Pages

Wednesday, 3 July 2013

Fairey AS.4 Gannet TNI AL

Si Gembul Pemburu Kapal Selam

Seperti halnya TNI AU, Angkatan Laut pernah merasakan satu dasawarsa memiliki alutsista yang disegani di kawasan Selatan pada awal hingga pengujung 1960-an. Di air asin TNI AL diperkuat kapal penjelajah kelas Sverdlov dan kapal selam kelas Whisky. Sedangkan di udara hadir pembom torpedo Il-28T, heli Mi-4 ASW, serta AS.4 Gannet.

Embrio kekuatan udara TNI AL terbentuk ketika diresmikannya Staf Penerbangan di bawah Staf Operasi Mabesal pada 4 Februari 1950 yang kemudian disempurnakan menjadi Dinas Penerbangan ALRI pada 17 Juni 1956. Menyadari tanggung jawab menjaga wilayah laut RI yang luas, Penerbal mulai memikirkan untuk memiliki kekuatan udara yang dapat mengawasi dan menjaga wilayah laut dari gangguan kapal permukaan maupun kapal selam asing. Pertengahan tahun 1950-an Indonesia melakukan negosiasi dengan AS untuk mendapatkan pesawat terbang intai maritim Grumman S-2F Tracker. Namun sayang keinginan tersebut ditolak karena pada saat itu sedang terjadi masalah politik internal di dalam negeri AS.

Gagal mendapatkan Tracker, Penerbal mengincar pesawat Gannet buatan Fairey. Gayung bersambut, Pemerintah Inggris memberikan lampu hijau sehingga pada 1957 kontrak pembelian Gannet ditandatangani. Tahun 1959 TNI AL segera mengirim para kadetnya untuk belajar menerbangkan Gannet langsung di pabrik Fairey di White Waltham. Mereka yang dikirim di antaranya Eddy Tumengkol, Subadi, Kunto Wibisono, dan Budiarto. Kadet TNI AL lainnya belajar menerbangkan jet latih Vampire milik RAF di Oakington, di antaranya Lmd Cokrodirejo dan Hamami. Kelak mereka diperbantukan kepada AURI untuk menerbangkan pesawat Vampire, melatih pilot baru, dan memelihara kemampuan terbang mereka.

Berbasis kapal induk

Sejatinya Gannet adalah pesawat yang dioperasikan dari kapal induk dengan sayap utama yang bisa dilipat (dua tekukan) serta memiliki kail pengait di bawah ekor untuk pendaratan. Namun Indonesia tidak memperoleh jenis ini karena Gannet untuk TNI AL adalah versi AS.1 & T.2 bekas pakai Fleet Air Arm, Royal Navy yang telah dimodifikasi dan di-upgrade menjadi varian setara tipe AS.4 & T.5 menggunakan mesin lebih powerfull namun sayap utama telah diubah menjadi model tetap alias tidak bisa dilipat. Lain halnya dengan Gannet milik Angkatan Laut Jerman dan Australia. Mereka memperolehnya dari jalur produksi baru yakni varian AS.4 dan T.5 yang telah mengadopsi mesin baru.

Dari ke-18 Gannet yang dimiliki TNI AL, dua unit merupakan versi latih yakni model T.5 dan sisanya versi ASW. Tipe AS.4 yang perannya sebagai pemburu kapal selam dilengkapi dengan torpedo yang tersimpan dalam bomb bay di perutnya yang gendut. Pesawat ini juga dipersenjatai roket tanpa kendali yang menggantung di sayap utama serta rumah radar pencari yang bisa ditarik ke dalam perut pada bagian bawah belakang pesawat. AS.4 diawaki tiga orang. Yakni pilot dan navigator merangkap observer yang berada dalam satu ruang, serta operator radio-radar di kokpit dengan posisi duduk terpisah menghadap ke belakang ekor pesawat.

