Akhir-akhir
ini media banyak membahas soal pengadaan pesawat intai untuk TNI yang
berita awalnya dirilis oleh Ketua Komisi I DPR Mahfud Sidik. Ketua
Komisi I Dewan Perwakilan Rakyat itu, mengatakan, bahwa pada pengadaan
alat utama sistem senjata (alutsista) yang akan berlangsung hingga 2014
salah satu yang akan dibeli adalah pesawat intai tanpa awak. "Secara
kebutuhan itu memang kebutuhan TNI cuma waktu itu pernah dibahas terkait
dengan sumber pengadaannya," kata Mahfud di Gedung DPR, Rabu 1 Februari
2012.
Komisi I menolak rencana pengadaan
pesawat dari Israel. "Seingat saya ada dua pesawat yang dibutuhkan.
Pesawat itu kan dibutuhkan untuk patroli di daerah perbatasan," kata
Mahfud.
Namun, katanya TNI akan membeli dari Filipina. "Infonya dari Filipina,
tapi yang perlu didalami apakah itu produk Filipina atau buatan Israel,"
kata dia.
Menteri Pertahanan (Menhan) Purnomo
Yusgiantoro belum mendengar rencana pembelian pesawat intai dari
Israel."Saya belum ada informasi soal itu. Itu apa sih? dari mana info
itu?" ucap Purnomo, saat ditemui di kompleks Istana, Jakarta, Kamis
(2/2/2012). Bersamaan dengan Purnomo, Panglima TNI Laksamana TNI Agus
Suhartono menampik kabar rencana pembelian pesawat intai dari Israel.
“Enggak, enggak ada itu,” bantahnya. Panglima TNI, mengakui bahwa
pesawat intai tanpa awak memang dibutuhkan. Alasannya, Indonesia masih
belum memilikinya. “Kalau pesawat intai tanpa awak ya kita butuh, kan
kita belum punya,” jelasnya.
Nampaknya berita yang dilansir Ketua
Komisi I menjadikan kedua petinggi tadi menjadi kurang nyaman, karena
disebutnya nama Israel. Indonesia tidak mempunyai hubungan diplomatik
dengan Israel, tetapi memang sejarah pernah menyebutkan bahwa Indonesia
pernah mendapatnya dari Israel melalui saluran intelijen.
Sebenarnya apa yang disebut pesawat
intai? Indonesia, TNI dan khususnya TNI AU memiliki pesawat intai
maritim Boeing 737 dan CN-235, yang di operasikan untuk melakukan
pengintaian/ pemantauan udara terkait dengan maritim. Dalam prakteknya
informasi dari jajaran TNI AU disalurkan ke Gugus Tempur TNI AL.
Selain pesawat intai maritim, TNI AU
memang merencanakan pembentukan satu skadron pesawat intai tanpa awak
terdiri dari enam pesawat, yang dikenal di dunia internasional sebagai
UAV (Unmanned Aerial Vehicle). Negara-negara maju kini lebih
memodernisir UAV menjadi mesin pembunuh udara yang paling efektif,
efisien dan aman. Penulis menuliskan dalam artikel "UAV mesin pembunuh
paling mematikan" http://ramalanintelijen.net/p=4224 .
Keberadaan UAV yang pada umumnya
dioperasikan oleh Angkatan Udara selalu terkait dengan jaringan
intelijen. AS dalam mengoperasikan beberapa macam jenis UAV, dalam
praktek pertempuran memberikan wewenang kepada CIA untuk
mengendalikannya. Operasi intelijen (Pulbaket, pengumpulan bahan
keterangan) yang dilakukan AS di Afghanistan, Pakistan, Yaman, Iran dan
bahkan di Korea Utara dilakukan dengan beberapa type UAV/drones seperti
Predator, Sentinel dan Shadow. Kelebihan pesawat intai tanpa awak ini
selain mampu terbang berjam-jam, dapat menyadap saluran telpon, dan
bahkan dengan teknologi terbarunya Sentinel dapat memonitor dan
menterjemahkan gerakan manusia dibawahnya.
