Mengawal Presiden Sukarno sejak 1962. Pernah jadi kapten timnas Indonesia. Dipenjara Orde Baru tanpa proses pengadilan.
MAULWI Saelan,
87 tahun, mantan wakil komandan Tjakrabirawa, pasukan penjaga Presiden
Sukarno, masih ingat suatu hari di tahun 1966. Sambil membawa secarik
surat dia menghadap Presiden Sukarno. “Saya lapor pada bapak kalau saya
dipanggil untuk kembali ke korps.Itu pertemuan terakhir kalinya dengan
Bung Karno,” kata Maulwi Saelan ditemui di Sekolah Syifa Budi, Kemang,
Jakarta Selatan, Jum’at (21/06).
Waktu itu Maulwi berpangkat kolonel CPM.
Ditarik dari penugasannya sebagai wakil komandan Tjakrabirawa. Selang
beberapa lama setelah peristiwa G30S 1965, ring satu yang mengitari
Presiden Sukarno mulai dipreteli. Limabelas menteri dalam Kabinet
Dwikora ditangkap. Pengawalan terhadap Presiden Sukarno perlahan
dikurangi dan kemudian ditiadakan sama sekali bersamaan pembubaran
Tjakrabirawa.
“Fasilitas untuk presiden mulai
dikurangi. Pengawalan hanya dilakukan oleh CPM seadanya. Presiden tidak
boleh lagi menggunakan helikopter, hanya boleh menggunakan mobil,”
kenang Maulwi.
Pascabubarnya Tjakrabirawa pada 1967,
pengawalan Presiden Sukarno diserahkan kepada Pomad AD yang pro
Soeharto. Sementara untuk keperluan pribadi Presiden, Detasemen Kawal
Pribadi (DKP) yang dipimpin oleh Letkol. Polisi Mangil Martowidjojo,
tetap bertugas seperti biasa. Detasemen itu sudah berdiri semenjak awal
masa kepresidenan Sukarno.
Menurut Maulwi, para pengawal dari DKP
itu mengalami tekanan batin yang sangat mendalam ketika mengawal Sukarno
di pengujung kekuasaannya. Tak jarang anggota Pomad AD membentak
anggota DKP hanya karena dianggap melayani presiden secara berlebihan
kendati sekadar menjalankan kewajiban saja.
Pernah seorang anggota DKP mengawal Bung
Karno ke Bogor dan membukakan pintu mobil setibanya di Istana Bogor.
Seorang perwira Satgas Pomad langsung membentak dan melarang anggota DKP
membukakan pintu mobil yang ditumpangi Presiden Sukarno. “Biar dia buka
sendiri, kamu kultus!” kata Maulwi mengutip kesaksian seorang anggota
DKP bernama Suwarto.
Perlahan Presiden Sukarno makin
dikucilkan. Kendati sempat menghadiri berbagai acara di mana dia
memberikan pidato, tak satu pun media yang menyiarkan pidatonya. Setelah
Pidato Nawaksara 10 Januari 1967 ditolak MPRS, Sukarno resmi
diberhentikan. Jadi tahanan rumah dan tinggal di Wisma Yaso sampai nyawa
menjemputnya pada 21 Juni 1970.
Bagaimana nasib pengawal-pengawalnya?
Pada 1967, Maulwi diinterogasi di markas Kopkamtib. Ditanyai seputar
keterlibatan Presiden Sukarno dalam peristiwa G30S 1965. Maulwi sendiri
yakin Sukarno tak mengetahui ihwal peristiwa penculikan dan pembunuhan
jenderal Angkatan Darat itu.
“Waktu itu (1 Oktober 1965 – Red) begitu Bung Karno turun dari mobil di Slipi, di rumahnya Haryati (istri kelima Sukarno –Red) dia langsung bilang wah! Ik ben overrompeld (wah saya kaget). Mukanya kelihatan bingung,” kata Maulwi. “Saya yakin dia tidak tahu menahu kejadian itu.”
Pemeriksaan terhadap dirinya ternyata
berujung pada pemenjaraan. Pada hari yang sama, setelah diinterogasi
Kopkamtib, Maulwi tak pernah diizinkan pulang sampai lima tahun lebih
kemudian. “Ya begitu saja, saya dipanggil, lantas nggak dikasih pulang
sampai lima tahun lebih,” katanya.
Maulwi ditahan di Rumah Tahanan Militer
Budi Utomo, Jakarta Pusat selama 4 tahun 8 bulan. Kemudian ditahan di
Rumah Tahanan Nirbaya, Jakarta Timur selama setahun. Untuk membuat
Maulwi tertekan, Kopkamtib sengaja Maulwi menempatkan Maulwi di sel
isolasi. “Kalau hujan kehujanan, kalau panas kepanasan. Selama seminggu
saya dibuat menderita. Kelaparan dan kehausan. Untung ada penjaga bekas
anak buah yang berbaik hati memberikan saya pisang goreng,” kenang
Maulwi.
Setelah lima tahun lebih dipenjara,
Maulwi dipanggil ke kantor petugas militer. Dinyatakan bebas. “Ya sudah
begitu saja. Ditahan dan dilepas seenaknya. Saya, Mursid (Mayjen.
Mursid, mantan Dubes RI untuk Filipina –Red) dan beberapa kawan
pengawal Bung Karno lainnya juga dibebaskan. Diantar pakai mobil pick
up,” ujar mantan kapten Timnas Indonesia tahun 1950-an itu.
Tak terima perlakuan semena-mena, begitu
dibebaskan Maulwi sambangi markas CPM. “Saya tekan mereka. Saya tanya
sama mereka saya ini komunis bukan? Apa saya ini terlibat G30S nggak?
Mereka bilang nggak. Kalau begitu kasih saya surat keterangan kalau saya
tak terlibat,” tuturnya, memutar kembali ingatan ke masa lalu.
Kini Maulwi Saelan mengisi hari-harinya
dalam bidang pendidikan dengan menjadi ketua Yayasan Syifa Budi, Kemang,
Jakarta Selatan (sekolahnya lebih dikenal dengan Al-Azhar Kemang-Red).
Lelaki yang diangkat jadi anak ke-13 oleh Buya Hamka itu kini tengah
menyiapkan terbitnya sebuah biografi yang bakal diluncurkan Oktober
tahun ini. “Sejarah harus diluruskan,” pungkasnya.historia.co.id