Saturday, 31 January 2015
Gripen atau Typhoon, Knapa ???
Sukhoi dan kawan-kawannya tidak dapat diintegrasikan dengan jaringan radar kohanudnas yang notabene sebagian besar buatan barat dan sudah pasti tidak akan bisa diintegrasikan dengan AWACS barat. Komunikasi diantara keduanya hanya sebatas radio, menghadapi tantangan pertempuran udara masa depan hanya bermodal radio itu sama saja dengan bunuh diri. Tanpa sistem yang terintegrasi darat-laut-udara akan menjadikan setiap penempur seperti “lone wolf” yang bertempur sendiri-sendiri, hanya tinggal menunggu detik jatuhnya saja. Lain halnya dengan pesawat yang memiliki sistem terintegrasi, walaupun terbang sendirian tapi seperti keroyokan, because he’s not fly alone.
Kemenangan besar Vietnam di udara melawan Amerika salah satunya karena taktik gerilya udara yang mereka terapkan. Mig-21 dan Mig-17 Vietnam seolah – olah dapat hadir dimana saja dan menyergap kapan saja, sehingga walaupun secara teknologi keduanya kalah namun mereka tetap dapat menguasai udara (hanya bermodal pelor tanpa rudal!). Dengan kemampuan Gripen yang mampu lepas landas pada jarak yang sangat pendek dikombinasikan dengan ribuan pulau-pulau Indonesia yang dapat berfungsi sebagai kapal induk dan pangkalan aju + sistem yang terintegrasi di ketiga matra. Akan menghasilkan kesiapan dan kemampuan tempur strategis yang sangat luar biasa. Mau itu Su-35, Pakfa atau F-22 dan adik tirinya F-35 sekalipun, monggo silahkan datang, kohanudnas SIAP menyambut!
Kehadiran Sukhoi di Indonesia pada esensinya adalah sebentuk respon (baca:ngambek) Indonesia atas embargo AS dan ulah mereka yang sering melanggar kedaulatan RI. Indonesia secara mendesak membutuhkan pelindung udara yang dapat dijadikan pemukul “sesaat”, perumpamaannya seperti “anda boleh menyerang tapi anda tidak akan keluar tanpa berdarah-darah”. Sukhoi dipilih karena Rusia secara nyata merupakan kontra barat. Langkah pembelian ini kemudian menjadi sinyal yang jelas bagi AS, “Jika anda terus mengusik kami, kami akan pindah haluan!” Keputusan Indonesia untuk membeli Sukhoi inilah yang kemudian memicu insiden pulau Bawean. Dengan dalih kesasar, AS mengirim kapal induknya masuk kedalam wilayah Indonesia untuk menguji dan mengejek pertahanan laut dan udara Indonesia. Sebentuk simbol gertakan dan pesan yang dengan jelas mengatakan “kami mampu melakukan apa yang ingin kami lakukan, walaupun anda berkawan dengan Rusia”. Pada intinya, kehadiran Sukhoi di Indonesia adalah karena kepepet dan bukan bagian dari perencanaan pertahanan strategis nasional.
Kebangkitan China dan ambisi mereka di LCS disatu sisi membawa keberuntungan bagi Indonesia. Secara politik tekanan barat serta merta menjadi sangat melunak terhadap Indonesia, berbagai program kerjasama dan penawaran strategis tiba-tiba saja mengalir deras dari Amerika dan Eropa. Amerika dan Inggris yang sebelumnya selalu menyenggol isu Papua tiba-tiba saja menyatakan dukungannya atas kesatuan Papua dengan NKRI. Hasilnya berbagai bentuk gerakan Papua merdeka di Amerika, Eropa dan Australia perlahan lahan meredup dan menghilang gaungnya. Semua itu karena mereka membutuhkan “peran” Indonesia terkait konflik LCS, hal ini semakin terbukti dengan kian bersemangatnya AS dalam mendukung program maritim Jokowi sebab secara tidak langsung program ini membantu kepentingan AS di ASEAN. Secara tersirat Indonesia menegaskan klaimnya atas wilayah dan garis perbatasannya termasuk segala nilai ekonomi yang terkandung didalamnya. Sikap Indonesia ini secara tidak langsung seperti mendirikan pagar pembatas di tepi LCS, yang mana dengan sedikit akal-akalan AS dapat memanfaatkan Indonesia seolah menjadi sekutu/kepanjangan tangan kepentingan AS. Dalam bahasa halusnya barat membutuhkan Indonesia sebagai “stabilisator kawasan” namun aslinya mereka hanya membutuhkan jongos untuk melindungi kepentingannya.
