Keberadaan sista anti kapal selam mutlak bagi TNI AL sebagai pengawal wilayah lautan RI yang begitu luas, dimana banyak alur laut yang ideal menjadi perlintasan kapal selam negara lain di sepanjang gugusan kepulauan Nusantara.
Dalam misi ‘mengganyang’ kapal selam lawan, setidaknya TNI AL kini bisa mengandalkan banyak senjata, sebut saja mulai dari torpedo SUT (surface and underwater target) yang menjadi andalan kapal selam type 209 dan FPB-57 , lalu torpedo
MK46/MK44/MK32 yang banyak digunakan pada frigat dan korvet, kemudian ada bom laut (depth charge), dan terakhir sistem senjata roket anti kapal selam. Kesemua model senjata anti kapal selam diatas masih digelar oleh TNI AL, kecuali model bom laut yang kini agak jarang digunakan lagi.
Roket-roket anti kapal selam tersebut dilepaskan dari semacam peluncur MLRS (multiple launch rocket system) pada frigat atau korvet. Setelah meluncur dan jatuh ke permukaan laut, hulu ledak roket bakal meledak sesuai dengan kedalaman yang ditentukan, semisal pada roket Hedgehog kaliber 268mm, akan meledak pada kedalaman 210 meter.
Pada prinsipnya pola peledakannya hamper serupa dengan bom laut, hanya berbeda dari cara pelepasannya. Untuk menggunakan bom laut, kapal harus melepas bom sejajar diatas posisi kapal selam berada. Tentu saja cara ini cukup sulit dan merepotkan, apalagi bila yang dihadapi kapal selam modern dengan teknologi akustik tinggi.
Di lingkungan TNI AL, RBU-6000 punya umur pengoperasian yang lebih muda ketimbang Bofors SR375A. Ditambah daya hancur RBU-6000 cukup besar, ini lantaran jenis peluncur ini memiliki 12 laras roket yang dapat melakukan tembakan secara single maupun salvo. Sistem peluncur pun hebatnya dapat melakukan sistem reload amunisi secara cepat dan otomatis.
RBU (Reaktivno-Bombovaja Ustanovka )-6000
Sosok senjata yang sangar ini boleh dibilang menjadi sajian favorit TNI AL dalam gelar-gelar latihan tempur, seperti pada level Latihan Gabungan TNI. TNI AL cukup beruntung memiliki jenis senjata ini, sebab RBU-6000 termasuk senjata anti kapal selam di era Perang Dingin yang cukup diandalkan oleh negara-negara pakta Warsawa. RBU-6000 mulai dioperasikan oleh AL Uni Soviet pada tahun 1960-1961. Adaptasi RBU-6000 cukup luas, tidak hanya kelas korvet, jenis frigat hingga destroyer juga lazim mengandalkan RBU-6000.
Pengoperasian RBU-6000 sudah tergolong modern, yakni dengan sistem kendali otomatis dari pusat informasi tempur yang mengandalkan Burya fire control system agar akurasi serta arah elevasi multi larasnya dapat terjaga. Secara total, pola penembakkan RBU-6000 dapat di setting untuk satu kali tembakan, 2x, 4x 8x atau salvo 12x. Menyadari panasnya laras setelah dilakukan penembakkan, dilakukan pendinginan dengan air.
Sebuah demonstrasi penembakkan RBU-6000 secara salvo Bila amunisi sudah habis, sementara kapal selam yang diburu belum ‘keok’ juga, tak jadi masalah. RBU-6000 siap melakukan reload amunisi secara otomatis dengan teknologi 60UP loading system yang terletak dibawah dek peluncur.
Umumnya tiap-tiap peluncur dapat memuat magazine yang berisi 72 hingga 96 roket. Jumlah yang cukup besar untuk mengkandaskan atau paling tidak membuat kapal selam musuh rusak berat.
Satu unit RBU-6000 memiliki berat 3.100 kg, lebar 2 meter, tinggi 2,25 meter, dan lebar 1,75 meter. Untuk menyesiakan arah sasaran, tingkat elevasi dapat disesuaikan mulai dari -15 sampai 60 derajat. Untuk sudut putarnya mencapai 180 derajat.
RBU-6000 adalah sistem peluncurnya, untuk roketnya sendiri menggunakan jenis 90R. Roket ini cukup canggih, dimana aktivasi peledakan dapat disesuaikan berdasarkan kedalaman yang dibutuhkan. Bila sudah masuk ke bawah permukaan laut, fungsinya akan menjadi bom laut yang dapat mengganyang target hingga kedalamam 1.000 meter.
RBU-2500 dengan 16 laras
Tentang roket 90R mempunyai berat 112,5 kg dengan bobot hulu ledak
19,5 kg. Diamater roket ini 0,212 meter dan panjang 1,83 meter. Untuk
jangkauan luncur mulai dari 600 meter sampai 4.300 meter. Namun uniknya,
disebutkan efektif radius sebenarnya hanya 130 meter. Dengan hulu ledak
19,5 kg, 90R dipercaya dapat merusak lambung kapal selam.
Hasil dari pengenaan sasaran dapat diketahui dalam waktu 15 detik, dan tingkat kebehasilan dalam penghancuran kapal selam mencapai 80 persen. Selain itu misi melawan kapal selam, senjata ini juga bisa dipersiapkan untuk menangkal serangan dari torpedo lawan yang menyerang kapal, bahkan bisa dimanfaatkan untuk menetralisir keberadaan pasukan katak lawan yang berniat melakukan penyusupan.
Selama Perang Dingin, Rusia/Uni Soviet banyak mengembangkan varian RBU, diantaranya RBU-1000 (6 laras kaliber 300mm), RBU-1800 (5 laras kaliber 250mm), RBU-2500 (16 laras kaliber 250mm), dan RBU-4500 (6 laras kaliber 300mm).
Hasil dari pengenaan sasaran dapat diketahui dalam waktu 15 detik, dan tingkat kebehasilan dalam penghancuran kapal selam mencapai 80 persen. Selain itu misi melawan kapal selam, senjata ini juga bisa dipersiapkan untuk menangkal serangan dari torpedo lawan yang menyerang kapal, bahkan bisa dimanfaatkan untuk menetralisir keberadaan pasukan katak lawan yang berniat melakukan penyusupan.
Selama Perang Dingin, Rusia/Uni Soviet banyak mengembangkan varian RBU, diantaranya RBU-1000 (6 laras kaliber 300mm), RBU-1800 (5 laras kaliber 250mm), RBU-2500 (16 laras kaliber 250mm), dan RBU-4500 (6 laras kaliber 300mm).
Meski saat ini kekuatan kapal selam TNI AL terbilang minim, pasalnya tambahan kapal selam tak kunjung tiba, tapi setidaknya tak perlu minder untuk daya pukul kekuatan anti kapal selam. Berdasarkan pengalaman sejarah, TNI AL telah mempunyai reputasi dalam operasi anti kapal selam, contohnya seperti yang terjadi pada masa operasi Trikora. Kapal selam Belanda, HRMS Dolfijn mengalami kerusakan parah karena mendapat serangan bom laut dari kapal pemburu TNI AL di dekat perairan Teluk Peleng, Banggai. (Haryo Adjie Nogo Seno)
Sumber : DM