JKGR:Kabar mengejutkan sekaligus tidak mengenakkan kembali datang dari negara ginseng Korea Selatan. Setelah ditundanya proyek jet tempur KFX/IFX selama 1,5 tahun, kini muncul persoalan baru dalam hal transfer teknologi bagi kapal selam Indonesia. Direktur Utama PT PAL Indonesia M. Firmansyah Arifin mengatakan program transfer of technology (ToT) kapal selam Korea Selatan ke Indonesia cenderung merugikan kepentingan nasional. Setelah mempelajari klausul kontraknya, Firmansyah melihat program ToT itu lebih menekankan pada learning by seeing, bukan learning by doing. Lebih parah lagi pihak Daewoo mempersyaratkan tenaga ahli yang dikirim ke Korea Selatan harus berusia kurang dari 30 tahun dan proses alih teknologi berlangsung by site seeing. Persyaratan seperti ini menyulitkan proses alih teknologi.
Akibatnya, tenaga ahli Indonesia yang dikirm ke Korea Selatan sebatas melihat proses pembuatan tanpa terjun langsung mempelajari teknologinya. Skema kerja sama seperti ini, menurut dia, lebih menguntungkan Korea ketimbang Indonesia. “Memang kami harus mencuri teknologinya karena Korea dulu juga mengambil teknologi dari Jerman,” kata Firmansyah usai menandatangani nota kesepahaman dengan Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya.
Daewoo Shipbuilding Marine Engineering co. Ltd, sekedar memberikan gambar kapal selam. Padahal, mempelajari rekayasa teknologi kapal selam tidak cukup dengan melihat gambar.
Tapi nasi sudah menjadi bubur. Kini Firmansyah tinggal berharap bisa menempatkan lebih banyak tenaga ahli dari kampus dalam program ToT untuk melakukan kajian ilmiah.Firmansyah yakin Korea Selatan tidak akan memberikan ilmu secara tulus kepada Indonesia. Dia juga mengaku kesal dengan campur tangan orang-orang yang sebetulnya tidak paham dengan teknis pembuatan kapal selam. Padahal, seorang tenaga ahli harus mempunyai jam terbang, intelegensia tinggi, dan kecakapan. “Kalau tidak, ke sana hanya jadi wisatawan saja. Yang dikirim bukan pure dari industri galangan saja, tapi harus disisipi orang perguruan tinggi,” kata Firmansyah.
Rencananya yang diberangkatkan sejumlah 206 jiwa dengan rincian 20 tenaga ahli desain dan 186 tenaga ahli bagian produksi. “Dalam tahap awal, kami akan mengirimkan 8 enjineer yang kini dalam proses administrasi (pengurusan visa) untuk diberangkatkan ke Korea Selatan,” ujarnya. Program ini terkait dengan pemesanan tiga unit kapal selam buatan Korea oleh pemerintah Indonesia. PT PAL Surabaya menjadwalkan pembuatan kapal selam Indonesia dimulai tahun 2015, jika proses transfer teknologi berjalan lancar.
Rektor ITS Triyogi Yuwono turut prihatin dengan skema kerja sama kapal selam tersebut. Triyogi menjamin tenaga ahli ITS di industri perkapalan dan kapal selam sudah mempunyai pengalaman. Saat ini pihaknya sedang melakukan riset kapal selam jenis Midget 22 Meter di laboratorium hidrodinamika milik BPPT.
Setelah disekolahkan ke Korsel, ia berharap kemampuan intelektual anak bangsa bisa membikin kapal selam secara mandiri. “Kita libatkan lintas disiplin ilmu. Kementerian Pertahanan juga sudah menujuk ITS sebagai tim leader,” kata Triyogi.
Ketua Pusat Kerja Sama dan Promosi IPTEKS-ITS, Raja Oloan Saut Gurning, mendesak pemerintah untuk lebih serius memperhatikan usaha transfer teknologi alat utama sistem persenjataan (alutsista) demi kepentingan nasional. Sebab, realisasi penguatan alutsista Indonesia dalam dua tahun terakhir, kata Saut, lebih menguntungkan kepentingan asing. “Kita ini banyak dikendalikan asing. Jangan sampai program ToT kapal selam ke Korea justru merugikan Indonesia,” ucap Saut.
Changbogo vs Kilo
Proses pembelian kapal selam Changbogo dari Korea Selatan sempat mengundang pro kontra. tahun 2009. TNI AL ingin mendapatkan dua kapal selam Kilo Rusia, yang dianggap handal dan menggentarkan. “Kita ingin punya anjing herder (Kilo) yang bisa menggentarkan lawan dan bukan hanya anjing kampung (Changbogo), yang hanya bisa mutar-mutar di dalam rumah”, ujar Kasal saat itu, Laksamana Tedjo Edhy Purdijatno (11/08/2009).
Kasal menyatakan pengadaan kapal selam bagi Indonesia harus memiliki daya tangkal dan persenjataan canggih. Kalau tidak, belikan beras saja untuk masyarakat, katanya. Ia memberikan contoh jika negara tetangga membeli anjing jenis herder, maka Indonesia jangan membeli anjing kampung. Begitu anjing herder itu menyalak, anjing kita lari. Rugi kita. Sudah ngasih makan dan memelihara, kudisan lagi, ucapnya. Demikian pula jika membeli kapal selam haruslah melebihi dari yang dimiliki negara tetangga. Bukan membeli yang di bawahnya.
Kasal menegaskan, TNI Angkatan Laut ingin memiliki kapal selam yang memiliki kemampuan tempur dan daya tangkal sejajar dengan negara lain, seperti Malaysia dan Singapura. Bahkan kapal selam kita yang baru, kalau bisa melebihi kemampuan tempur dan daya tangkal yang dimiliki negara lain. Misalnya, Malaysia, kini memiliki kapal selam pertama jenis Scorpene yang diluncurkan di Perancis, beberapa waktu lalu. Ya.. kita harus punya yang lebih dari Scorpene. Kalau tidak lebih baik, tidak usah beli, tuturnya.
ToT yang Mengejutkan
Pengakuan Direktur Utama PT PAL Indonesia M. Firmansyah Arifin tentang klausal program transfer of technology (ToT) kapal selam Korea Selatan ke Indonesia, mengejutkan serta menimbulkan pertanyaan besar. Pengakuan itu sekaligus menunjukkan PT PAL yang akan membangun Kapal Selam Changbogo ketiga, tidak diajak dalam penandatanganan kontrak pembelian 3 kapal selam Changbogo. Padahal Kementerian Pertahanan mengatakan, Indonesia sengaja memilih kapal selam Changbogo dengan alasan untuk mendapatkan transfer teknologi. Selamat datang di Indonesia
JKGR