Kalau ingin diurut ini adalah kekalahan seri keenam dari penjajah paling tidak bermutu sedunia itu terkait dengan rangkaian episode perjalanan bangsa berdaulat penuh Republik Indonesia. Yang pertama pengakuan dan penyerahan kedaulatan Belanda terhadap kemerdekaan Indonesia tanggal 27 Desember 1949. Kemudian kekalahan penalti diplomatik Belanda lewat ancaman militer RI yang kuat pada saat Trikora sehingga Papua kembali. Ketiga adalah kekalahan keangkuhan “tuan tanah kedaung” Mr Pronk yang merasa menjadi “tuan dermawan” lewat IGGI. Pak Harto membubarkan IGGI pada bulan Maret 1992 dan menggantinya dengan CGI tanpa ada Belanda lagi.
KRI Diponegoro |
Seri berikutnya, yang keempat adalah menerima secara politis dan moral pengakuan kemerdekaan RI tanggal 17 Agustus 1945 yang dilakukan Belanda tanggal 16 Agustus 2005. Selama 60 tahun Belanda mengakui kemerdekaan dan kedaulatan RI tanggal 27 Desember 1949. Sebagai penghormatan pengakuan itu Belanda mengirim Menlunya Ke Indonesia untuk mengikuti upacara HUT Proklamasi kemerdekaan RI tanggal 17 Agustus 2005 di Istana Negara. Yang kelima adalah pengakuan kesalahan atas tragedi Rawa Gede dan yang terakhir ini yang lebih seram pengakuan kesalahan atas tragedi pembantaian Westerling di Sulsel.
PM Belanda Rutte dengan delegasi besarnya akan berkunjung ke Indonesia minggu ketiga Nopember 2013. Formula langkah diplomatik yang dilakukan Belanda ini diyakini sebagai pemanis rasa dari pahitnya hubungan persahabatan kedua negara selama beberapa tahun terakhir ini. Kita mencatat gagalnya kunjungan Presiden SBY awal Oktober 2010 karena provokasi Wilders dan RMS. Catatan lain adalah ketika RI hendak bertransaksi bisnis alutsista untuk membeli tank Leopard, transaksi itu dikaitkan dengan urusan HAM. Akhirnya RI berpaling ke Jerman sambil berujar: emang lu siape.
Tentu kunjungan PM Belanda akan kita sambut dengan baik sebagai tanda bangsa ini bermartabat dan menghargai tamu. Kita meyakini disamping ada upaya mencari simpati Indonesia untuk kerjasama ekonomi dalam arti luas, keinginan untuk bekerjasama dalam bidang militer sangat kuat auranya. Sepanjang tidak mengkait-kaitkan transaksi bisnis dengan persyaratan mendikte HAM dan urusan dalam negeri bangsa ini, kita bisa duduk sama rendah berdiri sama tinggi dan bicara apa saja yang saling menguntungkan. Bukankah itu fundamen dasar dalam membangun dan mengelola hubungan antar negara.
Belanda disinyalir terlambat memahami tentang potensi kekuatan yang dimiliki Indonesia atau terperangkap oleh gengsi diri sebagai kolonial berpangkat briptu. Maksudnya dia masih merasa sebagai perwira tinggi yang mau mengatur-atur urusan dalam negeri Indonesia sebagaimana dulu ketika masih menjajah negeri ini. Padahal untuk urusan jajah menjajah negeri bawah laut itu tidak membawa nilai apapun bagi bekas jajahanya, Indonesia. Bandingkan dengan Inggris atau Spanyol. Terhadap negeri–negeri jajahannya dulu Inggris mampu mengakhirinya dengan cara baik-baik dan elegan. Memberi kemerdekaan dan kemudian bekas jajahannya dikenal dengan grup persemakmuran. Spanyol, tidak sekedar menjajah tetapi mampu berinteraksi dan memberikan warna dengan warga dan kultur jajahannya. Bekas jajahan Spanyol kita lihat mayoritas agamanya sama, bahkan nama orangnya pun ikut nama Spanyol, contoh nama orang-orang Filipina.
Sebagian daftar belanja alutsista RI |
Tetapi ada sebuah “nilai tambah” yang bisa menjadi sebuah “penghargaan” dalam bentuk lain untuk wong londo iki. Nilai tambah itu adalah sebagai lawan tanding RI dalam perang kemerdekaan 1945-1949. Kompor nasionalisme untuk pejuang republik adalah si Belanda itu. Bangkitnya semangat patriotik dan nasionalisme bangsa ini karena ngeyelnya si penjajah itu. Sehingga perjuangan yang berdarah-darah, bahu membahu seluruh laskar bersenjata RI dan rakyat yang memberikan dukungan logistik dan moril menumbuhkembangkan jati diri berbangsa, mempertaruhkan segalanya. Dan itulah keampuhan bangsa ini sampai sekarang, nasionalisme dan jiwa patriotik.
Fakta tak terbantahkan beberapa tahun ini, belanja alutsista RI yang besar, pasar ekonomi dengan kekayaan sumber daya alam yang menggiurkan, kekuatan daya beli, pertumbuhan ekonomi yang jelas berkelas, boleh jadi adalah hasrat yang ingin dilunasi Belanda untuk menarik dua tiga sendok madu dari republik ini. Kegagalan mendapatkan US $280 juta dari transaksi tank Leopard bekas karena arogansi atas nama kebebasan berpendapat bisa saja akan “dihidupkan” kembali. Lebih dari itu jika saja Belanda mau memahami cara pandang Indonesia khususnya dalam pola pengadaan alutsista, tidak sulit mengajak delegasi bisnisnya untuk bermurah ilmu, membagi teknologi.
Bukankah hubungan historis “sebab akibat” Belanda-Indonesia dimasa lalu yang hitam itu bisa “dibayar sebagian” dengan balas jasa teknologi militer berlabel simpati. Saatnya lah Meneer membayar sebagian luka sejarah itu dengan memberi simpati, menawarkan teknologi militer dan teknologi-teknologi yang lain untuk kebaikan dan kemajuan bangsa ini. Itu pun kita tak memaksa karena kita toh sudah mampu berdiri dan berlari menuju tingkat kesejahteraan yang lebih baik. Kita sedang menuju kelas negara berpenghasilan menengah, ekonomi kita 16 besar dunia mengungguli Belanda, anggota G20 Belanda tidak.
Kalau boleh jujur sesungguhnya hubungan persahabatan dengan Belanda lebih pada hubungan historis, tidak berpengaruh banyak pada hubungan ekonomi. Posisi kekuatan ekonomi, kekuatan pasar Indonesia dan potensi kekuatan sumber daya alam Indonesia yang mengungguli Belanda, itulah sejatinya kekuatan tawar yang dimiliki Indonesia saat ini. Dan pada posisi itulah PM Belanda akan berkunjung ke tanah air. Saatnya menegakkan kepala dan membusungkan dada tapi jangan lupa dengan senyum dan keramahan yang merupakan jati diri bangsa ini. Selamat datang Meneer.
analisis alutsista