Pages

Tuesday, 17 September 2013

Indonesia, Mesir, Prabowo dan Kudeta


Jakarta - Sebagai pemerhati sejarah perjalanan bangsa Indonesia, saya perhatikan dalam beberapa bulan terakhir ini sudah ada ratusan, bahkan mungkin ribuan pesan yang masuk di Facebook dan Twitter Ketua Dewan Pembina Partai Gerindra Prabowo Subianto, yang mendesaknya agar bersedia mengambil alih pemerintahan tanpa menunggu Pemilu 2014.

Dalam kata lain, cukup banyak Facebookers dan pengguna Twitter yang membujuk Prabowo agar turun ke jalan, memimpin sebuah kudeta untuk menjatuhkan pemerintah. Menurut saya ini adalah sebuah fenomena menarik.

Senin, 29 Juli 2013 kemarin di sela-sela acara buka puasa bersama dengan tokoh-tokoh ICMI di desa Bojong Koneng, Kabupaten Bogor saya bertemu dengan Prabowo, dan menanyakan tanggapan beliau atas banyaknya rakyat yang ingin Prabowo memimpin sebuah kudeta.

Dengan lugas Prabowo menegaskan bahwa “kudeta hanya dapat dilaksanakan oleh pasukan bersenjata”.

Memang benar, mungkin banyak rakyat kita yang lupa bahwa kondisi Prabowo saat ini sangat berbeda dengan tahun 1998. Saat itu, sebagai Pangkostrad TNI AD, sebagai komandan yang memiliki kuasa atau setidaknya pengaruh kuat terhadap sedikitnya 100 batalion tempur, Prabowo sangat memiliki kapasitas untuk memimpin kudeta.

Pada waktu itu, seperti saat ini, Prabowo juga menerima banyak desakan untuk memimpin kudeta, bahkan dari orang-orang terdekatnya.

Namun perjalanan sejarah mencatat bahwa Prabowo, yang banyak mendapatkan tudingan ini dan itu, ternyata memilih untuk tidak melakukan kudeta.

Padahal, pada tahun yang sama juga terjadi kudeta di Pakistan dan di Thailand.

Saat saya tanyakan kenapa, Prabowo menjawab bahwa ia percaya kudeta melanggar konstitusi. Kudeta melanggar UUD 1945. Prabowo percaya jika mengambil melangkahi konstitusi, ia dapat memicu kegaduhan politik yang akan merugikan rakyat Indonesia - seperti halnya yang terjadi di Mesir saat ini.

Kalau kita pelajari dan simak di televisi proses pergolakan yang sekarang terjadi di Timur Tengah pada umumnya, dan Mesir pada khususnya, dan kita bandingkan dengan apa yang terjadi di negara kita pada 1998, kita pantas untuk bersyukur.

Kita pantas dan patut bersyukur bahwa bangsa Indonesia bisa melakukan transisi ke demokrasi dengan relatif sedikit pengorbanan. Bandingkan dengan di negara-negara di Timur Tengah, dimana angkatan udara negara tersebut meroket ibukotanya sendiri. Tentara menembak rakyatnya sendiri. Panzer serta tank meroket rumah-rumah rakyatnya sendiri.

Saya menilai bahwa pada tahun 1998, tokoh-tokoh di dalam TNI terutama mereka yang satu generasi dengan Prabowo, generasi paska-45, mendorong dan terbuka serta mendukung sepenuhnya proses reformasi.

Prabowo melakukan itu karena ia sadar bahwa TNI adalah tentara rakyat. Seluruh pelajaran dan indoktrinasi yang diajarkan oleh TNI adalah selalu membela rakyat, membela rakyat, membela rakyat. Mengutamakan kepentingan rakyat daripada kepentingan yang lain serta memegang teguh konstitusi.

Adalah fakta bahwa sejarah mencatat bagaimana TNI menjadi bagian dari hanya sedikit tentara dunia yang dengan sadar dan sukarela mengundurkan diri dari politik dan menyerahkan kendali pemerintahan pada tokoh-tokoh sipil. Sebuah fenomena yang juga terjadi di Taiwan, terjadi di Korea, terjadi di Turki, dan akhirnya juga oleh Myanmar belakangan ini.

Apa yang terjadi saat ini, kerisauan serta desakan rakyat Indonesia kepada Prabowo untuk memimpin kudeta bisa dikatakan sama dengan apa yang terjadi di Mesir namun dalam tempo yang berbeda.

Jika Mesir baru menjadi demokrasi selama satu tahun, bangsa Indonesia setelah memilih dan melaksanakan demokrasi selama 15 tahun. Rakyat Mesir dan rakyat Indonesia sama-sama menyadari benar bahwa reformasi dan demokrasi tidak menghasilkan kekuatan dan kedaulatan ekonomi.

Coba sekarang kita lihat, komoditas apa yang telah mampu kita buat untuk keperluan bangsa sendiri. Sampai dengan saat ini kita belum juga memiliki mobil, motor, dan televisi buatan Indonesia.

Beberapa tahun terakhir ini, negara yang terdiri dari tiga perempat laut harus mengimpor garam. Kita juga telah menjadi bangsa agraris yang harus mengimpor beras, gula, bawang, cabai, singkong, daging, susu dan berbagai kebutuhan perut lainnya.

Bahkan sebagian besar sandal dan celana dalam yang digunakan oleh rakyat kita saja buatan rakyat negara lain.

Keinginan rakyat agar Prabowo segera menjadi presiden adalah bukti nyata bahwa banyak warga negara Indonesia yang memahami sebuah kondisi yang Prabowo namakan sebagai “paradoks Indonesia”.

Memang sudah 10 tahun terakhir ini, Prabowo berkeliling dan menyatakan bahwa mazhab sistem ekonomi neoliberal kebablasan, yang dianut oleh pemerintah yang sekarang sedang berkuasa, gagal menciptakan kesejahteraan bagi rakyat banyak. Adalah fakta bahwa sistem ekonomi neoliberal membiarkan semakin lebarnya jurang kesenjangan antara si kaya dan si miskin.

Selain itu, sekarang seolah-olah kita menjadi tamu di negara kita sendiri. Seolah-olah kita harus hormat, tunduk dan minta ijin kepada mereka-mereka yang justru mencuri dari kekayaan rakyat.

Inilah fenomena yang terjadi, fenomena yang mendasari angan-angan rakyat turun ke jalan untuk memaksakan perubahan kepemimpinan serta perubahan sistim ekonomi tanpa menunggu proses-proses demokrasi dan pemilihan umum.

Melalui tulisan ini saya ingin mengingatkan dan mengajak saudara, sesama warga negara Indonesia, bahwa walaupun kita sama-sama risau, kita harus melihat dan harus belajar dari pengalaman Mesir. Kondisi bangsa kita saat ini memang kronis, namun mari kita sama-sama bersabar.

Jika kita tidak puas dan menghendaki perubahan, menghendaki kepemimpinan yang kuat dan tegas, mari kita salurkan suara kita melalui pemilu yang tinggal delapan bulan lagi.

[Kombes Pol. (Purn.) H. Thamrin Dahlan, SKM, M.Si]
Ketua Umum Iluni Kajian Timur Tengah dan Islam Universitas Indonesia, Dosen Universitas Gunadarma, dan citizen journalist di Kompasiana.com