"Pada dasarnya tantangan bagi kita adalah bagaimana meningkatkan kualitas dan kompetensi anggota-anggota DPR agar mereka bisa melakukan fungsi DPR, yaitu legislasi, kontrol, dan anggaran secara lebih efektif, sehingga kontrol terhadap pemerintah pun juga bisa lebih efektif," ujar Agus Widjojo dalam acara peluncuran Indeks Pengawasan Parlemen terhadap Sektor Pertahanan oleh Transparency International Inggris yang dipublikasikan bersama Transparency International Indonesia di Jakarta, Senin (16/9).
Menurut dia, kontrol yang lebih efektif terhadap kebijakan anggaran pemerintah dalam bidang pertahanan, akan ditentukan oleh apakah anggota DPR itu mempunyai dasar-dasar pengetahuan yang cukup untuk bisa memberikan kontrol terhadap pemerintah. Kemudian, apakah anggota-anggota DPR itu bisa memfungsikan perangkat-perangkat yang ada di DPR seperti tenaga ahli secara maksimal, sehingga keluaran yang diberikan setiap individu di DPR tidak hanya merupakan cerminan dari seorang individu saja, tapi menjadi keluaran dari sebuah sistem. "Dan di sini, peran dari anggota DPR itu juga tidak bisa terlepas dari peran partai politiknya," tukasnya.
Karenanya, ia berharap DPR bisa mengadakan perbaikan dan penyempurnaan secara terus-menerus. "Karena memang yang namanya reformasi itu adalah sebuah proses kompleks yang tidak akan bisa kita selesaikan dalam waktu lima tahun, mungkin 10 tahun juga belum," tuturnya.
Edy Prasetyono menambahkan, kegagalan parpol dalam melakukan pendidikan politik adalah karena mereka hanya berorientasi kekuasaan. Selain itu, ia juga melihat masyarakat selama ini juga kurang menunjukkan sikap politik yang baik. "Artinya, kalau ada parpol yang bermasalah dengan korupsi, ya seharusnya jangan dipilih lagi. Jadi harus ada political punishment. Selama itu tidak dilakukan, tidak akan ada perubahan di DPR," tandasnya.
Sebelumnya hasil kajian Transparency Internasional Inggris yang dipublikasikan bersama Transparency International Indonesia pada Senin (16/9) menyebutkan dua pertiga dari 82 negara-negara di dunia dinilai gagal melakukan pengawasan terhadap sektor pertahanan. Parlemen Indonesia menempati posisi berisiko tinggi, gagal melakukan pengawasan dan cenderung membiarkan sektor pertahanan memiliki risiko korupsi yang tinggi.
"Posisi Indonesia mengecewakan. Sektor pertahanan merupakan sektor strategis yang harus diawasi," ujar Dadang Trisasongso, Sekretaris Jenderal Transparency International Indonesia.
Menurut dia, lemahnya pengawasan terhadap sektor pertahanan negara sering mengakibatkan memburuknya kondisi alutsista, hilangnya aset-aset militer, maraknya korupsi dan banyaknya dana-dana yang tidak terawasi.
Korupsi di sektor pertahanan sendiri bukanlah barang baru. Setiap tahun, diperkirakan minimal 20 miliar dolar AS anggaran militer global dikorupsi. Potensi korupsi di sektor ini semakin meningkat mengingat 82 negara yang disurvei berporsi 94 persen dari total anggaran global sebesar 1,6 triliun dolar AS. "Karenanya, korupsi di sektor pertahanan bersifat berbahaya bagi operasionalisasi pertahanan, merusak kepercayaan, dan menghamburkan uang negara" tambah Oliver Cover, peniiti pertahanan dan perwakilan Transparency International Inggris.
Oliver memaparkan, posisi parlemen Indonesia berada pada level 33,3-49,9 persen dari skala 0-100 persen (kritis ke paling tidak berisiko tidak melakukan pengawasan).
Secara umum, kata Oliver, kecenderungan pengawasan parlemen terhadap sektor pertahanan yang terjadi di Indonesia mengikuti kecenderungan global. "Namun perlu diperhatikan bahwa lemahnya pengawasan parlemen Indonesia terhadap kebijakan eksploitasi sumber daya alam di kehutanan dan pertambangan yang dilakukan sektor pertahanan melalui yayasan, terhadap penentuan item-item rahasia, dan terhadap pemilihan informasi mana saja yang berguna untuk melindungi keamanan nasional dan intelijen, memperburuk level akhir yang diperoleh Indonesia," terang Oliver.
jurnal parlemen