Gannet didukung oleh mesin turboprop Double Mamba (populer dengan sebutan Twin Pac) buatan Armstrong-Siddeley. Mesin ini menggerakkan bilah baling-baling model tumpuk yang berputar berlawanan arah (contra rotating). Kelebihan mesin ini adalah salah satu mesin dapat dimatikan untuk penerbangan jelajah ekonomis, atau jika salah satu mesin gagal bekerja maka pesawat tidak akan mengalami masalah dalam penanganan terbang terkait dengan penggunaan mesin contra rotary tersebut.

Gannet milik TNI AL telah mengadopsi mesin tipe baru Double Mamba Mark 101 berdaya 3.035 SHP lebih besar dibanding Double Mamba Mark 100 yang dipakai pada versi AS.1 berdaya 2.950 SHP.

Langsung menuju palagan

Dua pesawat dari pengiriman pertama tiba di Surabaya tahun 1960. Berangsur-angsur disusul pesawat berikutnya hingga total genap menjadi 18 unit masuk Skwadron Udara 100 antikapal selam bermarkas di Morokrembangan, Surabaya. Belum genap dua tahun berdinas AS.4 Gannet dilibatkan dalam Operasi Trikora, dikirim ke wilayah timur untuk mengawasi dan meng-cover laut sekitar Sulawesi hingga laut Banda yang berpangkalan di Liang, Ambon.

Selepas Trikora, Gannet ditarik ke sarangnya. Malang tak dapat ditolak, sebuah Gannet mengalami kecelakaan disekitar Ambon waktu menjalani penerbangan malam dari Mapanget, Manado ke Liang, Ambon. Pesawat baru ditemukan secara tak sengaja setahun kemudian di Gunung Salahatu.

Tak sempat beristirahat lama, Gannet kembali memenuhi panggilan tugas. Kali ini dalam Operasi Dwikora dari 1964-1966 untuk mengawasi perairan di sepanajang perbatasan Singapura hingga selat Karimata dan berbasis di Tanjung Pinang, Riau. Gannet juga terbang dari Denpasar, Bali guna memantau pergerakkan kapal lawan di wilayah selatan Samudra Hindia. Bak senjata makan tuan, Inggris harus menghadapi senjata buatannya sendiri. Dengan digunakananya Gannet oleh TNI AL makin membuat Inggris berang, hingga memutuskan pasokan suku cadangnya. Dalam konflik ini Inggris juga menggunakan Gannet AEW.3 yakni versi Airborne Early Warning yang dioperasikan oleh Fleet Air Arm No.849 Squadron.

Sebagai tambahan informasi, sebelum konflik Dwikora mencapai ujungnya, sayap Penerbal bertambah kuat dengan datangnya sembilan helikopter Mi-4 versi ASW yang dimasukkan ke dalam Skwadron Udara 400. Taring Penerbal bahkan makin meruncing dengan diterimanya 12 Il-28 second hand dari Uni Soviet, 10 di antaranya versi pembom torpedo Il-28T lengkap dengan torpedo RAT-52 sebanyak 59 unit yang hadir pada kuartal pertama tahun 1965 dan menghuni Skwadron Udara 500 di Juanda, Surabaya. Di tahun yang sama AL mendapat limpahan pula 14 unit Il-28 dari TNI AU.

Dengan pecahnya pemberontakan PKI September 1965 dan berujung bergantinya kekuasaan Pemerintahan RI, konflik bersaudara dengan Malaysia berakhir damai di atas meja perundingan. Meski hubungan diplomatik dengan Inggris kembali normal, tapi suku cadang pesawat Gannet TNI AL tak mendapatkan gantinya.

Lambat laun kinerja pesawat mulai menurun. Dengan terpaksa Penerbal pun akhirnya melakukan kanibalisasi agar pesawat tetap bisa operasional. Awal tahun 1970-an diputuskan seluruh Gannet tersisa harus beristirahat panjang. Walau dalam dua operasi militer yang dijalani Gannet tak pernah melepaskan senjatanya, namun Si Gembul memasuki masa purna bakti dengan terhormat sebagai veteran perang sejati.(Rangga Baswara Sawiyya)