Selama hayat dikandung badan, perjalanan berpertahanan
Indonesia hampir tidak pernah melirik Jepang. Boleh dikata negeri Sakura itu
tidak menjadi sebuah harapan bagus utamanya ketika negeri ini sedang bergeliat
dengan perkuatan militernya. Indonesia
hanya melirik 2 negara “ras kuning” yang lain yaitu Korsel dan Cina. Dengan
Korsel, kita banyak menjalin kerjasama perkuatan alutsista antara lain
pengadaan 3 kapal selam Changbogo, pembelian 1 skuadron jet tempur T50, pembelian
22 panser canon Tarantula dan kerjasama teknologi pembuatan jet tempur generasi
4,5 yang dikenal dengan Project KFX/IFX.
Sementara dengan Cina berdasarkan data SIPRI 2015
Indonesia memesan ratusan peluru kendali anti kapal jenis C802 dan C705 untuk
puluhan kapal perangnya, serta sangat dimungkinkan mendapatkan alutsista
strategis peluru kendali SAM HQ16.
Disamping itu ada kerjasama pertahanan dalam bentuk latihan bersama
antar personil antar kesatuan kedua negara dan kerjasama produksi peluru
kendali anti kapal C705. Bahkan baru-baru ini Cina menawarkan bantuan milyaran
dollar untuk membangun poros maritim Indonesia.
Geliat Jepang dengan membuka “konstitusi diri” yang
selama ini dibatasi, untuk mengekspor teknologi persenjataannya disambut hangat
negara-negara sekitarnya tak terkecuali Australia dan India. Vietnam dan Filipina menyambut gembira
kepedulian “saudara tua” itu dan sekaligus mengharapkan bantuan pertahanan
menghadapi Naga Cina. Jepang juga memiliki konflik teritori dengan Cina di Laut
Cina Timur dan Jepang berkomitmen menjaga stabilitas di Laut Cina Selatan
dengan ikut menggelar patroli kapal permukaan dan kapal selam. Makin seru neh.
Armada Laut Jepang, mulai bangkit bertaring |
Jepang adalah sebuah harapan baru bagi perkawanan serius
berlabel militer sementara di bidang lain negeri matahari terbit itu sudah
membuktikan kehebatannya dalam kerjasama yang saling menguntungkan. Kesediaan
Jepang untuk kerjasama pertahanan dengan RI sekaligus untuk mengimbangi ekspor
senjata Korsel kepada Indonesia yang selama 4 tahun terakhir melonjak tajam. Maka jika kerjasama pertahanan itu diteken
setidaknya beberapa pesawat amfibi ShinMaywa US-2, kapal perang kelas
Shikishima,Hayabusha atau Fregat dan Destroyer bisa ditampilkan mengawal
perairan Indonesia.
Kecerdasan Indonesia adalah menggauli semua pihak yang
saling bermusuhan terhadap persoalan Laut Cina Selatan dan Laut Cina Timur.
Musuh bersama negara-negara di kawasan itu adalah Cina sementara kita tidak
punya sengketa teritorial dengan Cina meski ada perairan ZEE Natuna yang
bertindihan. Meski begitu sebagai negara
netral posisi Indonesia tetap harus mengantisipasi manakala Cina “mengamuk”
lalu hantam sana hantam sini. Artinya perkawanan dengan Jepang adalah penguat
daya tawar karena Jepang juga sedang bersiap diri memperkuat militernya
sekalian mengekspor alutsistanya ke negara sekitarnya.
Itulah yang dibaca, dipelajari kemudian melalui kunjungan
kenegaraan Presiden Joko Widodo ke Tokyo Jepang minggu depan tanggal 22-25
Maret 2015 akan ditandatangani kerjasama pertahanan dengan Jepang bersama PM
Shinzo Abe. Sekedar diketahui Wapres
Jusuf Kalla juga telah berkunjung ke Jepang tanggal 12-17 Maret 2015 yang lalu.
Manuver Indonesia melalui kerjasama pertahanan ini tentu akan memberikan “nilai
tambah” bagi negeri ini utamanya terhadap Cina. Sebagaimana kita ketahui
setelah kunjungan ke Jepang, Presiden Indonesia akan bertolak ke Beijing Cina
untuk maksud yang sama, memperkuat kerjasama pertahanan yang sudah berlaku.
Sebuah bentuk diplomasi yang cemerlang terutama terkait
waktu kunjungan, tema kunjungan di kedua negara itu, yang menyiratkan betapa
bebasnya negeri ini berkawan dengan siapapun. Ini juga bagian dari strategi RI untuk
mengantisipasi kondisi terburuk manakala konflik LCS pecah atau justru
menjadikan Cina berhati-hati. Luasnya teritori Indonesia yang berbatasan dengan
Laut Cina Selatan menjadi perhitungan Cina karena Indonesia pemilik ALKI 1 yang
strategis bagi jalur perdagangan Cina.
Bisa saja ketika konflik menjadi runyam dan Indonesia memilih ikut
bergabung dengan kafilah pembenci Cina lalu bersama kekuatan militer Australia
dan AS menutup akses ALKI 1,2,3 kemudian menghantam Cina dari Natuna dan
Kalimantan. Semua skenario itu pasti sudah dianalisis Cilangkap dan Pejambon.
Yang jelas ada pacuan kekuatan militer di kawasan Asia
Pasifik yang membentuk dua kutub. Satu
kutub bernama Cina sementara kutub lain adalah aliansi pembenci Cina yaitu
Jepang, Korsel, Taiwan, Filipina, Vietnam, Malaysia, Brunai. Dibelakangnya ada
AS, Australia, Singapura. Seperti kita ketahui gelar kekuatan militer AS sudah
mulai difokuskan ke Asia Pasifik. Lalu dimana posisi Indonesia saat ini. Yang jelas sejauh ini ada dimana-mana, boleh
jadi bisa menjadi mediator alias penengah konflik agar tidak menjadi perang
terbuka.
Namun jika Paman Mao tetap bersikukuh dengan klaimnya
lalu menjalar ikut pula klaim Natuna, maka pilihan kita tentu ikut bertarung
juga. Pelajaran yang harus kita
antisipasi adalah perebutan sumber daya energi tak terbarukan bisa membuat
negara “jagoan” bertindak arogan dan main serbu saja. Perjalanan ke Jepang itu adalah untuk
mengingatkan Cina dan perjalanan ke Cina juga untuk mengajak Cina. Siapa tahu Shinzo Abe titip pesan ke Jokowi
untuk disampaikan kepada Xi Jinping dan bisa jadi Xi Jinping menyambut
baik. Namanya diplomasi, semuanya
terbungkus, namanya kerjasama militer semuanya dijelasterangkan agar
masing-masing pihak berhitung cermat. (Analisismiliter)