"Jika aparat penegak hukum menjadi kolaborator kejahatan maka hancurlah hukum," kata Wakil Ketua Umum Partai Gerindra, Fadli Zon, Minggu (9/3).
Fadli menilai tak aneh jika persepsi masyarakat terhadap Polri masih buruk. Survei sebuah media tahun 2012, kata Fadli, menyatakan bahwa 61 persen berurusan dengan polisi harus mengeluarkan uang. "Sedangkan 72 persen masyarakat memandang polisi enggan menindak kasus yang melibatkan orang penting," ujarnya.
Menurut dia, sejak 1999 pemisahan Polri dan TNI diharapkan mampu meningkatkan kinerja korps berbaju cokelat itu. Namun, sesalnya, yang terjadi malah terjadi kesenjangan antara Polri dan TNI.
Beda dengan TNI yang ditempatkan dibawah Menteri Pertahanan, Polri mendapatkan keistimewaan langsung di bawah Presiden. Semua Kepala Staf TNI ada di bawah Panglima TNI dan Panglima TNI di bawah Presiden. "Sedangan Kapolri yang dulu setara dgn Kepala Staf di TNI langsung berada di bawah Presiden," jelasnya.
Menurutnya, inilah salah satu penyebab munculnya friksi anggota polisi dan prajurit TNI di lapangan seperti konflik di Ogan Komering Ulu, Sumatera Selatan, beberapa hari lalu.
Efek lain adanya kesenjangan kewenangan dan kesejahteraan antara prajurit TNI dan anggota Polri. "Ini perlu dievaluasi. Kita ingin polisi jadi pelayan rakyat yang profesional," ungkapnya.
Menurut Fadli, polisi perlu menertibkan dirinya, sebagai bagian dari reformasi Polri. "Mana mungkin sapu kotor bisa bersihkan lantai kotor?" paparnya. Dia pun meminta agar polisi jangan seperti penjahat yang berseragam.
Dia mengatakan, pimpinan Polri harus teladani pendahulu mereka seperti Jenderal Hoegeng yang anti suap, jujur, dan bahkan sebagai Kapolri pernah turun mengatur lalu lintas. Begitu juga kita pernah punya Komjen M. Jasin, Brigjen Kaharoedin, dan Brigadir Royadin, yang jujur dan antikorupsi.
"Saya yakin, masih banyak polisi yang baik, bersih, jujur dan melayani. Mereka seharusnya mendapat tempat terbaik. Polisi baik, hukum tegak," pungkasnya. (boy/jpnn)
Sumber : jpnn