Kabupaten Natuna, Provinsi Kepulauan Riau yang terletak di tengah Laut China Selatan menjadi sumber konflik kedaulatan Republik Indonesia. Isu tersebut muncul setelah awal pekan ini Presiden Joko Widodo mengkritik peta Republik Rakyat China yang memasukkan daerah kaya gas alam itu dalam wilayahnya.
Natuna terdiri dari tujuh pulau, dengan Ibu Kota di Ranai. Pada 1597, kepulauan Natuna sebetulnya masuk dalam wilayah Kerajaan Pattani dan Kerajaan Johor di Malaysia.
Namun pada abad 19, Kesultanan Riau menjadi penguasa pulau yang berada di jalur strategis pelayaran internasional tersebut.
Setelah Indonesia merdeka, delegasi dari Riau ikut menyerahkan kedaulatan pada republik yang berpusat di Jawa. Pada 18 Mei 1956, Indonesia resmi mendaftarkan kepulauan itu sebagai wilayahnya ke PBB.
Sempat ada kajian dari akademisi Malaysia, bahwa Natuna secara sah seharusnya milik Negeri Jiran. Namun, untuk menghindari konflik lebih panjang setelah era konfrontasi pada 1962-1966, maka Malaysia tidak menggugat status Natuna.
Lepas dari klaim sejarah tersebut, Indonesia sudah membangun pelbagai infrastruktur di kepulauan seluas 3.420 kilometer persegi ini. Etnis Melayu jadi penduduk mayoritas, mencapai 85 persen, disusul Jawa 6,34 persen, lalu Tionghoa 2,52 persen.
Jurnal the Diplomat pada 2 Oktober 2014 sudah meramalkan konflik terbuka antara China-Indonesia akan muncul cepat atau lambat.
Analis politik Victor Robert Lee mengatakan, Natuna pada awal abad 20 cukup banyak dihuni warga Tionghoa. Namun, seiring waktu, terutama setelah dikuasai resmi oleh Indonesia, warga Melayu dan Jawa jadi dominan.
Victor mengaku punya bukti, bahwa ada permintaan resmi warga keturunan Tionghoa di Natuna agar RRC menganeksasi pulau itu.
"Setelah konfrontasi Malaysia-Indonesia, disusul sentimen anti-Tionghoa di kawasan itu, jumlah warga keturunan China di Natuna turun dari kisaran 5.000-6.000 menjadi tinggal 1.000 orang," tulisnya.
Muncul selentingan, warga Tionghoa yang masih bertahan menghubungi Presiden China Deng Xiaoping pada dekade 80-an. "Ada permintaan kepada Deng agar China mendukung
kemerdekaan wilayah Natuna yang dihuni mayoritas Tionghoa, atau paling tidak memasukkan kepulauan itu di wilayah administrasi China," kata Victor.
Negosiasi ini tidak bisa dibuktikan sampai sekarang. Yang jelas, China secara sepihak pada 2009 menggambar sembilan titik ditarik dari Pulau Spratly di tengah Laut China Selatan, lalu diklaim sebagai wilayah Zona Ekonomi Eksklusifnya.
Pemerintah Indonesia di era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sudah memprotes lewat Komisi Landas Kontinen PBB.
Garis putus-putus yang diklaim pembaruan atas peta 1947 itu membuat Indonesia berang. Padahal RI sebenarnya berencana menjadi penengah negara-negara yang berkonflik akibat Laut China Selatan.
Usut punya usut, klaim yang bikin repot enam negara ini dipicu kebijakan pemerintahan Partai Kuomintang (kini berkuasa di Taiwan). Mazhab politik Kuomintang menafsirkan wilayah China mencapai 90 persen Laut China Selatan.
China sejauh ini telah bersengketa sengit dengan Vietnam dan Filipina akibat klaim mereka di Kepulauan Spratly. Lima tahun terakhir, PBB belum bersikap atas protes dari pemerintah Indonesia. China juga tidak pernah menyinggung isu itu, sehingga hubungan Beijing- Jakarta relatif adem ayem.
Tapi, sejak jauh-jauh hari TNI sudah menyadari potensi konflik melibatkan Natuna. Lebih dari 20 ribu personil TNI dikerahkan menjaga perairan dengan cadangan gas terbesar di Asia mulai 1996.
Setelah berkuasa, Presiden Jokowi hendak menegaskan sikap terhadap Natuna, lebih keras dari sikap SBY.
"Sembilan titik garis yang selama ini diklaim Tiongkok dan menandakan perbatasan maritimnya tidak memiliki dasar hukum internasional apapun," ujarnya saat diwawancarai Koran Yomiuri Shimbun.
Poros Jakarta-Beijing belum akan bergandengan erat sebelum konflik ini selesai.