Suasana di perbatasan |
"Diharapkan pihak Amerika Serikat tidak terlalu mencampuri urusan status penjahat perang di Timtim dulu sehingga kita minta semuanya itu diserahkan ke orang Timtim duduk bersama untuk selesaikan dengan rel rekonsiliasi untuk bangun masa depan Timtim," ungkap Wakil Ketua DPD Uni Timor Aswain (Untas), Kabupaten Timor Tengah Utara (TTU), Nusa Tenggara Timur, Senin (14/10/2013) pagi.
Menurut Miguel, intervensi AS soal pelanggaran berat atas sejumlah insiden di Timtim tahun 1999 silam sangat terasa, padahal dari pihak Timor Leste saat ini menginginkan penyelesaian hal itu secara baik.
"Perdana Menteri Xanana Gusmao ingin adanya rekonsiliasi antara semua pihak termasuk sejumlah nama yang masuk Daftar Pencarian Orang (DPO) yang dikeluarkan oleh Serious Crime Unit (SCU) Perserikatan Bangsa bangsa (PBB)," tandas Miguel.
Miguel mengatakan, tuduhan pelanggaran HAM oleh SCU PBB tidak sepenuhnya benar, karena data dalam DPO yang dikeluarkan tidak lengkap. Idealnya perlu dilakukan klarifikasi dengan mempertemukan pelaku dan korban.
"Hasil investigasi SCU itu bohong, data dalam DPO tidak lengkap, tidak ada alamat dan tempat tanggal lahir sehingga membuat bingung karena warga banyak memiliki nama yang sama, karena itu perlu dipertemukan antara pelaku dan korban untuk dilakukan klarifikasi dan pembicaraan lebih intensif," beber Miguel.
Data yang berhasil dihimpun menyebutkan, sebanyak 401 orang eks milisi Timor-Timur pro integrasi yang saat ini menetap dan menjadi warga negara Indonesia, masuk dalam DPO karena dituduh telah melakukan pelanggaran hak asasi manusia (HAM). Mereka dituduh membunuh dan memperkosa ribuan orang sesama warga Timtim lainnya, pada saat jajak pendapat tahun 1999 lalu.
tribun