Namun semua itu tidak akan berguna jika Indonesia tidak kuat, oleh karenanya AS dan sekutunya perlu membantu Indonesia untuk menjadi kuat (kebalikan dari tahun 97-98). Hibah F16 juga merupakan bagian dari bantuan khusus itu, pada intinya tidak ada yang namanya makan siang gratis di dunia politik, semua ada imbalannya. Dan karena alasan politik internal dan masih belum yakinnya AS terhadap Indonesia menyebabkan AS tidak dapat membuka lebar-lebar kran FMS-nya. Namun mereka masih memiliki kepanjangan tangan dimana mana, salah satunya SAAB Swedia melalui JAS-39 Gripen-nya. Ingat, kandungan komponen buatan AS ada banyak di Gripen bahkan salah satu komponen vitalnya yaitu mesin adalah buatan AS. Karena Indonesia gigih mempertahankan sikap netralnya, dengan mendorong dari belakang pembelian Gripen, AS secara tidak langsung juga membantu menjaga “image sikap netral Indonesia” sembari melancarkan tujuannya sendiri. Dan bila Indonesia jadi mengoperasikan Gripen bersama Thailand dan Malaysia, maka akan tercipta rantai pertahanan udara yang kuat di selatan LCS dan inilah yang menjadi tujuan paling utamanya.
Bagaimana dengan Sukhoi? Jika Indonesia memutuskan untuk menambah dan mengembangkan armada Sukhoi-nya maka Indonesia harus merubah dan menyesuaikan sebagian besar sistem pertahanan udaranya agar Sukhoi tersebut mampu beroperasi secara efektif dan optimal. Namun itu membutuhkan biaya investasi yang sangat besar, sesuatu yang tidak mungkin dipenuhi dan dilakukan Indonesia pada masa sekarang ini. Adalah sangat tidak mungkin bagi Indonesia untuk memulai membangun kembali dari awal (walaupun itu hanya sebagian) pada saat dan situasi saat ini! Bila melihat perjalanan Sukhoi di Indonesia dari awal hingga kini, nampaknya pada akhirnya Sukhoi hanya akan dipelihara agar tetap hidup sekedar agar tidak mati biar pemerintah dan TNI tidak dituduh menghambur hamburkan uang rakyat, sekedar menjadi mainan mahal para jenderal pada saat parade udara, sekedar biar tampak efek busa deterjennya ditelivisi, sekedar dan sekedar,..
Adakah diantara kita yang bertanya, kemanah keempat Sukhoi yang lama menghilang itu? Info dari bung Jalo mengatakan mereka saat ini menjadi pasien sekarat di hanggarnya, statusnya yang tidak kunjung terbang dan tidak pula segera diperbaiki menjadi bukti nyata ketidakmampuan Indonesia mengoperasikan/menjaga kesiapan operasi Su-family. Atau ini juga menjadi menjadi bukti betapa ruwetnya after service Rusia, tidak heran jika kemudian dubes dan menhan Rusia buru-buru menawarkan layanan after service yang ditempatkan di Indonesia. Namun jika sparepart-nya masih diproduksi di Rusia, maka tawaran itu sama saja bohong, hanya isapan jempol belaka toh selama ini kita juga sudah mendatangkan mekanik dari Rusia langsung lalu apa bedanya?!
Suatu sistem pertahanan dikatakan kuat jika sistem tersebut mampu memenuhi poin strategis yang ditetapkan, bukan sekedar untuk memenuhi gengsi, efek busa melimpah deterjen, fanatik buta atau ambisi sesaat. Suatu perencanaan sistem pertahanan harus mempertimbangkan aspek dimasa depan, bukan sekedar apa yang terjadi pada saat ini saja. Bila melihat pada kemampuan, kekurangan dan kelemahan, kelebihan yang dapat di ekspos serta tujuan dan kebutuhan Indonesia. Bila kita melihat secara realistis tanpa berhalusinasi, maka jawabannya sudah pasti bukan Sukhoi (tapi Rafale, hehe). Badan Sukhoi yang besar dan gripen yang kecil bukanlah tolak ukur kemampuan mereka yang sesungguhnya, tampang bukanlah acuan. Sekedar perumpamaan, jika Bruce Lee bertanding dengan The Rock/ Stalone/ Arnold/ Tyson dll yang berbadan besar dan bermuka sangar,,,saya masih memegang Bruce Lee + fur 10.
Apa yang terpenting saat ini adalah bagaimana mensukseskan tujuan kemandirian pertahanan nasional sembari membuat sistem pertahanan yang kuat secara jangka panjang. Jangka panjang disini berarti berkesinambungan yang salah satunya juga berarti dapat dan mampu mengoperasikan alutsista yang dibeli secara konstan dan efektif hingga ke masa depan. Hal ini menuntut lebih dari sekedar efek deterjen sabun colek tapi juga unsur operasionalitas yang meliputi reliabilitas, efektifitas, efisiensi, kompatibilitas, readiness dan availability. Dengan menggandeng Rafale, Gripen dan Typhoon dapat memberikan semua/sebagian dari aspek tersebut. Dan diantara ketiganya Gripen-lah yang paling memenuhi kriteria ideal yang sesuai bagi kebutuhan “rasional” Indonesia. Seperti menyelam sambil minum air dan sekali dayung 3 pulau terlampaui, kebutuhan pertahanan udara efektif jangka panjang terpenuhi dan tujuan kemandirian pertahanan nasional pun ikut sampai melalui ToT yang menyertainya. Lagi pula saat ini secara politik dalam kerjasama industri pertahanan, setelah Korea Selatan Indonesia kini juga mulai dekat dengan Swedia. Di darat dan laut aroma Swedia sudah mulai kental terasa, apakah di udara akan ikut menyusul? Who knows, kita lihat saja nanti.(JKGR)