UAV dapat dioperasikan dari jarak
beberapa puluh km dan bahkan dari jarak ribuan kilometer. Type
terakhirnya yang paling modern adalah RQ-170 Sentinel yang termasuk
berkemampuan anti radar (teknologi stealth). Selain dilengkapi dengan
kamera video, pesawat hampir dipastikan membawa peralatan komunikasi
untuk menyadap, serta dilengkapi dengan sensor yang dapat mendeteksi
sejumlah kecil isotop radioaktif dan bahan kimia lainnya yang dapat
memberikan petunjuk adanya kegiatan penelitian nuklir.
Untuk apa sebetulnya pesawat intai tanpa
awak itu? Pesawat intai tanpa awak kini merupakan alutsista (alat utama
sistim senjata) terpopular dari negara-negara maju, dimana negara yang
menerapkan sistem demokrasi, maka nilai nyawa manusia di negara mereka
sangatlah tinggi. Apabila pesawat tersebut ditembak jatuh, tidak
menyebabkan korban jiwa. Pola dan metoda serta strategi perang negara
maju telah bergeser dari pengerahan kekuatan baik perangkat perang dan
manusia digantikan dengan teknologi perang.
Perang sipil di Libya misalnya, AS dan
NATO tidak menggelar pasukan dalam jumlah besar untuk terlibat dalam
perang campuh. Tetapi mereka memainkan kekuatan udara (air power) untuk
menghancurkan dan mendikte militer loyalis Kolonel Khadafi.
Yang bertempur langsung di darat adalah
para pejuang pemberontak bersenjata. Kemenangan demi kemenangan diraih
pemberontak, karena alutsista militer Khadafi terus dihancurkan.
Perang pada masa mendatang bagi Amerika
kini lebih terinspirasi perang melawan teroris Al-Qaeda yang melakukan
aksi teror. Karena itu AS dengan tegas mengklasifikasikan ancaman
terhadap negaranya sesuai dengan intensitas ancaman. Bila ancaman besar
dan kuat, maka mereka akan mengerahkan kekuatan dalam jumlah besar, bisa
ancaman kecil, maka yang akan dijadikan sasaran hanyalah tokoh-tokoh
utamanya saja. Penyerangan dilakukan dengan dukungan penuh pesawat intai
tanpa awak yang canggih itu. Prinsip preemtive strike atau menyerang lawan jauh digaris belakang pertahanannya tetap menjadi pegangan negara-negara besar tersebut.
Bagaimana Indonesia? Ancaman terhadap
Indonesia masa kini dan masa mendatang diperkirakan masih berkisar
dengan konflik perbatasan. Perkiraan strategis yang berupa ancaman
langsung terhadap kedaulatan negara belum nampak. Yang menonjol,
terjadinya gangguan dari kelompok bersenjata dalam skala kecil dengan
pola teror. Kemungkinan beberapa tahun mendatang, Indonesia akan terkena
imbas dari konflik dua kekuatan besar dunia AS dengan China yang
kemungkinan bisa terjadi di kawasan Laut China Selatan dan kawasan
Pasifik.
Oleh karena itu, untuk menghadapi
kondisi baik keamanan maupun pertahanan di dalam negeri memang TNI
membutuhkan pesawat intai tanpa awak tersebut. Baik type maupun
kemampuan pesawat sangat tergantung dengan anggaran yang tersedia.
Operasi pesawat intai tanpa awak akan memberikan data-data intelijen
udara (air intelligence) yang sangat penting untuk kepentingan
pertahanan dan keamanan. Dengan memiliki pesawat intai tersebut,
memonitor teroris yang bersembunyi didalam hutanpun bukan pekerjaan yang
sulit. Yang terpenting kini, dibutuhkan kesamaan pendapat bahwa
kebutuhan tersebut memang sangat mendesak.
Mengenai sumber pesawat, dengan
penolakan jenis pesawat buatan Israel, ya tidak usah dibeli, masih
banyak negara lain yang memproduksinya dan teknologinya juga tidak
kalah. Kenapa mesti ribut, kata Gus Dur (Alm) "Begitu saja kok repot."
Semoga bermanfaat.
Ilustrasi Gambar: Pesawat Intai buatan Israel Searcher-II