Dirut PT DI, Budi Santoso menjelaskan, tahap awal pihaknya akan melakukan riset atau studi pasar mengenai prospek pesawat bermesin turboprop ini di mata industri penerbangan internasional.
"Kita sedang buat studi pasarnya. Apakah mau pakai desain yang lalu atau ada perubahan di N-250," ujar Budi kepada detikFinance, Selasa (5/2/2013).
Menurutnya, paling cepat 6 bulan ke depan hasil studi pesawat yang telah dikembangkan sejak akhir 1980-an ini mucul. Budi menjelaskan, The New N-250 ini siap masuk ke pasar penumpang berkapasitas 70 sampai 80 penumpang yakni di bawah pesawat jet komersial berpenumpang 100 orang dan di atas pesawat bermesin propeler (baling-baling) berpenumpang 50 orang.
"Market yang ada, 70 sampai 80 penumpang, jadi PT DI jangan sampai salah masuk," sebutnya.
Saingan terberat The New N-250 nantinya adalah pesawat pabrikan asal Eropa yakni Bombardier Q-400 dengan kapasitas 80 penumpang.
"Tapi dari desain kita lebih baik dari Bombardier Q-400," cetusnya.(feb/dru)
Lanjutkan Pesawat N-250 Besutan Habibie, PT DI Butuh Rp 9,6 Triliun
PT Dirgantara Indonesia (PT DI) berencana membangkitkan kembali pesawat
N-250 peninggalan BJ Habibie. Untuk bisa terbang dan diproduksi massal,
BUMN penerbangan ini membutuhkan dana US$ 1 miliar atau Rp 9,6 triliun.
Dana ini digunakan untuk proses pengembangan ulang hingga menjadi pesawat baru siap produksi.
"Untuk melanjutkan N-250 sampai tersertifikasi dan diproduksi menghabiskan US$ 1 miliar," tutur Direktur Utama PT DI Budi Santoso kepada detikFinance, Selasa (5/2/2013).
Mahalnya biaya untuk melahirkan The New N-250 membuat Dirgantara Indonesia harus betul-betul melakukan studi tentang pangsa pasar dari pesawat yang berhenti dikembangkan sejak 1998 ini.
Selain itu, Budi mengaku BUMN ini tidak bisa berdiri sendiri untuk mendukung pembiayaan The New N-250, sehingga membutuhkan dukungan pendanaan dari pemerintah dan investor.
"Kita belum berani (produksi lagi) sampai kita meyakini. Kita sedang buat studi pasarnya. PT DI jangan sampai salah, kalau salah kita habiskan US$ 1 miliar untuk bikin," tambahnya.
Nantinya, ketika hasil studi pasar dalam waktu 6 bulan ke depan menunjukkan pesawat N-250 layak dilanjutkan, Budi menjelaskan pada pesawat The N-250 akan terjadi perombakan terhadap mesin dan onderdil pesawat. Hal ini dilakukan karena ada beberapa komponen yang sudah diproduksi lagi.
"Sertifikasi harus diulang dan akan diganti, mesin ganti, kalau mesin (N-250 versi lama) sekarang konsumen terbesarnya militer," sebutnya.
The New N-250 nantinya 60% komponennya berasal dari impor, dan sisanya diproduksi di dalam negeri. Namun desain pesawat, 100% dirancang oleh Dirgantara Indonesia.
"Mungkin 50-60% harus dibeli dari luar seperti mesin dan lain-lain," pungkasnya.
Dana ini digunakan untuk proses pengembangan ulang hingga menjadi pesawat baru siap produksi.
"Untuk melanjutkan N-250 sampai tersertifikasi dan diproduksi menghabiskan US$ 1 miliar," tutur Direktur Utama PT DI Budi Santoso kepada detikFinance, Selasa (5/2/2013).
Mahalnya biaya untuk melahirkan The New N-250 membuat Dirgantara Indonesia harus betul-betul melakukan studi tentang pangsa pasar dari pesawat yang berhenti dikembangkan sejak 1998 ini.
Selain itu, Budi mengaku BUMN ini tidak bisa berdiri sendiri untuk mendukung pembiayaan The New N-250, sehingga membutuhkan dukungan pendanaan dari pemerintah dan investor.
"Kita belum berani (produksi lagi) sampai kita meyakini. Kita sedang buat studi pasarnya. PT DI jangan sampai salah, kalau salah kita habiskan US$ 1 miliar untuk bikin," tambahnya.
Nantinya, ketika hasil studi pasar dalam waktu 6 bulan ke depan menunjukkan pesawat N-250 layak dilanjutkan, Budi menjelaskan pada pesawat The N-250 akan terjadi perombakan terhadap mesin dan onderdil pesawat. Hal ini dilakukan karena ada beberapa komponen yang sudah diproduksi lagi.
"Sertifikasi harus diulang dan akan diganti, mesin ganti, kalau mesin (N-250 versi lama) sekarang konsumen terbesarnya militer," sebutnya.
The New N-250 nantinya 60% komponennya berasal dari impor, dan sisanya diproduksi di dalam negeri. Namun desain pesawat, 100% dirancang oleh Dirgantara Indonesia.
"Mungkin 50-60% harus dibeli dari luar seperti mesin dan lain-lain," pungkasnya.