Jepang diwakili oleh Shinohara melakukan tindak kekerasan untuk
menguasai tembakau. Hal ini memicu kemarahan penduduk. Sehingga timbul
aksi balas dendam dan berakhir dengan pembantaian hamper seluruh
penduduk desa.
Sebelum
dibantai dengan kejam, 25 perempuan muda termasuk Dominggas, dipisahkan
dari penduduk untuk dijadikan Ianfu. Ada 2 Ianjo didirikan di pulau
Babar. Saya sendiri datang menyaksikan sisa-sisa tengkorak penduduk
yang dibantai di kali Tiwi, dan berjumpa dengan Mama Domingas dalam
keadaan kesehatan yang rapuh.
Kisah
pembantaian yang brutal dan mengerikan di Emplawas sampai detik ini
tidak diketahui publik Indonesia. Kasus ini pernah diangkat media
Soeloeh Ra’jat pada 1947 dan Tempo pada 1986. Sejak itu kisah yang nun
jauh di Tenggara Raya ini terkubur zaman.
Para
korban Jugun Ianfu sekarang kalau masih hidupnya, usianya paling tidak
sudah mencapai 80 tahun. Yang menjadi kekhawatiran kita semua, khususnya
Global Future Institute, mereka para korban Ianfu (survivors) yang
tersisa, pada akhirnya pun akan meninggal tanpa mendengar permintaan
maaf resmi dari pemerintah Jepang, maupun kompensasi bagi para survivors
maupun bagi para anggota keluarganya, dari pemerintah Jepang.
Dosa
dan kejahatan perang tentara fasisme Jepang di Indonesia dan
negara-negara kawasan Asia Pasifik, memang bisa dimaafkan. Namun
pelajaran pahit dan sejarah kelam kebiadaban dan kejahatan perang yang
dilakukan Jepang secara terorganisir pada saat menjelang dan saat
berlangsungnya Perang Dunia II, rasa-rasanya tak mungkin akan kita
lupakan sepanjang massa.
Indonesia
boleh saja memperoleh keuntungan-keuntungan ekonomis melalui kerjasama
erat dengan pemerintah Jepang. Namun Indonesia tidak boleh
memperjualbelikan kesengsaraan dan penderitaan dari para leluhur dan
nenek moyang bangsa Indonesia sendiri, yaitu kesengsaraan dan
penderitaan para perempuan Indonesia yang telah dipaksa oleh pemerintah
fasisme Jepang untuk menjadi “Budak Seksual” para serdadu Jepang di
Indonesia.
Pada
kesadaran ini, kita sebagai anak bangsa, kadang sampai pada sebuah
pikiran, bahwa kemajuan dan keberhasilan bangsa Jepang saat ini,
sejatinya bertumpu pada derita dan kesengsaraan para leluhur dan nenek
moyang bangsa kita. Khususnya para perempuan Indonesia korban Jugun
Ianfu.
Karena itu, Global Future Institute mendukung sepenuhnya seruan dari para peserta The 11th Asian Solidarity Conference for the issue of Military Sexual Slavery by Japan
di Taipei Taiwan 8-11 Desember 2012, yang juga disetujui oleh Eka
Hindra sebagai perwakilan Indonesia yang hadir pada konferensi tersebut,
agar kepada setiap negara korban Ianfu (Indonesia, Timor Leste,
Filipina, Cina, Korea Utara, Korea Selatan, Taiwan dan Belanda), membuat
tulisan soal Perbudakan seksual militer Jepang di negara bersangkutan
untuk dicetak menjadi buku. Untuk mengabadikan sejarah Hitam Bangsa
Jepang saat Perang Dunia II di negara-negara eks jajahannya di Asia
Pasifik, khususnya Indonesia.
-------------------------
Saran Rujukan Pustaka:
|