Dalam dokumen yang didapatkan dari Museum Pustaka Korps Baret Merah, disebutkan penyerangan di Mapu, mempunyai pengaruh besar terhadap pihak lawan, mencatat juga komentar dari juru bicara Pasukan Keselamatan Sarawak yang menyebut serangan ini sebagai 'determine attack' alias serangan yang menentukan yang telah berhasil menembus pertahanan melingkar kawat berduri dan menyerang ke atas bukit.
Dokumen juga mencatat siaran radio Sarawak di Kuching yang mengatakan bahwa tentara Inggris yang bertahan adalah prajurit yang baru lulus 10 bulan dari pendidikan, dan harian Strait Times pada 28 April 1965 menuliskan bahwa tentara Inggris yang diserang adalah "British Paratroops". Pasukan Para Inggris dikenal sangat elit dan seleksi untuk masuk ke Parachute Regiment sangat berat.
Kemudian, dari siaran radio Sarawak di Kuching pada 28 April 1965 pukul 22.00 Wita diketahui ada sekitar 150 penerbangan heli dari pihak tentara Inggris berseliweran, yang memperkuat dugaan Indonesia bahwa korban musuh sangat besar.
Berapa korban tentara Inggris?
Saksi hidup dan pelaku penyerangan di Mapu, Pelda (Purn) Soemadji mengatakan bisa mencapai sekitar 100-an tentara, dan mendengar dari siaran radio bahwa yang tewas adalah 72 tentara Selandia Baru. Sedangkan dalam catatan dokumen di Museum Pustaka Korps Baret Merah dituliskan, berdasarkan tafsiran sementara, paling sedikit 30 orang musuh ditewaskan.
Sedang dalam buku "Britain's Secret War: The Indonesian Confrontation, 1962-66" yang ditulis Will Fowler di halaman 21 dituliskan, saat penyerangan di Mapu itu, saat itu ada 34 tentara, terdiri dari B Coy HQ, Parachute Regiment termasuk satu peleton yang lemah karena prajuritnya baru lulus dari pendidikan. Dituliskan pula korban serangan dari pihak Inggris adalah 2 tentara tewas dan 7 lainnya terluka.
Dituliskan pula, keberhasilan serangan di Mapu karena strategi gerilya dengan serangan pendadakan total, faktor musuh yang lengah karena terlalu percaya akan sistem pertahanannya, faktor cuaca kabut dan hujan, doktrin-doktrin Komando RPKAD, serta moril prajurit yang tinggi juga keeratan hubungan antara pimpinan dan bawahan.
Sedangkan Soemadji mengenang, bahwa meski unggul dalam gerilya, sebenarnya persenjataan RPKAD kala itu kalah dibanding pihak musuh, terutama dalam perlindungan udara. Pihak tentara Inggris, imbuhnya, memiliki banyak helikopter dan pesawat yang bisa melindungi tentara darat dan menyisir musuh dari udara.
"Hanya semangat patriotisme yang sangat tinggi dan latihan yang keras kita bisa sukses melaksanakan tugas," tutur Soemadji di rumahnya, RT 4 RW 7, Cijantung, Kelurahan Baru, Pasar Rebo, Jakarta Timur, Selasa (17/3/2015) lalu.
Dalam catatan eks Komandan Kompi Benhur, Mayor (Purn) Oerip Soetjipto juga menuliskan bahwa "Dalam perjalanan diberitahukan lewat penghubung bahwa dalam pengunduran nanti pasukan akan dilindungi oleh pesawat terbang Mustang. Walaupun pada akhirnya tidak ada kenyataan, namun berita tersebut sudah sempat membesarkan hati pasukan".
Operasi Dwikora yang berlangsung pada tahun 1965 adalah respons Indonesia untuk berperang di Malaysia, di bawah Presiden Soekarno saat itu, karena tidak setuju atas pembentukan Federasi Malaysia oleh Inggris. Inggris, yang hendak mengakhiri kolonisasi saat itu hendak menggabungkan koloninya di Semenanjung Malaya dengan Sabah dan Sarawak di Kalimantan. Presiden Soekarno tak setuju lantaran menganggap Federasi Malaysia adalah boneka Inggris yang akan mengancam kemerdekaan Indonesia.
Satu lagi, pembentukan Federasi Malaysia dianggap melanggar Perjanjian Manila yang diteken 3 negara, Indonesia, Malaysia dan Filipina di Manila-Filipina pada 5 Agustus 1963. Dalam perjanjian itu, ketiga negara sepakat bahwa warga Sabah dan Sarawak mesti melakukan referendum dan menentukan nasib sendiri tanpa ada paksaan dari pihak luar di bawah pengawasan Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB). Namun ternyata, sebulan setelah Perjanjian Manila diteken, Inggris membentuk Federasi Malaysia pada 16 September 1963.
Setelah pengaruh Presiden Soekarno berkurang, pasca gerakan G30-S/PKI pada 30 September 1965, dan Surat Perintah 11 Maret 1966, rezim akhirnya berganti pada Presiden Soeharto. Akhirnya, pada 28 Mei 1966, Malaysia dan Indonesia mengumumkan penyelesaian konflik di Bangkok, Thailand. Perjanjian perdamaian diteken dua negara serumpun ini pada 11 Agustus 1966 dan diresmikan 13 Agustus 1966.(Detik)